Konten dari Pengguna

Pentingkah Intelektual bersikap atas Masalah-masalah Kebangsaan Hari ini?

M Hasan Syamsudin
Dosen Pemikiran Politik Islam, Institut Agama Islam Negeri Kudus.
7 September 2024 13:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Hasan Syamsudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Demonstrasi Revisi UU Pilkada. Foto: Iqbal Firdaus/Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Demonstrasi Revisi UU Pilkada. Foto: Iqbal Firdaus/Kumparan
ADVERTISEMENT
Menyimak pemberitaan di berbagai media massa dalam beberapa tahun terakhir, nampaknya bangsa Indonesia memang sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Berbagai masalah kebangsaan tersebut dapat dilihat dari beragam sektor dengan berbagai macam gejala atau indikator sebagaimana diutarakan sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
Dalam persoalan politik, demokrasi kita tersandera oleh fenomena oligarki politik yang cukup akut. Cendikiawan muslim Azyumardi Azra jauh-jauh hari (2021) melalui artikelnya “Membendung Oligarki” yang dimuat di harian Kompas menunjukkan bahwa demokrasi yang diharapkan dapat memberikan ruang politik bagi setiap orang untuk memperjuangkan kepentingan rakyat justru penuh sesak oleh aliansi kelompok bisnis politik yang sulit dikatakan sejalan dengan kepentingan publik.
Dalam persoalan hukum, pakar hukum Bivitri Susanti (2022) dalam kolom opininya berjudul “Runtuhnya Pilar-Pilar Negara Hukum” di harian Kompas menunjukkan bagaimana fenomena legalisme otokratik menjadi semakin nyata di depan mata. Melalui kekuasaan yang terpusat pada lembaga negara tertentu atau bahkan person tertentu, aturan hukum diotak-atik demi kepentingan politik. Hukum pada akhirnya hanyalah menjadi objek kekuasaan politik semata. Berbagai keculasan politik seolah dianggap legal sebab memiliki dasar hukum yang sebelumnya telah dikondisikan.
ADVERTISEMENT
Tak terbatas pada masalah-masalah di atas, dalam urusan ekonomi, Pakar ekonomi Chatib Basri (2024) melalui opininya di Kompas berjudul “Kelas Menengah: dari Zona Nyaman ke Zona Makan” menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia mengalami penurunan yang signifikan. Dalam beberapa tahun terakhir jutaan kelas menengah mapan harus turun kelas menjadi kelas menengah rentan yang mudah tergelincir dalam kemiskinan. Artinya, jargon investasi dan pertumbuhan ekonomi yang selama ini hingar bingar nyaris tak berjejak pada aspek kesejahteraan.
Intelektual dan berbagai Responnya
Dalam menyikapi berbagai persoalan di atas, tentu terdapat respon yang beragam. Sebagian masyarakat kelas menengah terdidik memilih untuk menyatakan sikap, sebagian tak menunjukkan respon apapun. Adapun kelas menengah terdidik yang dimaksud tiada lain adalah intelektual atau dengan sebutan lain ilmuwan—seringkali disebut akademisi. Meskipun istilah intelektual atau ilmuwan dimaknai berbeda oleh cendikiawan sebagaimana Ignas Kleden (2021) dalam “Fragmen Sejarah Intelektual”, maka dalam konteks ini ilmuwan dan intelektual kita jabarkan secara sederhana sebagai kelompok kelas menengah yang tercerahkan (enlightened) karena kemampuannya mengakses pendidikan, selain juga terlibat dan kegiatan reproduksi pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari komunitas intelektual, sikap dalam merespon berbagai persoalan kebangsaan di atas tentu dapat diekspresikan melalui beragam cara, setidaknya sikap intelektual dapat dimediasikan melalui kegiatan pengajaran atau bahkan di luar pengajaran. Menjadi problem besar apabila komunitas kelompok terdidik, sama sekali tak punya pandangan dan sikap atas problematika yang sedang terjadi. Absennya pandangan dan sikap komunitas intelektual atas problematika yang sedang terjadi berpotensi menjurus pada fenomena banalitas kejahatan, suatu istilah yang dipopulerkan oleh filsuf politik Jerman Hannah Arendt di tahun 1963.
Absennya Sikap Intelektual dan "Banalitas Kejahatan"
Dalam pandangan Arendt melalui karyanya “Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil” tahun 1963, berkaca dari tragedi kejahatan kemanusiaan pemusnahan komunitas Yahudi Eropa oleh Nazi Jerman pada perang dunia kedua, Arendt berusaha memahami tragedi tersebut dengan menyimak kesaksian Perwira militer menengah Jerman bernama Eichman. Eichman sendiri merupakan pejabat militer yang dituntut pertanggungjawabannya atas tragedi kemanusiaan—Holocaust.
ADVERTISEMENT
Dalam pengamatan Arendt, Eichman sama sekali tak menunjukkan sosok pribadi jahat, kejam, bahkan bengis sebagaimana yang dibayangkan oleh banyak orang. Sebaliknya ia adalah warga negara biasa yang berusaha taat perintah atasan dan taat hukum saat Nazi berkuasa di Jerman. Lebih lanjut, Arendt menyatakan bahwa Eichman hanyalah seorang Perwira menengah yang ingin memiliki karir cemerlang di militer. Orientasi sebagai warga negara yang patuh hukum diiringi dengan motivasi karir nampaknya telah memasung Eichman gagal berpikir kritis dan reflektif atas perbuatannya.
Apabila dihayati lebih dalam, sosok Eichman sesungguhnya adalah individu yang penuh komitmen dan cerdas, namun sayangnya kecerdasan Eichman tak mampu membawanya untuk menilai perbuatan sekaligus dampak dari perbuatannya. Absennya kemampuan berpikir kritis dan reflektif telah melahirkan normalisasi tindakan kejahatan kemanusiaan yang berdampak pada pemusnahan sekitar enam juta Yahudi Eropa. Dalam istilah Arendt, “Ketidakberpikiran” inilah yang melahirkan sebuah banalitas kejahatan. Kejahatan kemanusiaan seolah-seolah menjadi banal—perbuatan yang normal atau baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Di tengah problematika kebangsaan saat ini, dibutuhkan keberanian untuk berpikir kritis dan reflektif. Berpikir kritis dan reflektif menjadi penting sebagai cara untuk menilai sekaligus pijakan untuk bersikap, apakah sebuah tindakan-tindakan politik tertentu dibenarkan secara moral, baik dalam kerangka moralitas individu maupun moralitas kebangsaan yang kita anut, atau malah justru sebaliknya. Sebagaimana Eichman, “ketidakberpikiran” dan absennya sikap menjadi sangat berbahaya bagi seorang intelektual karena mampu menjerumuskan kehidupan berbangsa dan bernegara pada banalitas-banalitas lain, mungkin tak berbentuk normalisasi kejahatan namun normalisasi praktik politik tanpa moral yang sarat dengan keculasan. Tak menutup kemungkinan banalitas model ini bisa menjurus pada banalitas lain yang lebih akut.