Konten dari Pengguna

Santet: Realitas atau Sekadar Sugesti?

Muhammad Hazim Qarthazanny
Mahasiswa UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
22 November 2024 16:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Hazim Qarthazanny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dukun. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dukun. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Santet adalah salah satu fenomena mistis yang telah lama dikenal di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara. Dalam kepercayaan tradisional, santet didefinisikan sebagai bentuk ilmu hitam yang digunakan untuk mencelakai seseorang dari jarak jauh, sering kali melalui media benda-benda tertentu seperti jarum, paku, atau boneka yang "dikirimkan" ke tubuh korban. Santet biasanya dikaitkan dengan rasa iri, dendam, atau niat jahat seseorang terhadap orang lain.
ADVERTISEMENT
Praktik ini dipercaya memiliki pengaruh kuat di masyarakat karena dampaknya yang sering kali menimbulkan rasa takut atau trauma psikologis pada korban. Meski demikian, keberadaan santet kerap menjadi perdebatan panas antara mereka yang meyakini kekuatannya secara spiritual dan mereka yang melihatnya sebagai efek sugesti atau manipulasi belaka. Pertanyaan besar pun muncul: apakah santet benar-benar nyata, ataukah ia hanyalah mitos yang hidup di tengah-tengah rasa takut dan kepercayaan turun-temurun?
Perbincangan ini pun kembali menjadi hangat setelah YouTuber Ferry Irwandi secara terbuka menantang para praktisi santet. Dalam berbagai video yang viral, Ferry menantang para dukun untuk menyantetnya dengan hadiah yang sangat menarik, yaitu mobil Alphard, tantangan ini ditujukan kepada siapa saja yang bisa membuktikan kemampuan tersebut secara langsung.
ADVERTISEMENT
Dalam salah satu video, Ferry Irwandi menjalani eksperimen di mana dia menunggu "serangan santet" yang diakui tidak berdampak padanya. Sebaliknya, ia justru mendapatkan perhatian luas dari netizen dan bahkan mengumpulkan donasi hingga puluhan juta rupiah selama siaran langsungnya. Hal ini mengundang respons beragam, mulai dari dukungan atas usahanya melawan takhayul hingga kritik dari mereka yang masih percaya pada keberadaan santet.
Di sisi lain, pesulap Merah, yang dikenal sebagai pengkritik praktik perdukunan, turut memperkuat argumen bahwa fenomena santet sering kali hanya trik psikologis atau manipulasi. Ia menjelaskan bahwa efek santet cenderung muncul akibat sugesti yang kuat pada korban, bukan karena kekuatan gaib.
Debat tentang santet menunjukkan adanya jurang antara kepercayaan tradisional dan pendekatan modern yang berbasis bukti. Apakah santet hanya mitos yang bertahan karena sugesti, ataukah ada elemen mistis yang belum terjelaskan? Hingga kini, banyak masyarakat tetap memandangnya dengan campuran rasa penasaran dan ketakutan. Bagi sebagian orang, usaha seperti yang dilakukan Ferry Irwandi dan Pesulap Merah adalah langkah penting untuk mendorong masyarakat berpikir lebih kritis tentang fenomena ini.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, pembahasan tentang santet lebih dari sekadar perdebatan antara yang percaya dan tidak percaya. Ini adalah cerminan dari dinamika sosial dan budaya yang terus berkembang. Sementara sebagian masyarakat tetap menggenggam erat keyakinan pada santet, yang lain memilih untuk mendekatinya dengan sudut pandang rasional dan ilmiah. Usaha seperti yang dilakukan Ferry Irwandi dan Pesulap Merah membuka ruang diskusi yang penting, mengajak masyarakat untuk mempertanyakan dan mengkritisi apa yang selama ini diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian.
Santet, apakah nyata atau tidak, menjadi pengingat betapa kuatnya pengaruh sugesti, kepercayaan, dan tradisi dalam kehidupan manusia. Mungkin jawabannya tidak dapat ditemukan secara pasti, tetapi diskusi ini setidaknya mendorong kita untuk lebih membuka diri terhadap pendekatan yang mengedepankan logika dan dialog. Seiring dengan kemajuan zaman, kepercayaan dan pemahaman yang lebih mendalam dapat membantu kita untuk memisahkan antara mitos dan kenyataan.
ADVERTISEMENT