Konten dari Pengguna

Netizen dan Kontroversi Gus Muda

Muhammad Helmi
Mahasiswa Uin Sunan Gunung Djati Bandung
30 Mei 2024 10:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Helmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
iillustrasi ustadz muda (source: Shutterstock) link: https://www.shutterstock.com/id/image-vector/islamic-lessons-ustadz-character-illustration-2265226897
zoom-in-whitePerbesar
iillustrasi ustadz muda (source: Shutterstock) link: https://www.shutterstock.com/id/image-vector/islamic-lessons-ustadz-character-illustration-2265226897
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah rahasia umum bahwa ketika seseorang mempunyai wajah “ganteng,” setengah dari masalah hidupnya sudah teratasi. Apalagi jika dibarengi dengan gelar yang didapatkan melalui belajar ilmu, baik duniawi maupun agama, atau mendapatkan gelar dari masyarakat seperti “gus” atau “ning.” Itu akan menjadi “combo” yang mematikan di Indonesia. Beberapa hari yang lalu, kita mendapati kasus seorang “gus” atau anak kiai, terciduk sedang berada di sebuah klub bersama teman-temannya. Dalam video tersebut terlihat “gus” tersebut sedang asyik melihat penampilan seorang DJ dan berinteraksi dengan seorang selebgram bernama Zoe Levana. Dari video tersebut muncul beragam komentar dari netizen. Jika kita melihat komentar-komentar tersebut, dapat dipastikan bahwa hampir 50% lebih di antaranya dipenuhi oleh kaum wanita pengagum “gus” tersebut. Mereka dengan sadar berkomentar dengan kata-kata berikut: “Semua orang punya masa lalu, kasihani Gus Zizan,” dari @Widia Astuti, kemudian “Kalau benar juga itu Gus Zizan, ya kan itu hak dia mau lakukan apapun karena dia juga manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, dan tugas kita doakan saja yang terbaik buat beliau, sudah itu saja,” dari @Zahra. Sangat positif sekali. Komentar positif itu sangat bagus untuk memupuk kembali harga diri seseorang yang sedang jatuh. Namun, kita tidak bisa memberikan keuntungan itu secara pilih kasih, terutama jika yang mendapatkan dukungan adalah orang yang salah. Mereka tidak akan merasakan dampak dari “cancel culture” dan akan menganggap bahwa netizen dan pemikirannya dapat dibeli jika seseorang mempunyai wajah tampan dan gelar. Perlakuan ini juga akan menimbulkan ketidaksetaraan yang sering digaungkan oleh kaum wanita terhadap laki-laki. Secara tidak sengaja, kaum wanita juga melakukan hal yang sama terhadap laki-laki. Banyak sekali laki-laki yang tidak diuntungkan oleh penampilan wajahnya mendapatkan hujatan dan bullying jika melakukan kesalahan dan terangkat di dunia nyata, seperti dalam kasus Oza Rangkuti dan Marcel Widianto. Kasus di atas sudah cukup membuktikan bahwa Islam bukanlah sebuah atribut yang melekat pada seseorang. Seseorang yang membangun citra dirinya dekat dengan nilai-nilai Islam di media sosial tidak otomatis menjamin bahwa perilaku sehari-harinya sejalan dengan citra tersebut. Sudah saatnya kita berhenti memberikan gelar “gus” kepada orang yang tidak tepat. Gelar ini sebaiknya diberikan hanya kepada mereka yang benar-benar siap dengan dirinya dan konsisten dalam menjalani ajaran Islam. Dengan demikian, seorang anak kiai yang tidak bisa memilih siapa orang tuanya tidak akan terbebani dengan gelar sosial yang diberikan hanya karena status orang tuanya. Ini juga akan mengurangi penyalahgunaan gelar “gus” oleh oknum anak kiai untuk menaikkan popularitasnya di media sosial demi kepentingan pribadi, bukan untuk menyebarkan ajaran agama dengan benar. Mari kita berhenti bermain dengan gelar-gelar seperti “gus”. Kita semua sama di hadapan Allah, yang membedakan kita adalah amalan dan ketakwaan kita, bukan garis keturunan. Penting bagi kita untuk melihat kasus-kasus seperti ini dengan objektif, bukan dengan subjektif, sehingga orang yang memiliki banyak penggemar di Indonesia tidak merasa kebal dari konsekuensi tindakan mereka dan tidak berbuat semena-mena. Seorang artis atau figur publik tanpa penggemar hanyalah manusia biasa seperti kita. Oleh karena itu, kita sebaiknya mendukung figur publik yang memberikan dampak positif terhadap perkembangan negara ini. Mereka yang mampu menginspirasi dan memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat layak mendapatkan dukungan kita. Ketika kita mendukung figur publik yang benar-benar berkontribusi positif, kita turut serta dalam membangun budaya yang menghargai integritas dan etika. Mari kita terus mendukung dan mengapresiasi mereka yang benar-benar berusaha memperbaiki dan membangun bangsa, bukan mereka yang hanya memanfaatkan status dan popularitas demi keuntungan pribadi.
ADVERTISEMENT