Konten dari Pengguna

Jalan Anti-Mainstream Bursah Zarnubi

M Huda Prayoga
Alumni Ponpes Al-Ishlah Lamongan 2011, Kader Muhammadiyah, Alumni Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI), Mahasiswa Magister Bahasa dan Sastra Arab FAH UIN Ciputat.
27 Januari 2021 21:42 WIB
clock
Diperbarui 11 Februari 2021 6:05 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Huda Prayoga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bursah Zarnubi (Dok: Andre Said)
zoom-in-whitePerbesar
Bursah Zarnubi (Dok: Andre Said)

(Kado Ulang Tahun ke-62 untuk Sang Aktivis)

ADVERTISEMENT
Sejak masih jadi mahasiswa anak bawang di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya sudah mendengar nama Bursah Zarnubi dari kawan-kawan dan senior. Namun, perjumpaan pertama saya dengan Bang Bursah, baru terjadi pada bulan Juni 2017 saat saya sebagai ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) DKI Jakarta menghadiri agenda buka puasa bersama Kapolda Metro Jaya.
ADVERTISEMENT
Nama Bang Bursah disebut dengan penuh respect oleh Kapolda dan para tokoh yang memberikan sambutan dalam forum itu. Momen tersebut sangat berkesan dan semakin menguatkan rasa penesaran saya terhadapnya. Sesuai kata Ibnu Mâlik dalam kitab ilmu nahwunya Alfiyah; Warafaû Mubtada'an Bi al-'Ibtidâ’ bahwa hal atau kesan pertama akan selalu dijunjung atau diingat.
Interaksi saya secara langsung dengan Bang Bursah, baru dimulai sejak akhir tahun 2018, setelah saya bergabung di Dewan Pengurus Pusat (DPP) Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK) yang ia pimpin, organisasi yang sebagian besar fungsionarisnya adalah mantan pimpinan kelompok Cipayung Plus atau eks pimpinan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Selama dua tahun ini saya banyak menyerap value kehidupan dari Bang Bursah, sosok aktivis pergerakan yang tak lekang oleh waktu (Sodiqin, 2013). Itulah yang saya coba tuangkan dalam tulisan ini, dengan segala keterbatasan dan mungkin juga disertai subjektivitas.
ADVERTISEMENT
Merawat Generasi Muda
Lahir di Lahat, Sumatera Selatan 29 Januari 1959, Bang Bursah berusia 62 tahun pada Jumat, 29 Januari 2021, usia yang terbilang tidak muda dan dikategorikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai lanjut usia (Harismi, 2020). Banyak kalangan yang menikmati umur tersebut untuk menghabiskan waktu berkumpul bersama sanak keluarga.
Namun, Bang Bursah memilih jalan dan punya cara lain di umurnya yang sekarang, yakni dengan mengurus Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK), menghabiskan waktu hampir setiap hari menerima kunjungan dari beragam kalangan dan usia.
Kantor DPP PGK yang berada di kawasan Pacoran, Jakarta Selatan nyaris tak pernah sepi. Saya sendiri merasa heran dengan banyaknya tamu yang datang. Mereka terkadang harus antre bergiliran untuk silaturahmi dengannya. Sehingga tak jarang, saya dapati Bang Bursah pulang ke kediamannya di atas pukul 10 malam.
ADVERTISEMENT
Generasi muda tampak memiliki ruang istimewa di mata Bang Bursah. Kepeduliannya terhadap anak muda tercermin dari keseriusan dan ketekunannya dalam mengayomi dan merawat mereka hingga sekarang. Tentu dibutuhkan kesabaran ekstra dalam membina genersai muda dengan beragam karakteristik mereka.
Di usianya yang saat ini, Bang Bursah masih aktif membuat pelatihan untuk anak muda yang ia beri nama Pelatihan Kepemimpinan Bangsa. Pelatihan ini digelar tiga kali dalam setahun dan diikuti oleh aktivis mahasiswa dari beragam latar belakang organisasi yang diselenggarakan di Wisma DPR, Puncak. Nama-nama seperti Jimly Asshiddiqie, Yudi Latif, dan Anhar Gonggong langganan menjadi narasumber.
Pelatihan Kepemimpinan Bangsa juga dikembangkan ke daerah-daerah dan sudah terlaksana di Sukabumi, Jawa Barat, dan Balikpapan, Kalimantan Timur, serta Mataram, Nusa Tenggara Barat. Namun agenda pelatihan di berbagai daerah terhenti sementara sebagai dampak pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Bang Bursah juga rajin mengadakan diskusi publik kepemudaan dan kebangsaan serta kerap kali menjadi narasumber. Paling tidak misalnya, di masa pandemi Covid-19 ini, saya melihat terkadang dalam sehari bisa sampai dua kali ngezoom memberikan kontribusi pemikirannya, khususnya untuk anak-anak muda.
Sikap inklusif dan menerima perbedaan sebagai ajaran agama dan warisan luhur dari para Founding Father, melekat dan terimplementasi nyaris sempurna dalam diri Bang Bursah. Sebagai alumni organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), bisa saja ia mementingkan ego sektoralnya dengan hanya merawat dan membina kader-kadernya di HMI, namun tidak! lagi-lagi Bang Bursah punya jalan dan pilihan sendiri, ia sudah lepas dari sekat-sekat itu dengan sikapnya yang sangat welcome terhadap semua aktivis dari latar berkalang suku, agama dan ras apapun.
ADVERTISEMENT
Politikus PDI Perjuangan yang juga ketua umum Taruna Merah Putih (TMP), Maruarar Sirait menyebut Bang Bursah sebagai aktivis legendaris yang terus mengayomi akivis-aktivis muda tanpa membeda-bedakan, serta bisa diterima oleh kawan maupun lawan (Merdeka, 2018).
Keterbukaan dan kedekatan Bang Bursah dengan kelompok aktivis gerakan mahasiswa dan pemuda tidak lantas membuatnya ingin ikut campur dan intervensi terhadap urusan internal organisasi dan gerakan mereka.
Ini penting saya ungkap, karena kerap kali aksi gerakan mahasiswa yang terjadi diasosiasikan dengan namanya. Paling tidak, dalam dua tahun belakangan, ada beberapa demonstrasi mahasiswa yang dikaitkan dengan sosoknya. Ia dituduh secara sembarangan dan tak berdasar oleh beberapa pihak, termasuk dari kalangan pejabat negara yang menghubungi dan menuduhnya sebagai dalang di balik terjadinya aksi-aksi tersebut.
ADVERTISEMENT
Nalar Kritis, Kepekaan Sosial, dan Ilmu Pengetahuan adalah Kunci
Kepekaan sosial, kegelisahaan dan keprihatinan Bang Bursah terhadap fenomena-fenomena ketidakadilan, kesewenang-wenagan dan kesenjangan ekonomi telah terasah sejak menjadi aktivis mahasiswa. Hal itu membuatnya pernah merasakan dinginnya di balik jeruji besi oleh vonis pengadilan Jakarta Pusat selama 1,5 tahun karena melawan rezim orde baru (Sodiqin, 2013).
Berdirinya sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (HUMANIKA) pada 17 September 1990 di Jakarta yang Bang Bursah bentuk bersama kawan-kawanya, semakin menegaskan jiwa aktivisnya.
Karakteristik aktivis tak pernah surut dan pudar dari sosok Bang Bursah. Muculnya gerakan masyarakat tahun 2015 yang bernama “Lawan Ahok”, bisa menjadi salah satu bukti konkret. Ia sebagai pelopor gerakan “perlawanan” terhadap Gubernur Ahok kala itu dan ikut turun langsung dalam aksi demonstrasi.
ADVERTISEMENT
Menurut Bang Bursah, gerakan itu muncul akibat dari sejumlah kebijakan Gubernur Ahok yang dianggap sewenang-wenang. Salah satunya, dalam kasus penggusuran Kampung Pulo, Jakarta Timur, serta karakter Gubernur Ahok yang dianggapnya bertentangan dengan tata krama, nilai-nilai luhur budaya dan keadaban bangsa Indonesia.
Untuk itu, Bang Bursah menilai sangat penting adanya gerakan moral yang berpihak pada kebenaran dan keadilan serta rakyat kecil dan kaum tertindas atau mustad’afîn (JPNN, 2015).
Organisasi PGK juga dijadikan Bang Bursah sebagai salah satu sarana dalam menjawab berbagai bentuk keresahannya terhadap fenomena penyimpangan dan kemiskinan yang ada di masyarakat. PGK yang telah terbentuk di seluruh provinsi bertujuan utama untuk mencetak calon pemimpin bangsa yang berkarakter Pancasila, dan bertanggungjawab untuk mewujudkan Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur (AD/ART PGK, 2020).
ADVERTISEMENT
Tujuan ini tentu sangat relevan di tengah problem kepemimpian yang ada saat ini dan merata di Indonesia. Ketua umum PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir mewanti-wanti bahwa dalam praktik kekuasan mengurus negara secara sadar atau tidak sadar sering terpapar hukum poltik Lord Acton, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Problem utamanya selalu pada digdaya para aktor yang kelebihan otoritas dan melakukan abuse of power (Kompas, 2021).
Kegiatan-kegiatan bersifat kepeduliaan dan kesetiakawanan sosial yang dilaksanakan PGK merupakan bentuk nyata kepekaan dan jawaban Bang Bursah terhadap fenomena kemiskikan yang melanda.
Dalam konteks ini, saya berpandangan bahwa perjuangan Bang Bursah dalam merespons permasalahan kebangsaan yang terjadi, mirip dengan salah satu konsep perjuangan Muhammadiyah “Min al-Jihâd Li-al-Mu’âradhah Ila al-Jihâd Li-al-Muwâjahah” yakni dari perjuangan melawan sesuatu, kepada perjuangan menghadapi sesuatu dalam wujud memberikan jawaban-jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama (Tanfidz Muhammadiyah, 2010).
ADVERTISEMENT
Kecintaan Bang Bursah terhadap ilmu pengetahuan dan semangat belajarnya yang tak lekang oleh usia menjadi hal penting untuk diungkap dan dicontoh. Pemandangan Bang Bursah sedang membaca buku di ruangannya dan mencatat poin-poin pada kertas-kertas catatan dengan pulpen yang ada di depannya saat diskusi-diskusi, menjadi hal yang lumrah saya lihat.
Nasihat untuk terus sekolah dan dorongan agar gemar membaca buku serta meningkatkan kapasitas pengetahuan, tentu menjadi hal yang mungkin “bosan” didengar oleh orang yang sering berinteraksi dengannya.
Dalam banyak kesempatan, Bang Bursah selalu menekankan pentingnya literasi kepada generasi muda di tengah era kemajuan teknologi saat ini. Ia juga gemar memborong buku-buku terbitan terbaru, kemudian dibagi-bagikan dan dibedahnya dalam forum-forum diskusi publik. Seperti buku Negara Paripurna dan Pendidikan yang Berkebudayaan karya Yudi Latif serta buku Kepulauan Nusantara karya Alfred Russel Wallace yang diterbitkan oleh komunitas bambu milik sejarawan JJ Rizal.
ADVERTISEMENT
Ia juga tak pernah gengsi dan malu untuk belajar dengan siapapun, bahkan kepada yang lebih muda. Banyak narasumber yang berusia di bawahnya dihadirkan untuk mengisi diskusi PGK, baik yang sifatnya terbatas atau terbuka untuk umum. Tentu yang paling membekas bagi saya, ialah saat pertengahan tahun 2020 lalu, Bang Bursah di hadapan beberapa pengurus PGK meminta saya untuk mengajarinya bahasa Arab secara rutin.
Itulah Bang Bursah dengan segenap jalan yang dipilih dan dilaluinya sekarang. Jalan anti-mainstream dan tak mau terperangkap di zona nyaman yang lazim dipilih oleh kebanyakan orang seusianya. Saya meyakini deskripsi ini tentu jauh dari kata lengkap untuk merepresentasikan segenap track record-nya. Dalam hal ini, saya berpedoman dengan salah satu kaidah Ushul Fiqih yang mengatakan “Mâ Lâ Yudraku Kulluhu Lâ Yutraku Kulluhu”, bahwa sesuatu yang tidak bisa diketahui atau dikerjakan secara lengkap dan menyeluruh, maka tidak boleh ditinggalkan seluruhnya.
ADVERTISEMENT
Saya akhiri tulisan ini dengan satu bait syair Ibnu al-Shaffâr al-Andalusiy yang mengatakan “Wahal absharat ‘ainâka aqbaha mandharin, min asy’yaba lâ ‘ilmun ladaihi walâ hulmun?” Apakah kedua matamu pernah melihat pemandangan yang lebih buruk, daripada orang beruban yang tidak memiliki ilmu lagi kesabaran? Pemandangan itu jelas tidak nampak dari sosok Bang Bursah Zarnubi. Selamat ulang tahun ke-62 Bang. Semoga tetap sehat, dan terus menyinari generasi muda Ibu Pertiwi.
Ciputat, 23 Januari 2021
Oleh:
M. Huda Prayoga
(Kader Muhammadiyah, Penggemar Sastra Arab)