Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Peran Pemerintah di Tengah Ancaman Resesi 2023
28 Desember 2022 18:42 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari M Husain Nashar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setelah berakhirnya Pandemi Covid-19, PDB Indonesia terus menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi yang positif. Pada tahun 2022, pertumbuhan ekonomi kuartal I mengalami pertumbuhan sebesar 0,35% (q-t-q). Kemudian kuartal II tumbuh lebih tinggi sekitar 9,01% (q-t-q), dan kuartal III kembali menunjukkan angka pertumbuhan yang positif sebesar 3,47% (q-t-q).
ADVERTISEMENT
Dari sisi pengeluaran, semua komponen menunjukkan tren pertumbuhan yang positif sepanjang tahun 2022. Pada kuartal III, komponen konsumsi sebagai komponen terbesar penyumbang PDB mengalami pertumbuhan sebesar 1,30% (q-t-q). Kemudian komponen investasi tumbuh sebesar 2,68% (q-to-q), lalu komponen pengeluaran Pemerintah dan ekspor-impor masing-masing tumbuh sebesar 12,45% (q-t-q) dan 11,35% (q-t-q).
Nyaris tidak ada sinyal negatif bila kita melihat data PDB tahun 2022, begitulah kalimat yang tepat agaknya. Bila kita melihat data inflasi dari Bank Indonesia, trennya mengalami kenaikan. Inflasi bulan Oktober dan November tahun 2022 masing-masing mengalami kenaikan sebesar 5,71% dan 5,42%. Secara kumulatif inflasi pada tahun 2022 mencapai 45%. Padahal, tren ekspor-impor menunjukkan angka positif. Inflasi yang semakin menguat akan berdampak pada meruncingnya gap daya beli yang kemudian berimplikasi pada menurunnya pertumbuhan dan lesunya perekonomian.
ADVERTISEMENT
Dari sisi luar negeri, perang Rusia-Ukraina pun belum menunjukkan sinyal akan berakhir, tentu ini sangat berisiko. Artinya, tahun depan harga-harga barang akan terus naik akibat gangguan pada rantai pasokan. Hal ini kemudian ini akan berakibat pada kenaikan inflasi dan daya beli. Tentu ini menjadi ancaman bagi Indonesia pada tahun 2023 nanti.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah sudah sejauh mana peran Pemerintah Indonesia di tengah ancaman resesi tahun 2023? Pasalnya, berbagai negara di Eropa, Amerika dan Cina sudah merespons inflasi ini dengan menaikkan suku bunga. Dari sisi permintaan, nantinya inflasi memang akan direspons dengan menaikkan suku bunga. Namun, ini bukan fenomena yang sepenuhnya terjadi karena jumlah uang yang beredar, tetapi juga disebabkan oleh faktor luar negeri yang sulit diprediksi dan kebijakan yang tidak tepat sasaran.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 yang tidak melindungi ketenagakerjaan
ADVERTISEMENT
Di tengah ancaman resesi, Pemerintah mengeluarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang penetapan upah minimum tahun 2023 pada 17 November tahun 2022. Peraturan ini tentunya berupa peraturan yang dibuat Pemerintah dalam mengatur upah tenaga kerja pada tahun 2023. Esensinya, peraturan ini dibuat untuk melindungi tenaga kerja agar bisa memenuhi kehidupan yang layak, sesuai dengan amanat konstitusi, sehingga penetapan mengenai upah minimum perlu diatur.
Hal yang janggal dalam peraturan ini adalah bukan nilai minimum yang diatur, namun nilai maksimum yang diatur sebesar 10%. Dengan maksud kenaikan upah paling tinggi sebesar 10%. Hal ini tentu sebuah masalah bahwa Pemerintah tidak melihat ancaman resesi sebagai ancaman bagi ketenagakerjaan juga. Asumsi dasarnya adalah kenaikan tingkat upah harus sama atau lebih tinggi daripada tingkat kenaikan harga barang. Jika kenaikan harga-harga barang pada tahun 2023 sama dengan kenaikan harga-harga barang pada tahun 2022, maka Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tidak mampu melindungi kebutuhan sektor ketenagakerjaan. Lebih jauh lagi, hal ini akan berakibat pada konsumsi yang menurun dan berimbas pada output itu sendiri. Artinya Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tidak mampu menjawab persoalan yang sudah ada di depan mata.
ADVERTISEMENT
Penetapan PPN 11% yang mempersulit daya beli
Kenaikan PPN 11% yang tertuang dalam RUU Cipta kerja klaster Perpajakan menjadi polemik pada pertengahan tahun 2022. Kebijakan ini mendapat penolakan dari berbagai pihak, khususnya mengenai daya beli. Dari sisi produsen, kenaikan PPN pada sembako memang akan berimplikasi pada kenaikan harga barang produksi dan berimbas terhadap output produsen itu sendiri. Namun dari sisi konsumen, kenaikan PPN hanya akan mempersempit budget constraint masyarakat dalam mengkonsumsi barang. Masyarakat akan semakin membuat prioritas dan selektif dalam mengkonsumsi barang.
Belum lagi perang Rusia-Ukraina belum menunjukkan sinyal akan berhenti, sehingga masih berpotensi terjadi perlambatan rantai pasok dan berakibat pada kenaikan harga barang dalam negeri. Alih-alih harapannya meningkatkan penerimaan perpajakan, inflasi membuat gap daya beli makin melebar dan justru akan membuat aktivitas perekonomian lesu. Pasalnya, pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga belum sepenuhnya selesai. Daya beli masyarakat belum sepenuhnya stabil. Kemudian penetapan PPN 11% pada tahun 2022 hanya akan mempersulit daya beli masyarakat yang sedang diancam inflasi tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Alokasi anggaran yang bukan prioritas ke sektor prioritas
Usulan mengenai pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) sudah diketuk palu. Sekalipun telah diputuskan, penolakan dari berbagai pihak masih berlanjut. Pasalnya anggaran Ibu Kota Negara (IKN) yang tertuang pada RAPBN 2023 tidak sedikit, anggarannya mencapai Rp. 27,6 Triliun. Jika anggaran ini dialokasikan ke sektor yang lebih prioritas pada kondisi saat ini mungkin lebih tepat sasaran. Misalnya memberikan subsidi lebih pada sektor energi.
Dalam jangka Panjang mungkin ini bukan soal. Namun untuk jangka pendek ini sangat diperlukan. Terlepas kita bukan penganut monetaris yang taat, ancaman inflasi terhadap daya beli masyarakat sangat jelas, bila sektor moneter yang bekerja mungkin ini akan amat memukul masyarakat. Pasalnya, PPN sudah naik dan upah dibatasi kenaikannya. Karena itu stimulus fiskal berupa subsidi BBM dalam jangka pendek adalah langkah prioritas.
ADVERTISEMENT
Pemborosan anggaran dan kebijakan yang tidak tepat di tengah ancaman resesi justru bakal memperbesar ancaman ombak resesi. Pasalnya, pemborosan anggaran dan kebijakan yang tidak tepat tidak mampu mendongkrak dan justru mempersulit daya beli masyarakat ke depan. Hal ini juga akan berimbas pada menurunnya kinerja komponen konsumsi sebagai komponen utama penyumbang PDB. Lebih jauh, ini akan berakibat pada lesunya perekonomian tahun 2023 nanti.
Masih ada waktu untuk berbenah, mungkin ini kalimat yang tepat dalam menggambarkan kondisi saat ini. Ancaman resesi bukan layaknya kado ulang tahun yang sulit dihindari. Tahun 2023 bisa menjadi waktu yang tepat untuk rezim Jokowi meninggalkan kenang-kenangan manis di ujung masa berkuasanya, terlebih jika bisa melewati resesi dengan daya beli masyarakat yang mumpuni.
ADVERTISEMENT
Referensi
Badan Pusat Statistika Indonesia. (2022, November). Retrieved from BPS: https://www.bps.go.id/indicator/11/65/1/-seri-2010-pdb-seri-2010.html
Bank Indonesia. (2022, Desember). Retrieved from Bank Indonesia: https://www.bi.go.id/id/statistik/indikator/data-inflasi.aspx