Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Akankah Tiongkok Menginvasi Taiwan? Ketegangan Memuncak di Selat Taiwan
21 April 2025 9:54 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Husen Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Militer Tiongkok melaksanakan latihan tempur dengan peluru tajam di kawasan Selat Taiwan yang dirancang untuk mensimulasikan serangan ke berbagai pelabuhan strategis serta infrastruktur energi utama. Operasi militer yang diberi nama kode Strait Thunder ini merupakan bagian dari peningkatan intensitas latihan yang digelar pada hari Selasa, 1 April 2025, di sekitar wilayah Taiwan sebuah pulau demokratis yang masih diklaim oleh Beijing sebagai bagian dari kedaulatannya.
ADVERTISEMENT
Pihak kepresidenan Taiwan pada hari yang sama menyampaikan kecaman keras atas tindakan yang mereka sebut sebagai bentuk "provokasi militer" oleh Tiongkok yang dinilai semakin sering terjadi seiring dengan memburuknya hubungan antar kedua pihak di kawasan Selat Taiwan. Latihan ini juga bertepatan dengan semakin tajamnya retorika dari pemerintah Tiongkok terhadap Presiden Taiwan, Lai Ching-te yang disebut sebagai "parasit" dan "pendukung separatisme" oleh Beijing. Sebelumnya, Lai telah menyatakan bahwa Tiongkok merupakan "kekuatan asing yang bermusuhan" terhadap Taiwan. Dalam pernyataannya, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Tiongkok menegaskan bahwa latihan militer tersebut ditujukan sebagai bentuk peringatan tegas dan upaya pencegahan terhadap gerakan separatis yang mendorong kemerdekaan Taiwan.
Pemerintah Taiwan menyatakan bahwa latihan militer Tiongkok yang dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan merupakan bentuk provokasi yang berpotensi mengganggu stabilitas kawasan. Latihan tersebut melibatkan tembakan langsung dan menimbulkan kekhawatiran terhadap keselamatan jalur penerbangan internasional serta aktivitas perdagangan laut.
ADVERTISEMENT
Pernyataan itu disampaikan menyusul terdeteksinya 32 unit pesawat militer dan 50 pesawat tempur milik Tiongkok yang melintasi garis tengah Selat Taiwan oleh Kementerian Pertahanan Taiwan. Pemerintah Taiwan menegaskan bahwa Tiongkok telah melanggar norma internasional dengan menetapkan zona latihan hanya sekitar 74 kilometer dari wilayah barat daya Taiwan tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu. Latihan ini dilakukan di dekat Kaohsiung dan Pingtung dua area penting yang menjadi lokasi pangkalan militer udara dan laut Taiwan. Kaohsiung sendiri merupakan pelabuhan terbesar di Taiwan sekaligus salah satu pusat perdagangan tersibuk dunia.
Kementerian Pertahanan Taiwan mengecam keras tindakan ini menyebutnya sebagai ancaman nyata terhadap keselamatan penerbangan sipil dan jalur pelayaran internasional. Mereka juga menyatakan bahwa latihan ini merupakan bentuk provokasi terang-terangan terhadap perdamaian regional sembari memastikan bahwa pasukan militer Taiwan telah dikerahkan untuk memantau situasi dengan ketat.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Taiwan menyoroti aktivitas militer Tiongkok yang semakin meluas termasuk di sekitar wilayah Australia sebagai bukti bahwa Tiongkok kini menjadi ancaman utama bagi perdamaian dan stabilitas, tidak hanya di Selat Taiwan tetapi juga di kawasan Indo-Pasifik secara keseluruhan.
Tiongkok terus mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan tidak menutup kemungkinan menggunakan kekuatan untuk mencapai reunifikasi. Beijing juga secara konsisten menyerang Presiden Taiwan, Lai Ching-te, dengan menyebutnya sebagai tokoh separatis, serta mengecam hubungan erat Taiwan dengan Amerika Serikat.
Menanggapi meningkatnya ketegangan ini, Kantor Presiden Taiwan menyampaikan bahwa pemerintah sepenuhnya memahami situasi yang berkembang dan meminta masyarakat untuk tetap tenang.
Di sisi lain, kantor berita resmi Tiongkok, Xinhua, mengutip pernyataan Wang Huning tokoh penting dalam Partai Komunis Tiongkok yang menekankan pentingnya mendorong reunifikasi dengan Taiwan secara konsisten dan terstruktur. Wang menyebut bahwa Tiongkok harus mengambil kendali penuh dalam hubungan lintas selat.
ADVERTISEMENT
Taiwan secara tegas menolak klaim kedaulatan Beijing, menegaskan bahwa masa depan negaranya hanya dapat diputuskan oleh rakyat Taiwan sendiri.
Di tengah eskalasi militer, muncul pula dugaan sabotase terhadap kabel komunikasi bawah laut di lepas pantai barat daya Taiwan. Pada 25 Februari 2025, Penjaga Pantai Taiwan menangkap kapal berbendera Togo bernama Hong Tai 58, yang diawaki oleh warga negara Tiongkok dan dicurigai terlibat dalam perusakan infrastruktur kabel bawah laut. Kapal ini merupakan salah satu dari 52 kapal yang masuk dalam daftar pengawasan Taiwan karena diduga memiliki keterkaitan dengan aktivitas mencurigakan.
Pemerintah Tiongkok membantah tuduhan tersebut dan menuduh Taiwan menyebarkan informasi yang tidak berdasar. Insiden ini menambah panjang daftar gangguan kabel bawah laut yang dialami Taiwan di mana tercatat sudah lima kejadian serupa dalam satu tahun terakhir. Fenomena ini mengingatkan pada kasus di Laut Baltik yang terjadi pasca invasi Rusia ke Ukraina, memunculkan spekulasi bahwa pola gangguan terhadap infrastruktur bawah laut ini mungkin memiliki keterkaitan global.
ADVERTISEMENT
Klaim Tiongkok atas kedaulatan Taiwan tidak didukung oleh ketentuan hukum internasional sementara hanya pemerintahan yang terpilih secara demokratis yang memiliki legitimasi untuk mewakili aspirasi rakyat Taiwan.
Disisi lain Presiden Trump menyoroti pentingnya menjaga stabilitas di kawasan Selat Taiwan serta mendorong penyelesaian damai atas persoalan lintas selat. Amerika Serikat juga menegaskan kembali penolakannya terhadap segala bentuk tindakan sepihak khususnya yang melibatkan kekerasan atau tekanan, untuk mengubah situasi yang ada saat ini.
Ketidakjelasan mengenai kapan Tiongkok akan melancarkan invasi ke Taiwan disebabkan oleh berbagai pertimbangan internal dan eksternal. Beijing menimbang kesiapan angkatan bersenjatanya sendiri kekuatan militer Taiwan, Jepang, dan Amerika Serikat serta bagaimana reaksi dunia internasional terhadap tindakan semacam itu. Selain itu, keseimbangan militer di kawasan dan keinginan politik AS untuk ikut campur juga menjadi variabel penting. Karena dinamika geopolitik global sangat fluktuatif tidak ada kerangka waktu pasti yang bisa dijadikan patokan. Para analis keamanan menelusuri berbagai perkembangan, namun belum bisa memastikan bentuk maupun waktu langkah selanjutnya dari Tiongkok terhadap Taiwan. Situasinya bisa diibaratkan permainan catur: meskipun arah tujuan Tiongkok sudah jelas namun langkah strategisnya berikutnya masih belum terungkap.
ADVERTISEMENT
Walaupun kemungkinan invasi skala penuh oleh Tiongkok ke Taiwan masih belum dapat dipastikan, terdapat sejumlah faktor pemicu yang berpotensi meningkatkan ketegangan dalam beberapa tahun ke depan. Tiga tahun lalu, mantan Komandan Komando Indo-Pasifik AS, Laksamana Phil Davidson, memperingatkan bahwa Tiongkok mungkin akan mencoba menguasai Taiwan pada 2027, prediksi ini kemudian dikenal sebagai "Jendela Davidson." Saat ini, lembaga Global Guardian mengidentifikasi bahwa masa-masa rawan konflik atau blokade dapat berlangsung antara tahun 2024 hingga 2028, dan periode ini dinilai sebagai waktu paling memungkinkan bagi Tiongkok jika ingin mengambil tindakan militer terhadap Taiwan.
Dalam analisis intelijen terbaru dari Global Guardian, terdapat beberapa momen krusial yang dapat menjadi pemicu konflik:
Tahun 2025: Diprediksi sebagai waktu strategis di mana Taiwan memperkirakan Tiongkok siap secara militer untuk melakukan serangan. Proyeksi ini menekankan pentingnya memantau situasi geopolitik di kawasan dan mempersiapkan respons strategis dari Taiwan maupun negara-negara pendukungnya.
ADVERTISEMENT
Perayaan 100 tahun Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA) pada 2027: Momen ini bisa menjadi simbol penting bagi Tiongkok untuk menunjukkan kekuatan militer dan tekad politiknya, baik secara internal maupun di mata dunia, yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negerinya terhadap Taiwan.
Menuju tahun 2030: Seiring dengan langkah Amerika Serikat untuk mencapai kemandirian dalam sektor semikonduktor, ketergantungan terhadap Taiwan sebagai pusat produksi teknologi dapat berkurang. Perubahan ini bisa memengaruhi perhitungan strategis AS dan Tiongkok terhadap kepentingan mereka masing-masing di wilayah tersebut.
Ketidakpastian akan tetap membayangi, dan jika suatu saat Tiongkok memutuskan untuk bertindak, kemungkinan besar hal itu akan dilakukan secara tiba-tiba demi mengejutkan pihak lawan. Selain itu, ada sejumlah aspek yang dapat mempercepat keputusan Tiongkok untuk bertindak, antara lain: Perhatian AS yang teralihkan oleh konflik lain seperti di Semenanjung Korea, Timur Tengah, atau akibat keterlibatan militer di Ukraina dan Laut Merah.
ADVERTISEMENT
Kondisi kesehatan Presiden Xi Jinping yang mulai menjadi perhatian publik menimbulkan spekulasi bahwa ia ingin mewujudkan reunifikasi sebelum akhir masa jabatannya. Perubahan pendekatan AS terhadap Taiwan dan Tiongkok, yang menunjukkan pergeseran dari strategi ambiguitas menuju kebijakan yang lebih terbuka dan jelas. Kunjungan tokoh penting AS ke Taiwan, seperti perjalanan Ketua DPR AS Nancy Pelosi pada tahun 2022 yang memicu respons agresif dari Beijing. Penjualan senjata strategis oleh AS ke Taiwan dan latihan militer Taiwan termasuk uji coba rudal balistik jarak pendek, yang dapat memperuncing ketegangan.
Apa yang Mungkin Terjadi Jika Tiongkok Menyerang Taiwan?
Potensi serangan militer Tiongkok terhadap Taiwan di masa mendatang memunculkan sejumlah skenario yang bisa saja terjadi. Salah satu skenario yang mungkin dilakukan adalah blokade terhadap Taiwan di mana Tiongkok berusaha memutuskan hubungan Taiwan dengan dunia luar baik secara ekonomi maupun logistik. Strategi ini bertujuan untuk menekan pemerintah Taiwan tanpa perlu melakukan invasi langsung.
ADVERTISEMENT
Alternatif lainnya adalah pengambilalihan beberapa pulau kecil di sekitar Taiwan terutama yang berada dekat dengan pesisir Tiongkok. Langkah ini bisa digunakan sebagai strategi awal untuk menunjukkan kekuatan sekaligus menguji reaksi dari Taiwan dan sekutu-sekutunya. Namun, jika Tiongkok memilih jalan yang lebih agresif invasi militer skala penuh dapat menjadi opsi. Serangan ini bisa dimulai dengan serangan udara dan laut, diikuti oleh pendaratan pasukan militer untuk merebut fasilitas penting seperti pelabuhan, infrastruktur pemerintahan dan pangkalan udara.
Lebih lanjut, serangan pendahuluan terhadap pangkalan-pangkalan militer Amerika Serikat di kawasan Indo-Pasifik seperti Guam, Filipina, dan Jepang juga mungkin dilakukan guna melemahkan potensi intervensi AS. Tindakan ini tentunya akan menimbulkan risiko besar terhadap keselamatan pasukan AS yang berada di wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Jika skenario invasi terjadi, konsekuensinya akan sangat luas baik bagi Taiwan maupun dunia internasional. Selain potensi krisis kemanusiaan yang dapat mengancam nyawa dan kesejahteraan masyarakat Taiwan dampaknya terhadap stabilitas ekonomi global juga akan signifikan. Taiwan merupakan pusat penting dalam rantai pasok global terutama dalam industri semikonduktor sehingga konflik militer dapat mengganggu perdagangan internasional memicu ketidakstabilan pasar dan memperburuk kondisi ekonomi dunia.
Dari sisi geopolitik, respon komunitas internasional khususnya Amerika Serikat dan sekutu regionalnya kemungkinan besar akan bersifat ganda yaitu melalui jalur diplomatik dan militer. Upaya diplomatik akan diarahkan pada kecaman terhadap tindakan Tiongkok serta dorongan penyelesaian damai. Sementara itu, dari sisi militer negara-negara seperti AS, Jepang, dan Australia mungkin akan memberikan dukungan kepada Taiwan serta menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Tiongkok. Selain itu, blokade maritim oleh armada angkatan laut AS untuk menghambat akses energi dan sumber daya ke Tiongkok juga bisa menjadi bagian dari respons strategis mereka. Gabungan tekanan diplomatik dan kemungkinan aksi militer ini akan menentukan arah perkembangan krisis, serta menggambarkan bagaimana komunitas internasional merespons salah satu tantangan keamanan paling besar dalam beberapa dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
Seberapa Besar Peluang Tiongkok Melakukan Invasi ke Taiwan?
Menurut analisis dari para pakar di Global Guardian kemungkinan terjadinya invasi militer skala penuh oleh Tiongkok terhadap Taiwan diperkirakan sekitar 35%, sementara peluang tercapainya penyelesaian damai secara diplomatik hanya sekitar 5%. Dengan demikian, skenario yang paling mungkin terjadi sekitar 60% kemungkinannya adalah konflik terbatas seperti blokade parsial atau total terhadap Taiwan. Tujuannya adalah mengganggu aktivitas ekonomi, komunikasi, dan rantai pasokan Taiwan serta mengisolasi pulau tersebut secara strategis tanpa harus memicu perang terbuka.
Blokade de facto dinilai sebagai perkembangan alami dari dinamika yang saat ini tengah berlangsung, dan memiliki potensi untuk berkembang menjadi konflik yang lebih luas antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Bagi Beijing, strategi ini relatif lebih murah secara biaya dan risiko dibandingkan dengan invasi militer langsung serta memberi ruang bagi pemerintah Tiongkok untuk mengatur tingkat eskalasi konflik berdasarkan reaksi dari Taiwan dan sekutu-sekutunya terutama Washington. Pendekatan ini memungkinkan pengendalian penuh oleh Tiongkok terhadap situasi di kawasan.
ADVERTISEMENT
Penting untuk dipahami bahwa tujuan utama dari strategi blokade bukan semata untuk menghentikan semua arus masuk dan keluar dari Taiwan, melainkan mengirimkan sinyal politik kuat kepada Taiwan dan komunitas internasional bahwa Tiongkok mengklaim kedaulatan atas pulau tersebut. Dalam praktiknya, blokade dapat melibatkan tindakan militer terbatas dari Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), seperti pembatasan terhadap kapal-kapal tertentu atau larangan penerbangan menuju dan dari pelabuhan serta wilayah udara Taiwan.
Tiongkok kemungkinan akan membungkus tindakan ini dengan narasi non-konfrontatif, seperti menyebutnya sebagai “karantina” untuk mencegah penyelundupan senjata atau dukungan militer dari luar, alih-alih menyatakannya sebagai aksi militer penuh. Strategi semacam ini bertujuan untuk menghindari eskalasi langsung sekaligus mempertahankan tekanan diplomatik dan psikologis terhadap Taiwan
ADVERTISEMENT
Sebagai mahasiswa menurut saya, fenomena meningkatnya intensitas militer Tiongkok di Selat Taiwan mengundang perhatian mendalam tidak hanya dari sudut pandang keamanan regional tetapi juga dari dinamika kekuatan global yang sedang berlangsung. Latihan militer besar-besaran yang dilakukan Tiongkok dan retorika keras terhadap pemerintahan Taiwan merupakan bentuk tekanan yang mencerminkan ambisi Beijing untuk merealisasikan reunifikasi baik secara damai maupun koersif. Namun, dalam konteks internasional, tindakan tersebut justru memperbesar ketegangan dan memperkuat persepsi bahwa stabilitas Indo-Pasifik tengah berada di ujung tanduk. Bagi Taiwan, dukungan dari sekutu seperti Amerika Serikat menjadi semakin penting namun juga menjadi sumber friksi yang memperburuk hubungan lintas selat. Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari persaingan kekuatan besar, terutama antara Tiongkok dan AS, di mana Taiwan menjadi medan strategis dalam mempertahankan hegemoni dan pengaruh geopolitik masing-masing pihak. Maka, pertanyaan apakah Tiongkok akan benar-benar menginvasi Taiwan tidak hanya bergantung pada kalkulasi militer semata tetapi juga pada bagaimana dinamika global dan regional akan bergerak dalam beberapa tahun ke depan dan bagaimana komunitas internasional merespons sinyal-sinyal bahaya dari Selat Taiwan.
ADVERTISEMENT
Muhammad Husen, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Tanjungpura, Pontianak.