Konten dari Pengguna

Kekhawatiran Trump Terhadap Sistem Pembayaran QRIS & GNP Yang Tuai Kritik

Muhammad Husen
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Tanjungpura
3 Mei 2025 17:43 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Husen tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi sistem pembayaran QRIS (Sumber: iStock/Kanawa_Studio)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi sistem pembayaran QRIS (Sumber: iStock/Kanawa_Studio)
ADVERTISEMENT
Pontianak - Metode pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) telah menarik perhatian Amerika Serikat (AS) karena dianggap dapat menyederhanakan transaksi harian masyarakat. Meskipun QRIS memberikan kemudahan bagi masyarakat Indonesia, implementasinya mendapat kritik dari AS. Pemerintah AS menilai bahwa pihak internasional kurang dilibatkan dalam proses penyusunan QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
ADVERTISEMENT
Beberapa perusahaan perbankan asal Amerika mengeluhkan kurangnya informasi mengenai perubahan yang diterapkan pada QRIS dan GPN, serta tidak diberikannya kesempatan untuk memberikan masukan atau pandangan. AS berpendapat bahwa kedua sistem pembayaran tersebut, yaitu QRIS dan GPN, tidak dirancang agar kompatibel dengan standar sistem pembayaran internasional.
QRIS adalah standar kode QR nasional yang dikembangkan oleh Bank Indonesia (BI) untuk memfasilitasi pembayaran digital di dalam negeri. GPN, di sisi lain, merupakan sistem pembayaran nasional yang bertujuan mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal transaksi keuangan di Indonesia. Meskipun keduanya memiliki fungsi yang berbeda, QRIS dan GPN saling terkait. GPN berperan sebagai infrastruktur yang menghubungkan berbagai bank di Indonesia, sementara QRIS menyediakan standar kode pembayaran lintas platform.
ADVERTISEMENT
Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) mengkritik implementasi QRIS sebagai hambatan dalam layanan keuangan, sebagaimana tercantum dalam laporan tahunan National Trade Estimate (NTE) 2025. USTR menilai Peraturan Bank Indonesia (BI) Nomor 21 Tahun 2019 tentang Implementasi Standar Nasional QR Code untuk Pembayaran kurang melibatkan perusahaan-perusahaan asal AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan perbankan. Mereka mengklaim tidak diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam penyusunan regulasi tersebut.
Selain itu, USTR juga mengkritik Peraturan BI Nomor 22 Tahun 2020 tentang Sistem Pembayaran, yang merupakan bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025. Aturan ini, di antaranya, membatasi kepemilikan asing dalam operator sistem pembayaran nonbank dan operator infrastruktur pembayaran. USTR juga menyoroti Peraturan BI Nomor 19 Tahun 2017 tentang GPN yang mewajibkan transaksi ritel domestik diproses melalui lembaga berlisensi lokal. Kebijakan BI pada Mei 2023 mengenai penggunaan kartu kredit pemerintah pusat dan daerah melalui jaringan GPN juga menjadi perhatian, karena dianggap membatasi akses perusahaan pembayaran AS terhadap pasar Indonesia.
ADVERTISEMENT
AS mengkritisi implementasi sistem pembayaran digital di Indonesia, khususnya sistem berbasis kode respons cepat nasional dan jaringan pembayaran domestik. Kritik ini muncul di tengah negosiasi tarif resiprokal yang sedang berlangsung antara kedua negara. AS menilai bahwa mereka tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangan mengenai dampak regulasi tersebut terhadap konektivitas sistem pembayaran internasional.
Kekhawatiran lainnya muncul dari kebijakan Bank Indonesia yang mewajibkan seluruh transaksi kartu kredit pemerintah pusat dan daerah diproses melalui jaringan domestik. Aturan ini dianggap membatasi perusahaan-perusahaan pembayaran asal AS dalam mengakses pasar transaksi elektronik di Indonesia serta mengurangi keberagaman teknologi asing dalam sistem keuangan publik nasional.
AS juga menilai bahwa proses penyusunan kebijakan ini minim partisipasi dari pemangku kepentingan internasional. Perusahaan-perusahaan AS merasa tidak dilibatkan dalam pembahasan sebelum regulasi diberlakukan. Mereka berharap agar standar sistem pembayaran nasional Indonesia tetap membuka peluang integrasi dengan jaringan pembayaran global.
ADVERTISEMENT
Menanggapi kritik ini, Bank Indonesia menegaskan bahwa QRIS dirancang untuk memfasilitasi pembayaran nontunai di Indonesia secara lebih inklusif, dan bukan untuk menghambat prinsip-prinsip internasional. Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menyampaikan bahwa kolaborasi Indonesia dengan negara lain, termasuk Amerika Serikat, sangat bergantung pada kesiapan masing-masing negara. "Kami memperlakukan semua negara secara setara. Jika Amerika siap dan kami juga siap, tentu kerja sama bisa dilakukan," ujar Destry pada acara Edukasi Keuangan untuk Pekerja Migran Indonesia di Jakarta, pada 21 April 2025.
QRIS dan GPN di Indonesia dipandang sebagai wujud kemandirian finansial dan kedaulatan digital negara. Kritik dari AS dianggap lebih berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap pembatasan kepemilikan asing dalam infrastruktur pembayaran nasional, yang selama ini didominasi oleh perusahaan besar seperti Visa dan Mastercard.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan National Trade Estimate 2024, AS memasukkan QRIS dan GPN sebagai potensi hambatan perdagangan yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan pejabat Indonesia. Meski demikian, pemerintah Indonesia diimbau untuk tetap konsisten mempertahankan kendali atas sistem keuangan domestik di tengah meningkatnya tekanan perdagangan internasional. Upaya memperkuat ekosistem pembayaran nasional yang lebih inklusif dan berdaulat dianggap lebih penting daripada menuruti tekanan pihak asing.
Inisiatif QRIS dan GPN yang dikembangkan Bank Indonesia telah berperan besar dalam modernisasi serta penyederhanaan sistem pembayaran digital nasional. Kekhawatiran pihak Washington dianggap sebagai bagian dari kegelisahan global atas langkah Indonesia mengurangi ketergantungan terhadap pengaruh asing dalam sektor keuangan.
Bank Indonesia tetap membuka peluang kerja sama dengan semua negara, termasuk AS, dalam pengembangan sistem pembayaran cepat. Namun, dalam setiap negosiasi internasional, prinsip dasar mengenai kedaulatan dan kemerdekaan nasional tidak boleh dikompromikan.
ADVERTISEMENT
Meskipun AS merupakan mitra dagang penting, Indonesia juga memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan Tiongkok, negara-negara ASEAN, dan kawasan Timur Tengah, yang dapat menjadi alternatif untuk memperluas pasar ekspor dan meningkatkan daya saing nasional.
Dalam menghadapi perundingan global, penting bagi Indonesia untuk tampil percaya diri, berbekal data akurat, pemahaman mendalam, serta keberanian mempertahankan prinsip-prinsip nasional. Jika tidak ditemukan titik temu dalam negosiasi, Indonesia diingatkan untuk tetap berdiri teguh demi menjaga martabat bangsa.
Implementasi QRIS dan GPN di Indonesia adalah bagian dari upaya strategis untuk memperkuat kemandirian sistem keuangan nasional di era digital. Dengan membangun standar dan infrastruktur pembayaran sendiri, Indonesia tidak hanya meningkatkan efisiensi transaksi domestik, tetapi juga melindungi ekosistem pembayaran dari dominasi asing yang selama ini mendominasi jalur-jalur transaksi global.
ADVERTISEMENT
Kritik dari AS terhadap QRIS dan GPN sebetulnya wajar dalam konteks persaingan global, terutama karena regulasi tersebut membatasi kepemilikan dan pengaruh asing, termasuk dari perusahaan besar seperti Visa dan Mastercard. Dari sudut pandang AS, adanya pembatasan terhadap partisipasi asing dan kurangnya kompatibilitas internasional dianggap sebagai hambatan perdagangan. Namun, dari perspektif Indonesia, langkah ini adalah bentuk wajar dari proteksi terhadap sektor strategis sekaligus memastikan bahwa kendali atas data, transaksi, dan arah perkembangan sistem pembayaran tetap di tangan nasional.
Proses penyusunan regulasi yang lebih fokus pada kebutuhan domestik juga merupakan bagian dari prinsip kedaulatan. Keterlibatan internasional tentu penting, namun tidak seharusnya menjadi syarat mutlak dalam membentuk regulasi yang mengutamakan kepentingan nasional. Negara-negara besar, termasuk AS sendiri, kerap memprioritaskan kepentingannya dalam perumusan kebijakan ekonomi mereka, sehingga sah bila Indonesia melakukan hal serupa.
ADVERTISEMENT
Dalam hal kerja sama internasional, sikap terbuka tetap penting untuk menjaga hubungan baik, namun prinsip kedaulatan dan keberpihakan pada pembangunan ekosistem keuangan nasional harus tetap menjadi prioritas. Indonesia juga memiliki alternatif pasar selain Amerika Serikat, seperti negara-negara ASEAN, Tiongkok, dan Timur Tengah, yang memperkuat posisi tawar Indonesia dalam negosiasi global.
Pada akhirnya, Indonesia perlu konsisten menjaga prinsip dasar, yaitu keterbukaan untuk kerja sama, namun tetap mempertahankan kemandirian. Tidak semua kritik perlu ditanggapi dengan perubahan kebijakan, terutama bila kebijakan tersebut bertujuan untuk membangun ketahanan ekonomi jangka panjang.
Muhammad Husen, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Tanjungpura