Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok Dalam Persaingan Teknologi Antariksa
6 Mei 2025 20:18 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Husen tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pontianak, 6 Mei 2025 - Persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok dalam pengembangan teknologi antariksa telah memasuki babak baru yang semakin intens dan kompleks. Jika pada era Perang Dingin, rivalitas eksplorasi luar angkasa didominasi oleh dua kekuatan super, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet, maka kini babak serupa kembali terulang kali ini antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok. Keduanya tidak hanya bersaing untuk mengukir prestasi teknologi luar angkasa, tetapi juga untuk merebut dominasi geopolitik dan geostrategis di luar angkasa yang diyakini akan menjadi medan baru pengaruh global pada abad ke-21.
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat melalui NASA (National Aeronautics and Space Administration) dan perusahaan swasta seperti SpaceX dan Blue Origin, telah lama memimpin dalam eksplorasi ruang angkasa. Artemis I berhasil diluncurkan pada November 2022 dengan misi tak berawak yang berfungsi sebagai uji coba sistem peluncuran SLS dan kapsul Orion. Selain menjangkau orbit bulan, misi ini juga membawa 10 satelit mini (cubesat) untuk misi teknologi dan sains. Pendaratan kapsul Orion di Samudra Pasifik menandai keberhasilan teknologi baru NASA, diikuti dengan rencana peluncuran Artemis II yang melibatkan awak manusia pada 2024 menjadi misi berawak pertama yang mengorbit Bulan.
Empat astronot akan dibawa lebih jauh dari orbit Bumi dalam misi selama 10 hari untuk menguji sistem pendukung kehidupan dan navigasi pesawat antariksa Orion. dan Artemis III 2025, yang akan menjadi momen penting saat dua astronot pria dan wanita diturunkan ke wilayah kutub selatan Bulan menggunakan wahana pendarat yang dikembangkan oleh SpaceX. Mereka akan tinggal di permukaan bulan selama sekitar satu minggu untuk melakukan eksplorasi dan eksperimen ilmiah. Pemerintah AS berkomitmen mengucurkan dana besar untuk misi ini. Berdasarkan laporan Kantor Akuntabilitas Pemerintah AS (GAO), program Artemis diproyeksikan menelan biaya lebih dari $93 miliar antara dari tahun 2012 hingga 2025, mencerminkan keseriusan Washington dalam mempertahankan dominasi luar angkasa.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Tiongkok menunjukkan kemajuan luar biasa dalam dua dekade terakhir. Sejak pendirian badan antariksa CNSA (China National Space Administration), Tiongkok secara sistematis membangun kemampuannya, mulai dari peluncuran satelit, misi lunar, hingga pengembangan stasiun luar angkasa mandiri. Pada 2019, Tiongkok menjadi negara pertama yang berhasil mendaratkan wahana Chang’e-4 di sisi jauh Bulan, sebuah pencapaian yang belum pernah dilakukan negara lain. Keberhasilan ini disusul oleh misi Chang’e-5 pada 2020, yang berhasil membawa kembali sampel tanah Bulan ke Bumi.
Tidak berhenti di situ, Tiongkok juga telah menyelesaikan pembangunan stasiun luar angkasa Tiangong pada tahun 2022 dan menargetkan pembangunan pangkalan penelitian permanen di Bulan pada 2030 melalui kerja sama dengan Rusia. CNSA telah mengungkapkan rencana jangka panjang hingga 2045 untuk menjadi pemimpin global dalam industri antariksa, dengan tujuan akhir mendirikan koloni manusia di Bulan dan Mars.
ADVERTISEMENT
Persaingan ini bukan sekadar soal prestise ilmiah atau pencapaian teknologi. Di baliknya, terdapat unsur kompetisi militer dan ekonomi. Dominasi luar angkasa dapat memberikan keuntungan strategis dalam penguasaan sistem komunikasi, navigasi global, satelit mata-mata, dan pertahanan rudal. Pada 2019, Amerika Serikat bahkan membentuk United States Space Force (USSF), cabang militer baru yang didedikasikan khusus untuk pengamanan aset luar angkasa.
Langkah ini dinilai sebagai bentuk pengakuan atas potensi militerisasi ruang angkasa dan kekhawatiran atas ambisi Tiongkok. Sementara itu, Tiongkok sendiri telah beberapa kali menunjukkan kemampuannya dalam teknologi anti-satelit (ASAT), seperti yang terlihat pada uji coba penghancuran satelit buatan sendiri pada tahun 2007 yang menimbulkan kekhawatiran internasional terkait keamanan orbit bumi.
Dari sisi ekonomi, industri antariksa menjadi sektor bernilai tinggi. Laporan dari Bank of America memperkirakan bahwa ekonomi luar angkasa global akan mencapai $1,4 triliun pada tahun 2030, meningkat dari sekitar $400 miliar pada 2020. Oleh karena itu, siapa yang menguasai industri ini lebih awal, berpeluang besar untuk menjadi pemimpin ekonomi masa depan dalam aspek komersialisasi satelit, perjalanan antariksa, penambangan asteroid, hingga layanan komunikasi berbasis luar angkasa.
ADVERTISEMENT
Persaingan Amerika Serikat dan Tiongkok juga terlihat dalam upaya membentuk aliansi global di bidang antariksa. AS dengan program Artemis Accords menggandeng puluhan negara, termasuk Jepang, Inggris, Italia, dan Australia, untuk menyepakati prinsip-prinsip eksplorasi damai di luar angkasa. Sementara itu, Tiongkok dan Rusia mempromosikan International Lunar Research Station (ILRS) sebagai alternatif blok eksplorasi luar angkasa yang menandingi pengaruh AS.
Persaingan ini mencerminkan fragmentasi tatanan dunia baru, di satu sisi, Amerika memimpin koalisi Barat dalam pendekatan transparansi dan kerja sama multilateral, sedangkan Tiongkok menawarkan pendekatan alternatif yang lebih terpusat dan berbasis pada kemitraan strategis dengan negara-negara berkembang. Maka, pertarungan teknologi antariksa ini lebih dari sekadar siapa yang mendarat lebih dulu di Bulan ia adalah simbol dari pertarungan ideologi, kepemimpinan global, dan masa depan tatanan internasional.
ADVERTISEMENT
Muhammad Husen, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Tanjungpura, Pontianak.