4 Cara Agar Anak Terhindar dari Pelaku Pedofilia

Muhammad Husnil
Pengarang | Penyunting
Konten dari Pengguna
17 Maret 2017 23:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Husnil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
4 Cara Agar Anak Terhindar dari Pelaku Pedofilia
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagi orangtua-baru, laporan penelitian Harvard Medical School pada 2010 tentang pedofilia cukup mengejutkan: tak ada obat bagi penyakit pedofilia. Laporan berjudul Pessimism About Pedhophilia itu menjelaskan tiga kunci utama:
ADVERTISEMENT
1. Pedofilia merupakan orientasi seksual dan sulit diubah. Pengobatan pun bertujuan untuk membuat seseorang melawan dorongan nafsu seksualnya.
2. Intervensi tak mungkin bisa berjalan sendiri; dampaknya mungkin akan lebih baik jika pasien termotivasi dan perawatan yang dipadukan dengan psikoterapi dan obat.
3. Orang tua mesti tahu bahwa di sebagian besar kasus pelecehan seksual anak, pelaku merupakan seseorang yang dikenal oleh anak.
Siapa pun yang waras mesti khawatir terhadap pelaku pedofilia ini. Beruntung kepolisian berhasil membongkar grup Facebook Official Candy’s Grups. Kerja kepolisian ini patut diapresiasi besar-besaran karena telah menyelamatkan banyak anak. Terima kasih, Bapak/Ibu Polisi.
Kasus ini, setidaknya, membuka mata kita betapa revolusi media sosial juga membuka kemungkinan para pelaku pedofilia menjalarkan penyakitnya lebih luas. Dari berbagai berita, kita tahu bahwa grup itu mewajibkan semua anggotanya sebanyak 7.000 lebih untuk menyetorkan kegiatan mereka melalui foto dan video setiap hari dengan korban berbeda. Betapa kejahatan mereka ini sudah tak bisa lagi dinalar oleh kita-kita yang berakal sehat.
ADVERTISEMENT
Tapi, selain mengabarkan berita buruk laporan Harvard Medical Shool itu juga memberikan jalan keluarnya: fokuslah untuk melindungi anak. Berbekal membaca sekilas laporan dan referensi tentang pedofilia ini, saya menyusun 4 cara berikut untuk melindungi anak-anak kita dari perilaku pedofilia:
Pertama: Ajari Anak Tentang Hak Tubuh
Sejak kecil kita mesti mulai mengenalkan kepada anak bahwa mereka memiliki hak penuh atas tubuh mereka. Jika ada seseorang yang tiba-tiba mencubit pipi, misalnya, maka mereka berhak marah dan mengajukan protes terhadap seseorang tersebut. Tentu saja, kita ajari mereka protes dengan bahasa dan sikap yang patut. Perlahan, kita juga ajari mereka untuk berteriak jika ada seseorang yang memegang atau meraba-raba area perut, dada, pantat, atau perabotannya. Ajari pula agar anak kita berani menolak ajakan untuk ke tempat-tempat sepi atau remang-remang. Oleh siapa pun.
ADVERTISEMENT
UNICEF Indonesia dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) mengeluarkan dua video bagus tentang ini. Video pendek berjudul Geni dan Aksa ini sangat membantu orang tua dan mudah dipahami oleh anak. Video ini bisa ditonton bersama anak untuk menjelaskan kepada mereka tentang hak tubuh mereka dan bagaimana mereka harus bertindak bila ada seseorang yang akan melakukan tindakan tak senonoh terhadap mereka.
Pelaku melakukan tindakan senonohnya tidak tiba-tiba. Dia melakukannya secara berangsur dan terus meningkat, sampai pada taraf pelecehan seksual. Pertama mengiming-imingi anak dengan sesuatu yang digemari, seperti permen atau cokelat. Tindakan akhirnya, tentu saja, mengeksploitasi anak untuk melampiaskan hasrat seksualnya.
Tapi, hal ini tak lantas kita segera mencurigai teman atau saudara kita yang membagi apa pun terhadap anak kita. Bukan sikap baik ini yang mesti dikhawatirkan. Yang kita perlu perhatikan adalah bila seseorang itu sudah mengarah ke tindakan tak senonoh, seperti meraba-raba tubuh anak kita.
ADVERTISEMENT
Yang juga penting adalah kita juga mesti mengajari mereka untuk menjaga hak tubuh orang lain.
Kedua: membangun hubungan saling percaya dengan anak
Hubungan yang hangat antara orang tua dan anak merupakan kunci untuk mengatasi masalah dalam keluarga. Biasakan orang tua terbuka terhadap anak dan dorong anak untuk memiliki kebiasaan bercerita terhadap orang tua. Sebagai orang tua kita mesti bersiap memasang kuping atas cerita-cerita anak. Lepaskan terlebih dahulu gawai kita. Masa depan dan kepercayaan yang kita peroleh dari anak lebih utama.
Mau mendengarkan ini merupakan tindakan penting untuk membangun hubungan saling percaya. Yang juga penting adalah orang tua tak boleh berbohong kepada anak. Jika menjanjikan sesuatu dan tak bisa melunasinya, segera minta maaf ke anak dan bila ada kesempatan penuhi janji itu. Memegang janji bukan cuma terhadap anak, tapi juga mesti dilakukan orang tua.
ADVERTISEMENT
Ketiga: mengenali pedofilia
Definisi tentang pedofilia terus berubah. Yang terkiwari jurnal yang diterbitkan World Health Organization (WHO) Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) menjelaskan bahwa pedofilia merupakan hasrat seksual membara terhadap bocah praremaja, dan sebuah gangguan jika hasrat itu membuat kepribadian seseorang menjadi sulit, atau jika seseorang mengikuti hasratnya. DSM edisi V memasukkan kategori seseorang disebut pedofilia jika ia juga memiliki hebephilia, yaitu memiliki hasrat terhadap anak yang sedang beranjak masa akil balig.
Pedofilia ini bisa menghinggapi siapa pun, baik heteroseksual maupun homoseksual. Tapi, hampir semua pelaku pedofilia ini lelaki. Berbagai kajian tentang kekerasan seksual anak melaporkan bahwa angka pelaku pedofilia perempuan berkisar dari 1%-6%. Ada angka lain yang juga patut diperhatikan. 50%-70% pelaku pedofilia juga mengidap ekhibionism (suka pamer perabotan), voyeurism (suka mengintip), dan sadisme. Tentang yang terakhir ini mungkin kita ingat kasus Robot Gedek atau Babe. Dua lelaki paruh baya yang membantai sejumlah bocah lelaki setelah mereka sodomi. Keduanya mengidap penyakit pedofilia dan sadisme.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari temuan ini, tak aneh bila pelaku pedofilia ini melancarkan aksinya dengan pamer perabotan miliknya di hadapan anak-anak, kerap melihat foto atau gambar anak-anak telanjang, masturbasi di depan anak-anak, atau meraba perabotan anak-anak. Oral, anal, atau penetrasi ke vagina termasuk jarang. Tapi, potensi selalu ada.
Tapi, Margo Kaplan, akademisi hukum yang banyak menelaah kasus kriminal seks, menyebutkan bahwa pedofilia bukan kriminal. Pedofilia hanya gangguan mental. Ada banyak orang yang mengidap pedofilia dan mereka terus menahan hasrat mereka, kata asisten professor di Rutgers School of Law, Camden dalam kolomnya di New York Times. Mereka ini, di antaranya, tergabung dalam laman Virtous Pedophiles. Dalam laman Tentang, mereka menyebut bahwa “Kami tak memilih berhasrat terhadap bocah, dan kami juga tak bisa menghilangkan hasrat tersebut. Tapi, kami bisa menahan upaya untuk tak melecehkan anak, dan kehadiran kami tak membahayakan anak sama sekali.”
ADVERTISEMENT
Dari sini, ada satu hal yang perlu kita garisbawahi: bukan gangguan mental ini yang kita kutuk melainkan tindakan seseorang yang terjangkit penyakit ini dan sudah mengikuti hasratnya. Pikiran atau keinginan tak bisa dijatuhi hukuman, kecuali sudah berwujud menjadi tindakan.
Keempat: menyaring unggahan foto anak ke media sosial
Harvard Medical School menyebutkan bahwa 60%-70% pelaku pelecehan seksual terhadap anak merupakan kerabat, tetangga, teman keluarga, guru, pelatih, tokoh agama, atau seseorang yang sudah akrab dengan anak.
Berkat internet dan revolusi media sosial definisi teman dan kerabat sekarang ini melebar drastis. Seseorang bisa menjadi teman atau kerabat di akun media sosial bahkan menjadi akrab tanpa sekalipun pernah bertemu. Jumlah mereka yang menjalin hubungan asmara atau menikah yang bermula dari media sosial tentu terus bertambah setiap waktu.
ADVERTISEMENT
Di media sosial ini kita tak bisa mengontrol tindakan orang lain. Pun, kita tak bisa mengetahui secara persis apa reaksi orang terhadap kita. Dalam hal pedofilia ini, yang paling dekat kita bisa lakukan adalah menyaring unggahan foto anak kita di media sosial. Saya dan istri sepakat untuk hanya mengunggah foto anak kami yang berpakaian lengkap. Artinya, mengenakan kaos/baju dan bercelana panjang. Saya tak hendak masuk dalam perdebatan batasan pakaian. Bagi kami, batasannya adalah pantas dan terhormat. Saya mempersilakan bila ada batasan yang lebih praktis dari ini.
Mengapa ini penting? Karena salah satu gejala pedofilia, sebagaimana disebut di atas, adalah melihat foto atau gambar anak telanjang. Persepsi ketelanjangan ini setiap orang berbeda-beda. Lagi-lagi, yang bisa kita atur adalah tindakan kita, bukan persepsi orang lain.
ADVERTISEMENT
Selain itu, saya dan istri juga sepakat tak mencantumkan nama sekolah, alamat sekolah, atau tempat-tempat yang biasa anak kami kunjungi ke media sosial. Berbagi satu-dua cerita tentang anak bukan perkara haram di media sosial. Yang menjadi perhatian di sini adalah proses menyaring materinya.
Tentu saja, daftar ini bisa terus bertambah. Pakar, ahli atau siapa pun yang turut prihatin dalam masalah ini bisa membuat daftar semacam ini menjadi lebih ringkas atau lebih praktis. Saya membuat daftar ini dengan tujuan untuk menjadi pegangan kami, dan semoga juga orang tua lainnya.
Apakah kami terlalu berlebihan? Jika menjaga anak dengan baik disebut sebagai orang tua berlebihan, maka kami sebagai orang tua rela disebut berlebihan. Ini demi keamanan dan keselamatan mereka. Yang pasti, kami ingin agar anak-anak kita terbebas dari para pelaku pedofilia yang akan merusak masa depan mereka.
ADVERTISEMENT
Wallahu al-musta'an