Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
The Death of Mbok Patmi
22 Maret 2017 9:40 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Muhammad Husnil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mbok Patmi, petani wanita itu, wafat dalam proses perjuangan, karena tanah dan airnya terancam rusak oleh penambangan semen. Seorang dari ribuan yang melindungi kelestarian pegunungan Kendeng, Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Ia memang telah tiada, tapi perjuangannya tetap baka. Mbok Patmi berpulang di Jakarta, 21 Maret 2017, pada usia 46 tahun.
Banyak orang uluk al-fatihah untuknya. “Kendeng berduka,” kata satu status di Facebook. “Selamat jalan, Bu Patmi. Kami berdoa untukmu,” satu akun di Twitter bercuit. “Inna lillahi, semoga masuk dalam kategori syahid,” seseorang berkomentar di WhatsApp.
Mbok Patmi sendiri mungkin tak pernah mengira hidupnya berakhir di Jakarta, saat dia bersama dulur-dulurnya memperjuangkan agar pemerintah mencabut izin operasi pabrik Semen Indonesia di Rembang.
Hak yang semestinya mereka terima karena mereka telah melunasi kewajiban konstitusional mereka melalui Mahkamah Agung (MA).
Beberapa hari sebelumnya, Rabu petang, 15 Maret 2017 tepatnya, Mbok Patmi pamit kepada keluarganya untuk pergi ke Jakarta. Kepada anaknya, Sri Utami (29 tahun), dia berpesan, ”Tolong sawahnya dijaga, diberi pupuk dan disemprot. Jangan sampai sawahnya puso.”
ADVERTISEMENT
(Mbok Patmi, ketiga dari kanan, berkerudung biru dongker sedang bersiap untuk dicor kakinya dengan semen/Muhammad Husnil)
Suami Mbok Patmi, Pak Rosad, berangkat ke Sumatera sehari sebelumnya. Dia akan bekerja di perkebunan. Keluarga ini dikaruniai 2 anak. Selain Sri Utami, ada juga Muhammadun Daiman (22 tahun).
“Jangan nakal, ya, Mbah mau berjuang ke Jakarta,” kata Mbok Patmi kepada cucunya, anak Sri Utami.
Ada vitalitas di sana, “berjuang.”
Kata itu menyiratkan makna tiada lelah, tiada henti. Dan memang Mbok Patmi bukan sekali ini turun ke jalan. Bersama dulur-dulur dari 4 kabupaten di Jawa Tengah, mereka berjuang melalui jalan cinta, jalan damai.
Mereka memperjuangkan ibu pertiwi, ibu yang telah memberikan mereka tanah, air, dan kesuburan pertanian. Ibu yang telah mencukupi kehidupan mereka sebagai petani.
ADVERTISEMENT
(Pegiat dari Ciliwung Merdeka menyumbangkan tenaga dan alat untuk membantu perjuangan para petani Kendeng/Muhammad Husnil)
Bicara petani, teringat Soekarno. Presiden pertama Indonesia itu menamai jalan perjuangannya dengan Marhaenisme. Muasalnya, pertemuan Soekarno dengan seorang petani bernama Marhaen.
Saat itu Soekarno masih bersekolah di Bandung dan terlibat dalam beberapa organisasi kepemudaan. Petani bernama Marhaen itu menggarap tanah sendiri, menggunakan perkakas sendiri, tak mempekerjakan orang lain, hasilnya dipergunakan untuk keluarga sendiri, dan tinggal di rumah milik sendiri.
Terenyuh dengan perjuangannya, Soekarno menamai perjuangannya dalam membela rakyat dengan Marhaenisme. Sisanya adalah sejarah.
ADVERTISEMENT
Rasanya roh perjuangan Soekarno itu merembes ke Mbok Patmi dan petani Kendeng lainnya.
Dengan memperjuangan pegunung Kendeng agar lestari, mereka sedang mempertahankan agar mereka tetap bisa menggarap tanah mereka sendiri, secara mandiri, dengan perkakas sendiri, hasilnya cukup untuk sehari-hari dan dimakan keluarga sendiri, tinggal di rumah sederhana yang mereka bangun sendiri.
Untuk mencapai itu, mereka berjuang menggunakan strategi rotan.
Bersama dulur-dulurnya yang lainnya, Mbok Patmi pernah berjalan sekira 120 km; dari Rembang ke Semarang dan dari Pati ke Semarang. Itu saat mereka memperjuangkan hak-hak konstitusi mereka di pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang.
Mereka kalah di Semarang. Mbok Patmi bersama petani lainnya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya. Berbulan-bulan sidang, di Surabaya para petani itu juga kalah.
ADVERTISEMENT
Mereka lalu mengajukan banding ke MA. Berbeda dengan PTUN Semarang dan PTTUN Surabaya, MA mengabulkan gugatan para petani Kendeng. Saya membayangkan, Mbok Patmi tersenyum riang pada 5 Oktober 2016 itu, saat MA mengeluarkan keputusan.
Mungkin sambil memeluk dulur-dulurnya. MA ini merupakan jalan akhir dari perjuangan konstitusional mereka. Tak ada lagi keputusan di atas MA. Final. Akhirnya, anak dan cucu mereka akan bisa merasakan hasil pertanian dan bentangan alam pegunungan Kendeng yang juga mereka nikmati saat ini.
Tapi, Pemprov Jateng bebal dan mengabaikan keputusan MA yang membatalkan izin lingkungan PT Semen Indonesia. Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengeluarkan izin baru secara diam-diam.
Yang lebih fatal, dengan izin baru itu Pemprov Jateng juga berarti menelantarkan perintah Presiden Jokowi agar pabrik semen dilarang beroperasi selagi kajian lingkungan hidup strategis belum selesai.
ADVERTISEMENT
Ganjar dan Jokowi merupakan politisi yang naik ke jabatan mereka melalui kendaraan bernama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dipimpin Megawati Soekarnoputri, PDIP merupakan perpanjangan sejarah dan perjuangan Soekarno. Ada ruh Marhaen dan semangat rotan dalam tubuh PDIP. Mestinya.
Pada kenyataannya kedua semangat itu justru dimiliki para petani Kendeng.
Selain berjuang melalui jalur konstitusi, mereka juga melakoni perlawanan melalui jalur kultural. Pada April 2016, sembilan Kartini Kendeng mengecor kaki mereka selama 2 hari.
Sejak 2014 mereka mendirikan tenda dan mushala yang dibangun dekat pabrik semen. Mereka melantunkan pepujian shalawat dan ibadah di sana.
K.H. Mustofa Bisri atau biasa dipanggil Gus Mus pernah menyambangi tenda mereka untuk menyemangati perjuangan para petani itu. Juga beberapa pegiat lainnya, seperti Marzuki Mohammad (Kill The Dj) dan Melanie Subono.
ADVERTISEMENT
Secara bergantian para petani itu menjaga tenda dan mushala tersebut. Sampai kemudian tenda dan mushala itu dibakar sekelompok orang pada malam hari, 10 Februari 2017.
Mereka jatuh, mereka kalah, mereka disingkirkan. Tapi, mereka tak menggelorakan kebencian. Mereka menggairahkan cinta dalam perjuangan. Karena itu, para petani itu rela dicor kembali kaki mereka.
Di depan istana negara. Di hadapan kantor Presiden Joko Widodo yang dulu saat kampanye mengajukan jargon, Jokowi-JK adalah Kita.
Dalam “kita”, modus kebersamaan antarindividu makin menguatkan. Ada perasaan saling merasakan, ada rasa empati, ada rasa kebersamaan. Itulah mungkin para petani itu saling menyambungkan rasa perjuangan dengan khalayak ramai lainnya.
Dan, itulah pula yang mendorong banyak pegiat lainnya yang berbasis di Jakarta rela mengecor kaki mereka demi memperjuangkan para petani Kendeng. Tampak juga pegiat Ciliwung Merdeka yang menyumbangkan tenaga dan alat.
ADVERTISEMENT
“Kalau memang benar Indonesia ini negara hukum, mestinya Ganjar mengikuti keputusan MA,” kata satu teman. “Tanpa itu, lalu apa lagi yang bisa rakyat ini pegang dan pertahankan. Hukum adalah panglima, bukan?”
Dia lalu menggumam, galau sendiri dengan pernyataannya.
Seperti halnya keputusan yang keluar dari istana. Pada Senin sore 20 Maret 2017, Gunretno, salah satu tokoh petani Kendeng, bersama beberapa petani lainnya ditemani Haris Azhar dari Kontras diterima di istana.
Mereka bertemu Teten Masduki, kepala Kantor Staf Presiden. Kaki mereka masih dicor semen. Tapi, keputusan istana sore itu berbeda dengan apa yang diperintahkan Presiden Jokowi pada pertemuan mereka di istana pada Agustus 2016.
Para petani, karena itu, bertekad terus mengecor kaki mereka di depan istana.
ADVERTISEMENT
(Para petani Kendeng yang rela mengecor kaki mereka demi memperjuangkan agar pegunungan Kendeng tetap lestari/Muhammad Husnil)
Agar api perjuangan terus menyala, mereka saling bergantian. Prinsipnya, ketika satu petani dirasa harus mengurus sawahnya kembali maka perjuangannya akan diteruskan petani lainnya yang sudah selesai mengurus sawahnya.
Sriwati (27 tahun), misalnya. Menyerahkan sementara pengurusan rumah tangga dan sawahnya kepada suaminya, Ibu dua anak itu berangkat ke Jakarta bersama Mbok Patmi dan para petani lainnya. Mereka menginap di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, lembaga yang setia menemani perjuangan para petani.
Mbok Patmi, Sriwati, dan 20 petani lainnya dicor kaki mereka dengan semen pada Kamis, 16 Maret 2017. Saat kakinya dicor, Mbok Patmi memampirkan sederetan senyum. Senyum yang mengandung nada perjuangan.
ADVERTISEMENT
Dia dan para petani yang hari itu dicor merupakan gelombang keempat, menggenapi jumlah petani menjadi 41 orang. Setelah lima hari kakinya dicor semen, Mbok Patmi merasa cukup. Dia harus kembali ke kampung, mengurus kembali sawahnya.
Pada Senin malam, 20 Maret 2017 itu coran semen di kakinya dilepas. Saat diperiksa setelah semen lepas dari kakinya, Mbok Patmi dinyatakan sehat.
Dia sendiri memang tak memiliki riwayat atau gejala sakit berat. Tapi, setelah mandi pada dini hari, sekira pukul 02.00 tubuhnya tak nyaman, lantas kejang-kejang. Dari LBH Jakarta di bilangan Proklamasi, dia segera dilarikan ke Rumah Sakit St. Carolus, Salemba. Mobil yang membawanya belum lagi sampai Rumah Sakit ketika Mbok Patmi sedo.
ADVERTISEMENT
Mbok Patmi kini telah tiada. Ketiadaannya akan terus memantik perjuangan lainnya.
Mungkin, jika pun ada kata akhir, pesan yang paling tepat Mbok Patmi sampaikan kepada cucunya adalah dialog penghabisan antara Nyai Ontosoroh dengan Minke dalam Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer:
“Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Sumber: KBR