Konten dari Pengguna

Masjid Pathok Negara Ad-Darojat: Jejak Sejarah Islam Mataram di Yogyakarta

Muhammad Huzni Attantowi
Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Memiliki minat pada pelestarian aksara dan budaya Jawa, serta fokus pada kajian literasi klasik dan penulisan kreatif berbasis budaya lokal.
11 Juni 2025 17:59 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Huzni Attantowi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tampak depan Masjid Pathok Negara Ad-Darojat di Banguntapan, Yogyakarta—salah satu masjid bersejarah peninggalan Kesultanan Yogyakarta yang berdiri sejak tahun 1774. Arsitekturnya memadukan unsur tradisional Jawa dan Islam, menjadi saksi jejak spiritual dan budaya yang terus hidup di tengah masyarakat. Foto diambil oleh penulis (Muhammad Huzni Attantowi)
zoom-in-whitePerbesar
Tampak depan Masjid Pathok Negara Ad-Darojat di Banguntapan, Yogyakarta—salah satu masjid bersejarah peninggalan Kesultanan Yogyakarta yang berdiri sejak tahun 1774. Arsitekturnya memadukan unsur tradisional Jawa dan Islam, menjadi saksi jejak spiritual dan budaya yang terus hidup di tengah masyarakat. Foto diambil oleh penulis (Muhammad Huzni Attantowi)
ADVERTISEMENT
Terletak di Banguntapan, Kabupaten Bantul, Masjid Pathok Negara ad-Darojat berdiri bukan sekadar sebagai rumah ibadah. Ia adalah bagian dari warisan strategis Kesultanan Yogyakarta—sebuah institusi religius yang menyimpan jejak sejarah, spiritualitas, dan politik Islam Jawa abad ke-18. Di balik arsitekturnya yang bersahaja, tersimpan narasi tentang bagaimana agama dan kekuasaan membentuk wajah budaya lokal.
ADVERTISEMENT

Masjid Pathok Negara dan Fungsi Strategis Kesultanan

Masjid Pathok Negara merupakan jaringan lima masjid yang didirikan oleh Sultan Hamengkubuwono I sebagai “penjaga tapal batas spiritual” kesultanan. Ad-Darojat, yang terletak di sebelah timur (Banguntapan), berfungsi sebagai simbol keterikatan antara pusat kekuasaan keraton dan rakyat di wilayah luar. Fungsi masjid ini bukan hanya keagamaan, melainkan juga administratif, ideologis, dan simbolik.
Keberadaan masjid-masjid pathok negara menunjukkan bahwa Kesultanan Yogyakarta membangun relasi yang kuat antara wilayah teritorial dan nilai-nilai Islam. Setiap masjid tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki koneksi religius dan politis dengan Masjid Gedhe Kauman sebagai pusat spiritual. Ini memperlihatkan sistem sosial yang menjadikan masjid sebagai poros kekuatan kultural sekaligus kontrol ideologis pada masa itu.
Ruang utama Masjid Pathok Negara Ad-Darojat menampilkan perpaduan harmonis antara arsitektur Jawa dan ornamen Islam. Tiang saka guru dengan ukiran hijau, mimbar berhiaskan lambang Kasultanan, serta kaligrafi Arab yang menghiasi dinding menjadi bukti kekayaan spiritual dan budaya yang berpadu indah di rumah ibadah bersejarah ini. Foto diambil oleh penulis (Muhammad Huzni Attantowi)

Arsitektur Simbolik dan Nilai Tradisional

Masjid Pathok Negara ad-Darojat bukan hanya tempat ibadah, melainkan juga peninggalan bersejarah yang telah berdiri sejak tahun 1774 M, seiring dengan pembangunan lima masjid Pathok Negoro atas restu Sri Sultan Hamengkubuwono I. Usianya yang telah melampaui dua abad menjadikan masjid ini sebagai saksi bisu perjalanan religius dan budaya masyarakat Jawa di wilayah Banguntapan, Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Secara fisik, masjid ini mempertahankan arsitektur tradisional Jawa: atap tajug tumpang tiga, mustaka berbentuk limas, dan tanpa kubah. Tata ruang dan ornamenya mencerminkan filosofi Islam dan kearifan lokal Jawa, seperti penggunaan angka ganjil, keberadaan serambi, dan bentuk mihrab yang mengedepankan kesederhanaan.
Detail arsitektur langit-langit Masjid Pathok Negara Ad-Darojat, Banguntapan, Yogyakarta. Struktur kayu bergaya Jawa ini memperlihatkan keindahan konstruksi tradisional yang masih terjaga sejak abad ke-18. Unsur estetika dan kekokohan bangunan menjadi cerminan kearifan lokal dalam membangun rumah ibadah yang berumur panjang. Foto diambil oleh penulis (Muhammad Huzni Attantowi)

Mustaka Tertua dari Tahun 1774: Puncak Spiritualitas dan Identitas Arsitektur

ADVERTISEMENT
Salah satu peninggalan paling ikonik dan penuh makna dari Masjid Pathok Negara ad-Darojat adalah mustaka (atau mustoko, dalam pelafalan Jawa), yaitu bagian puncak atap masjid yang bentuknya menyerupai mahkota kecil. Mustaka masjid ini telah ada sejak tahun 1774, menjadikannya salah satu mustaka masjid tertua yang masih berdiri di Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya.
Secara arsitektural, mustaka berfungsi sebagai penutup puncak limasan atau tajug, atap khas masjid tradisional Jawa. Namun, lebih dari sekadar ornamen bangunan, mustaka memiliki makna simbolis yang kuat. Dalam tradisi Islam Nusantara, khususnya di wilayah Mataram Islam, mustaka menjadi simbol puncak spiritualitas—menggambarkan bahwa seluruh aktivitas ibadah dan pengabdian manusia bermuara pada satu tujuan: Tuhan Yang Maha Esa.
ADVERTISEMENT
Mustaka Masjid Pathok Negara ad-Darojat dibuat dengan material kayu jati kuno berkualitas tinggi, yang dipercaya memiliki kekuatan dan ketahanan lintas zaman. Ukiran dan bentuknya sederhana namun sarat makna, mencerminkan falsafah Islam Jawa yang menjunjung kesederhanaan lahiriah dan kedalaman batiniah. Mustaka ini bukan hanya saksi bisu sejarah berdirinya masjid, tetapi juga mencerminkan kesinambungan antara nilai keagamaan dan budaya lokal yang hidup harmonis selama berabad-abad.
Keberadaan mustaka yang tidak diganti sejak abad ke-18 menunjukkan bagaimana masyarakat setempat menghargai keaslian warisan leluhur dan memilih untuk merawat nilai-nilai spiritual yang terpatri dalam arsitektur. Dalam konteks Kesultanan Yogyakarta, mustaka juga mencerminkan keterkaitan antara masjid-masjid Pathok Negara dengan otoritas keagamaan dan politik keraton sebagai penjaga tatanan religius dan sosial masyarakat Jawa.
ADVERTISEMENT
Hingga kini, mustaka Masjid ad-Darojat masih berdiri tegak di atas atap tajug bertingkat tiga. Ia bukan sekadar bagian dari bangunan, tetapi penanda historis sekaligus spiritual yang menegaskan bahwa masjid ini adalah pusat dakwah Islam dan penjaga nilai-nilai Islam-Jawa sejak era awal Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Inilah mustoko (mahkota atap) asli Masjid Pathok Negara Ad-Darojat yang berasal dari tahun 1774. Disimpan dalam kotak kaca, mustoko ini menjadi saksi bisu perjalanan sejarah masjid sejak masa awal berdirinya. Dengan bentuk limasan khas arsitektur Jawa, artefak ini mencerminkan keharmonisan antara spiritualitas Islam dan budaya lokal Keraton Yogyakarta. Foto diambil oleh penulis (Muhammad Huzni Attantowi)

Bedug Berusia Tiga Abad: Suara Tradisi yang Tak Pernah Padam

Selain mustaka, peninggalan penting lainnya adalah bedug kayu yang juga telah ada sejak tahun 1774. Bedug ini menjadi saksi sejarah peran masjid dalam kehidupan religius masyarakat sejak masa awal Kesultanan Yogyakarta. Berbeda dari bedug modern, bedug kuno ini dibuat dari kayu berkualitas tinggi dan diukir dengan sentuhan estetika Jawa klasik.
Fungsi bedug bukan hanya sebagai penanda waktu salat, tetapi juga sarana komunikasi masyarakat muslim masa lalu sebelum hadirnya pengeras suara. Suaranya yang khas menggaungkan semangat kolektif dalam ibadah dan menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana khas masjid tradisional. Hingga kini, bedug tersebut masih dijaga dengan baik dan digunakan secara simbolik dalam kegiatan keagamaan tertentu, mengingatkan generasi sekarang akan pentingnya menjaga warisan spiritual dan budaya.
ADVERTISEMENT
Bedug berangka tahun 17 Februari 1974 ini merupakan salah satu instrumen tradisional yang masih digunakan di Masjid Pathok Negara Ad-Darojat. Terbuat dari kayu dan kulit asli, bedug ini tidak hanya berfungsi sebagai penanda waktu salat, tetapi juga menjadi simbol kesinambungan tradisi Islam Nusantara yang telah berlangsung selama berabad-abad. Foto diambil oleh penulis (Muhammad Huzni Attantowi)

Kaligrafi Al-Qur’an: Pesan Spiritualitas di Balik Dinding Masjid

ADVERTISEMENT
Di bagian dalam Masjid Pathok Negara ad-Darojat, terpajang indah kaligrafi ayat-ayat suci Al-Qur’an yang menghiasi dinding dengan tinta emas dan latar hijau tua. Dua ayat yang ditulis dengan gaya khat khas ini adalah Surah Al-‘Ankabūt ayat 45 dan Surah Al-Mu’minūn ayat 1–4.
Ayat dari Surah Al-‘Ankabūt [29]: 45 berbunyi:
Ayat ini menegaskan bahwa salat bukan hanya ibadah ritual, tetapi transformasi moral. Kaligrafi ini dipilih untuk memperkuat fungsi masjid sebagai ruang pembentukan akhlak dan etika sosial masyarakat muslim.
Di bawah atap limasan khas Jawa, kaligrafi Surah Al-‘Ankabūt ayat 45 di Masjid Pathok Negara Ad-Darojat mengajak setiap pengunjung untuk kembali merenungi makna wahyu dan pentingnya salat. Warisan spiritual yang tak lekang oleh waktu. Foto diambil oleh penulis (Muhammad Huzni Attantowi)
Sementara itu, Surah Al-Mu’minūn [23]: 1–4 menyebutkan:
ADVERTISEMENT
Ayat ini menekankan ciri-ciri utama orang beriman, menjadikan masjid sebagai tempat penanaman kesadaran diri yang dalam menjalani ibadah dan kehidupan sehari-hari.
Kedua ayat ini dipilih bukan hanya karena nilai teologisnya yang tinggi, tetapi juga karena relevansinya dengan fungsi utama masjid: sebagai tempat pembinaan spiritual, pengendalian moral, dan pemurnian diri. Kaligrafi ini memperkuat nuansa sakral sembari mengajarkan nilai-nilai luhur Islam secara visual kepada jamaah.
Di balik tembok Masjid Pathok Negara Ad-Darojat, ayat ini berbicara dalam diam. Al-Mu’minūn:3 menjadi pengingat abadi: bahwa kebeningan hati lahir dari kemampuan menyingkirkan yang sia-sia. Kaligrafi bukan sekadar hiasan, tapi penuntun jalan ke dalam diri. Foto diambil oleh penulis (Muhammad Huzni Attantowi)
Di balik kesederhanaannya, desain masjid ini mencerminkan harmoni antara estetika dan makna. Arsitektur tradisional tidak hanya mencerminkan keterampilan lokal, tetapi juga menyimpan simbolisme spiritual yang mengakar. Bangunan masjid menjadi bagian dari pendidikan tak tertulis tentang keindahan, kedalaman makna, dan identitas Islam yang menyatu dengan budaya Jawa.

Simbol Keberlanjutan Spiritualitas

Meski telah melewati berbagai perubahan zaman, masjid ad-Darojat tetap menjadi ruang spiritual yang hidup. Tidak hanya sebagai saksi bisu sejarah Islam klasik, tetapi juga sebagai titik temu antara masa lalu dan masa kini. Ia mengajarkan bahwa kekuatan Islam di Jawa tidak hanya bertumpu pada teks atau kekuasaan, tetapi juga pada kesetiaan terhadap tradisi dan pemeliharaan nilai lokal.
ADVERTISEMENT
Masyarakat sekitar menjadikan masjid ini sebagai bagian penting dari ritme kehidupan: mulai dari kegiatan pengajian, musyawarah desa, hingga penyelenggaraan hari besar Islam. Fungsi sosial-multikultural ini menghidupkan kembali peran masjid sebagai pusat kehidupan umat, sebagaimana konsep masjid jami’ dalam tradisi Islam awal.
Deretan pintu dan jendela kayu berwarna hitam dengan lis kuning emas ini merupakan bagian dari interior asli Masjid Pathok Negara Ad-Darojat. Gaya arsitektur ini memperlihatkan sentuhan klasik bangunan keraton Jawa, dengan estetika sederhana namun sarat makna. Elemen seperti ini memperkuat identitas masjid sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah Kesultanan Yogyakarta. Foto diambil oleh penulis (Muhammad Huzni Attantowi)

Penutup

ADVERTISEMENT
Masjid Pathok Negara ad-Darojat bukan hanya tempat ibadah, melainkan juga penanda sejarah, warisan budaya, dan simbol spiritualitas masyarakat Jawa yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Dari mustaka berusia dua setengah abad, bedug kuno yang masih bergema, hingga ukiran kaligrafi yang menyuarakan pesan ilahiah, masjid ini menyimpan narasi panjang tentang harmoni antara agama, budaya, dan kekuasaan keraton. Ia adalah jejak konkret peran Islam dalam merawat keutuhan spiritual dan sosial masyarakat Yogyakarta. Dengan menjaga dan merawatnya, kita tidak hanya melestarikan bangunan, tetapi juga mewarisi semangat keimanan, toleransi, dan jati diri keindonesiaan yang berakar kuat di tanah Jawa.
ADVERTISEMENT

Ayo Jaga Warisan Islam dan Budaya Jawa!

Pernah berkunjung ke masjid bersejarah seperti ad-Darojat? Bagikan pandanganmu di kolom komentar, dan mari rawat bersama warisan Islam Nusantara yang penuh hikmah dan keindahan.