Konten dari Pengguna
Masjid Pathok Negara Ad-Darojat: Jejak Sejarah Islam Mataram di Yogyakarta
11 Juni 2025 17:59 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhammad Huzni Attantowi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Terletak di Banguntapan, Kabupaten Bantul, Masjid Pathok Negara ad-Darojat berdiri bukan sekadar sebagai rumah ibadah. Ia adalah bagian dari warisan strategis Kesultanan Yogyakarta—sebuah institusi religius yang menyimpan jejak sejarah, spiritualitas, dan politik Islam Jawa abad ke-18. Di balik arsitekturnya yang bersahaja, tersimpan narasi tentang bagaimana agama dan kekuasaan membentuk wajah budaya lokal.
ADVERTISEMENT
Masjid Pathok Negara dan Fungsi Strategis Kesultanan
Masjid Pathok Negara merupakan jaringan lima masjid yang didirikan oleh Sultan Hamengkubuwono I sebagai “penjaga tapal batas spiritual” kesultanan. Ad-Darojat, yang terletak di sebelah timur (Banguntapan), berfungsi sebagai simbol keterikatan antara pusat kekuasaan keraton dan rakyat di wilayah luar. Fungsi masjid ini bukan hanya keagamaan, melainkan juga administratif, ideologis, dan simbolik.
Keberadaan masjid-masjid pathok negara menunjukkan bahwa Kesultanan Yogyakarta membangun relasi yang kuat antara wilayah teritorial dan nilai-nilai Islam. Setiap masjid tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki koneksi religius dan politis dengan Masjid Gedhe Kauman sebagai pusat spiritual. Ini memperlihatkan sistem sosial yang menjadikan masjid sebagai poros kekuatan kultural sekaligus kontrol ideologis pada masa itu.
Arsitektur Simbolik dan Nilai Tradisional
Masjid Pathok Negara ad-Darojat bukan hanya tempat ibadah, melainkan juga peninggalan bersejarah yang telah berdiri sejak tahun 1774 M, seiring dengan pembangunan lima masjid Pathok Negoro atas restu Sri Sultan Hamengkubuwono I. Usianya yang telah melampaui dua abad menjadikan masjid ini sebagai saksi bisu perjalanan religius dan budaya masyarakat Jawa di wilayah Banguntapan, Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Secara fisik, masjid ini mempertahankan arsitektur tradisional Jawa: atap tajug tumpang tiga, mustaka berbentuk limas, dan tanpa kubah. Tata ruang dan ornamenya mencerminkan filosofi Islam dan kearifan lokal Jawa, seperti penggunaan angka ganjil, keberadaan serambi, dan bentuk mihrab yang mengedepankan kesederhanaan.
Mustaka Tertua dari Tahun 1774: Puncak Spiritualitas dan Identitas Arsitektur
ADVERTISEMENT
Salah satu peninggalan paling ikonik dan penuh makna dari Masjid Pathok Negara ad-Darojat adalah mustaka (atau mustoko, dalam pelafalan Jawa), yaitu bagian puncak atap masjid yang bentuknya menyerupai mahkota kecil. Mustaka masjid ini telah ada sejak tahun 1774, menjadikannya salah satu mustaka masjid tertua yang masih berdiri di Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya.
Secara arsitektural, mustaka berfungsi sebagai penutup puncak limasan atau tajug, atap khas masjid tradisional Jawa. Namun, lebih dari sekadar ornamen bangunan, mustaka memiliki makna simbolis yang kuat. Dalam tradisi Islam Nusantara, khususnya di wilayah Mataram Islam, mustaka menjadi simbol puncak spiritualitas—menggambarkan bahwa seluruh aktivitas ibadah dan pengabdian manusia bermuara pada satu tujuan: Tuhan Yang Maha Esa.
ADVERTISEMENT
Mustaka Masjid Pathok Negara ad-Darojat dibuat dengan material kayu jati kuno berkualitas tinggi, yang dipercaya memiliki kekuatan dan ketahanan lintas zaman. Ukiran dan bentuknya sederhana namun sarat makna, mencerminkan falsafah Islam Jawa yang menjunjung kesederhanaan lahiriah dan kedalaman batiniah. Mustaka ini bukan hanya saksi bisu sejarah berdirinya masjid, tetapi juga mencerminkan kesinambungan antara nilai keagamaan dan budaya lokal yang hidup harmonis selama berabad-abad.
Keberadaan mustaka yang tidak diganti sejak abad ke-18 menunjukkan bagaimana masyarakat setempat menghargai keaslian warisan leluhur dan memilih untuk merawat nilai-nilai spiritual yang terpatri dalam arsitektur. Dalam konteks Kesultanan Yogyakarta, mustaka juga mencerminkan keterkaitan antara masjid-masjid Pathok Negara dengan otoritas keagamaan dan politik keraton sebagai penjaga tatanan religius dan sosial masyarakat Jawa.
ADVERTISEMENT
Hingga kini, mustaka Masjid ad-Darojat masih berdiri tegak di atas atap tajug bertingkat tiga. Ia bukan sekadar bagian dari bangunan, tetapi penanda historis sekaligus spiritual yang menegaskan bahwa masjid ini adalah pusat dakwah Islam dan penjaga nilai-nilai Islam-Jawa sejak era awal Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Bedug Berusia Tiga Abad: Suara Tradisi yang Tak Pernah Padam
Selain mustaka, peninggalan penting lainnya adalah bedug kayu yang juga telah ada sejak tahun 1774. Bedug ini menjadi saksi sejarah peran masjid dalam kehidupan religius masyarakat sejak masa awal Kesultanan Yogyakarta. Berbeda dari bedug modern, bedug kuno ini dibuat dari kayu berkualitas tinggi dan diukir dengan sentuhan estetika Jawa klasik.
Fungsi bedug bukan hanya sebagai penanda waktu salat, tetapi juga sarana komunikasi masyarakat muslim masa lalu sebelum hadirnya pengeras suara. Suaranya yang khas menggaungkan semangat kolektif dalam ibadah dan menjadi bagian tak terpisahkan dari suasana khas masjid tradisional. Hingga kini, bedug tersebut masih dijaga dengan baik dan digunakan secara simbolik dalam kegiatan keagamaan tertentu, mengingatkan generasi sekarang akan pentingnya menjaga warisan spiritual dan budaya.
ADVERTISEMENT
Kaligrafi Al-Qur’an: Pesan Spiritualitas di Balik Dinding Masjid
ADVERTISEMENT
Di bagian dalam Masjid Pathok Negara ad-Darojat, terpajang indah kaligrafi ayat-ayat suci Al-Qur’an yang menghiasi dinding dengan tinta emas dan latar hijau tua. Dua ayat yang ditulis dengan gaya khat khas ini adalah Surah Al-‘Ankabūt ayat 45 dan Surah Al-Mu’minūn ayat 1–4.
Ayat dari Surah Al-‘Ankabūt [29]: 45 berbunyi:
Ayat ini menegaskan bahwa salat bukan hanya ibadah ritual, tetapi transformasi moral. Kaligrafi ini dipilih untuk memperkuat fungsi masjid sebagai ruang pembentukan akhlak dan etika sosial masyarakat muslim.
Sementara itu, Surah Al-Mu’minūn [23]: 1–4 menyebutkan:
ADVERTISEMENT
Ayat ini menekankan ciri-ciri utama orang beriman, menjadikan masjid sebagai tempat penanaman kesadaran diri yang dalam menjalani ibadah dan kehidupan sehari-hari.
Kedua ayat ini dipilih bukan hanya karena nilai teologisnya yang tinggi, tetapi juga karena relevansinya dengan fungsi utama masjid: sebagai tempat pembinaan spiritual, pengendalian moral, dan pemurnian diri. Kaligrafi ini memperkuat nuansa sakral sembari mengajarkan nilai-nilai luhur Islam secara visual kepada jamaah.
Di balik kesederhanaannya, desain masjid ini mencerminkan harmoni antara estetika dan makna. Arsitektur tradisional tidak hanya mencerminkan keterampilan lokal, tetapi juga menyimpan simbolisme spiritual yang mengakar. Bangunan masjid menjadi bagian dari pendidikan tak tertulis tentang keindahan, kedalaman makna, dan identitas Islam yang menyatu dengan budaya Jawa.
Simbol Keberlanjutan Spiritualitas
Meski telah melewati berbagai perubahan zaman, masjid ad-Darojat tetap menjadi ruang spiritual yang hidup. Tidak hanya sebagai saksi bisu sejarah Islam klasik, tetapi juga sebagai titik temu antara masa lalu dan masa kini. Ia mengajarkan bahwa kekuatan Islam di Jawa tidak hanya bertumpu pada teks atau kekuasaan, tetapi juga pada kesetiaan terhadap tradisi dan pemeliharaan nilai lokal.
ADVERTISEMENT
Masyarakat sekitar menjadikan masjid ini sebagai bagian penting dari ritme kehidupan: mulai dari kegiatan pengajian, musyawarah desa, hingga penyelenggaraan hari besar Islam. Fungsi sosial-multikultural ini menghidupkan kembali peran masjid sebagai pusat kehidupan umat, sebagaimana konsep masjid jami’ dalam tradisi Islam awal.
Penutup
ADVERTISEMENT
Masjid Pathok Negara ad-Darojat bukan hanya tempat ibadah, melainkan juga penanda sejarah, warisan budaya, dan simbol spiritualitas masyarakat Jawa yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Dari mustaka berusia dua setengah abad, bedug kuno yang masih bergema, hingga ukiran kaligrafi yang menyuarakan pesan ilahiah, masjid ini menyimpan narasi panjang tentang harmoni antara agama, budaya, dan kekuasaan keraton. Ia adalah jejak konkret peran Islam dalam merawat keutuhan spiritual dan sosial masyarakat Yogyakarta. Dengan menjaga dan merawatnya, kita tidak hanya melestarikan bangunan, tetapi juga mewarisi semangat keimanan, toleransi, dan jati diri keindonesiaan yang berakar kuat di tanah Jawa.
ADVERTISEMENT
Ayo Jaga Warisan Islam dan Budaya Jawa!
Pernah berkunjung ke masjid bersejarah seperti ad-Darojat? Bagikan pandanganmu di kolom komentar, dan mari rawat bersama warisan Islam Nusantara yang penuh hikmah dan keindahan.