Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Pendidikan Mahal: Kontroversi Kemendikbud dan Hak Asasi Manusia
10 Juni 2024 11:11 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari Muhammad Idham Farhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peningkatan biaya pendidikan di Indonesia telah menjadi isu penting yang tidak memberikan dampak signifikan pada kualitas pendidikan. Meskipun pemerintah telah meningkatkan anggaran pendidikan melalui APBN dan APBD, dampaknya belum dirasakan secara merata. Misalnya, siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) menerima tunjangan biaya operasional bulanan sebesar Rp19.500 sejak Januari 2006, namun perubahan kebijakan ini tidak banyak membantu mengurangi beban keuangan orang tua dan kepala sekolah masih dilarang mengumpulkan iuran dari siswa kecuali untuk 13 sekolah teratas (Hilda et al., 2015).
ADVERTISEMENT
Perbandingan pengeluaran pemerintah menunjukkan bahwa meskipun anggaran pendidikan meningkat sejak tahun 2000, kualitas pendidikan Indonesia tetap tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Ekonomi Asia Berkinerja Tinggi (HPAE) seperti Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia (Posso, 2011). Tren privatisasi yang diadopsi oleh banyak negara HPAE tidak terjadi di Indonesia, yang berdampak pada kurangnya peningkatan kualitas pendidikan. Tingkat pendaftaran pendidikan tersier di Indonesia hanya meningkat sedikit dari 14% menjadi 17% antara tahun 2000-2007, tetap jauh lebih rendah dibandingkan dengan HPAE lainnya, yang mempengaruhi daya saing Indonesia di sektor manufaktur padat karya (Posso, 2011).
Selain itu, faktor-faktor seperti kenaikan harga, perubahan gaji guru, pertumbuhan penduduk, dan standar pendidikan tinggi berkontribusi pada kenaikan biaya pendidikan di Indonesia. Investasi dalam pendidikan berkualitas memerlukan biaya yang tinggi untuk memenuhi harapan masyarakat (Ahmad, 2020). Untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan daya saing, Indonesia perlu menerapkan model pembiayaan pendidikan yang efektif dan efisien, seperti model modal manusia yang dapat meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (Ahmad, 2020).
ADVERTISEMENT
Pernyataan kontroversial dari Kemendikbud RI yang menyebut kuliah sebagai kebutuhan tersier telah menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, mengemukakan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia tidak termasuk dalam program wajib belajar 12 tahun dan seharusnya dianggap sebagai pilihan, bukan kewajiban (CNN Indonesia, 2024; Klik Pendidikan, 2024). Pernyataan ini memicu kritik dari anggota DPR RI seperti Nuroji dan Abdul Fikri Faqih, yang menekankan bahwa pendidikan tinggi adalah hak warga negara dan tidak boleh dianggap sebagai kebutuhan tersier (CNBC Indonesia, 2024).
Menanggapi reaksi tersebut, Kemendikbudristek mengeluarkan klarifikasi melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Abdul Haris, yang menyatakan bahwa pihaknya memahami kritik tersebut dan berkomitmen untuk terus memajukan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan utama demi meningkatkan sumber daya manusia Indonesia menuju Indonesia Emas 2045 (CNN Indonesia, 2024; Kompas TV, 2024). Kritik juga datang dari Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, yang menyatakan bahwa menempatkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah kesalahan besar yang dapat berdampak negatif pada pendidikan dasar dan menengah, yang merupakan bagian dari program wajib belajar 12 tahun sebagai kebutuhan primer (iNews, 2024).
ADVERTISEMENT
Isu ini penting untuk dibahas dalam kerangka Hak Asasi Manusia (HAM) karena pendidikan merupakan hak fundamental yang diakui secara internasional. Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak atas pendidikan, dan pendidikan tinggi harus dapat diakses secara merata berdasarkan kemampuan (United Nations, 1948). Mengklasifikasikan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier dapat menghambat akses dan kesempatan yang setara bagi semua individu untuk mengembangkan potensi penuh mereka, yang pada akhirnya mempengaruhi keadilan sosial dan kemajuan nasional. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan pendidikan tidak hanya memenuhi standar nasional tetapi juga selaras dengan komitmen HAM internasional untuk menjamin akses pendidikan yang adil dan berkualitas bagi semua lapisan masyarakat.
Tren kenaikan biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia menunjukkan tantangan serius dalam mencapai keseimbangan antara akumulasi sumber daya manusia dan keadilan sosial. Perguruan tinggi negeri, yang menerapkan kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT), menghadapi kesulitan dalam menafsirkan dan menerapkan kebijakan tersebut secara efektif. Hal ini menyebabkan berbagai institusi membatasi akses untuk mempertahankan biaya kuliah yang rendah, yang berdampak negatif pada kualitas pendidikan yang diberikan (Muhammad et al., 2021). Kebijakan UKT, meskipun bertujuan untuk membuat pendidikan tinggi lebih kompetitif secara global, sering kali terhambat oleh tindakan dan aturan yang bertentangan, sehingga universitas negeri lebih fokus pada prestise daripada kualitas pendidikan. Akibatnya, pendanaan yang rendah dan penekanan pada biaya kuliah yang rendah sebagai proksi keadilan sosial menghambat tujuan tersebut, dengan universitas negeri kesulitan mencapai keadilan sosial dan daya saing (Muhammad et al., 2021).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, perguruan tinggi swasta di Indonesia mengandalkan biaya kuliah sebagai sumber pendapatan utama, yang digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan dan peningkatan kualitas pendidikan. Namun, kenaikan biaya operasional, pembangunan infrastruktur, dan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pendidikan guna menarik mahasiswa dan menjaga daya saing menyebabkan biaya kuliah terus meningkat (Agustinus et al., 2021). Selain itu, sektor pendidikan tinggi swasta yang berkembang pesat sering kali memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan lembaga publik, meskipun terdapat beberapa pengecualian (Muhammad, Haseeb, & Hassan, 2022). Siswa dari latar belakang ekonomi yang lebih rendah sering kali membayar lebih untuk pendidikan yang lebih rendah di universitas swasta, yang memperburuk masalah kesetaraan akses ke pendidikan berkualitas (Muhammad, Haseeb, & Hassan, 2022). Kurangnya regulasi yang efektif juga menyulitkan untuk mempertahankan standar jaminan kualitas di sektor pendidikan tinggi swasta, memperlebar kesenjangan kualitas antara lembaga publik dan swasta (Muhammad, Haseeb, & Hassan, 2022).
ADVERTISEMENT
Berbagai faktor telah berkontribusi terhadap kenaikan biaya pendidikan di Indonesia. Seperti yang terjadi pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP UPR selama pandemi COVID-19, biaya kuliah meningkat karena adanya biaya tambahan seperti biaya kuota internet, yang naik dari Rp 100.000 menjadi Rp 250.000 untuk kegiatan pembelajaran online. Meskipun beberapa biaya seperti UKT menurun sebesar Rp 1.000.000, peningkatan biaya lainnya menyebabkan kenaikan biaya kuliah secara keseluruhan bagi siswa. Selain itu, biaya bulanan meningkat dua kali lipat dari Rp 1.000.000 menjadi Rp 2.000.000, berdampak pada beban keuangan siswa secara keseluruhan. Mahasiswa juga dikenakan biaya terkait kegiatan seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Program Pengalaman Lapangan (PPL) sebesar Rp 300.000, yang semakin menambah beban biaya kuliah. Selain itu, siswa harus menanggung biaya terkait kesehatan untuk barang-barang seperti vitamin, masker, dan pembersih tangan, dengan total sekitar Rp 50.000, yang semakin menambah tekanan keuangan pada siswa.
ADVERTISEMENT
Biaya kuliah yang lebih tinggi di Indonesia memiliki implikasi sosial ekonomi yang signifikan. Pendidikan merupakan faktor penting yang mempengaruhi pendapatan masyarakat, dengan latar belakang sosial keluarga seperti pekerjaan orang tua dan status tempat tinggal juga memainkan peran penting (Ade, Marsinta, & Arsani, 2020). Peningkatan biaya kuliah dapat menyebabkan perbedaan dalam pencapaian pendidikan dan pendapatan di antara kelompok sosial ekonomi yang berbeda. Individu dari keluarga dengan latar belakang sosial ekonomi yang lebih rendah mungkin menghadapi tantangan dalam mengakses pendidikan tinggi karena kendala keuangan, yang berpotensi membatasi prospek pendapatan masa depan mereka. Inisiatif pemerintah seperti Program Indonesia Pintar (PIP) dan Bidikmisi bertujuan untuk meningkatkan akses pendidikan, terutama bagi mereka yang tinggal di rumah tangga miskin perkotaan dan pedesaan, mengurangi dampak kenaikan biaya kuliah terhadap hasil sosial ekonomi.
ADVERTISEMENT
Pendanaan terbatas dan fokus pada biaya kuliah yang rendah sebagai proksi untuk keadilan sosial telah menyebabkan universitas negeri memprioritaskan kualifikasi daripada kualitas pendidikan, berdampak pada pengalaman belajar siswa secara keseluruhan (Muhammad, Arifin, & Pelawi, 2021). Dampak sosial ekonomi dari biaya kuliah yang lebih tinggi juga mempengaruhi akses ke pendidikan tinggi bagi siswa yang kurang beruntung, karena institusi dapat membatasi penerimaan untuk siswa dengan biaya kuliah rendah, melanggengkan ketidaksetaraan dalam sistem pendidikan.
Pendidikan adalah hak asasi manusia yang fundamental dan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa memandang latar belakang ekonomi. Kenaikan biaya pendidikan di Indonesia memperlihatkan tantangan dalam memastikan hak ini terpenuhi. Setiap individu berhak mendapatkan pendidikan yang layak, yang merupakan kunci untuk pembangunan pribadi dan sosial serta untuk mencapai kesetaraan dalam masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya harus bekerja sama untuk mengatasi tantangan finansial yang dihadapi oleh sistem pendidikan tinggi, guna memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mengejar pendidikan dan mencapai potensi penuh mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangan dunia yang berubah secara cepat dan kompleks, memiliki keterampilan dan pengetahuan yang memadai sangat penting demi dapat bersaing dan beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah (Andari, et al. dalam Cintamulya, 2023). Pendidikan menjadi upaya untuk dapat membuka peluang kerja yang lebih baik bagi individu. Seperti yang dipaparkan oleh Andari, et al. (dalam Wahjono, 2023) bahwa individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi cenderung untuk memiliki kesempatan yang lebih baik dengan gaji yang lebih tinggi. Dengan demikian meningkatkan kualitas dalam pendidikan mampu meningkatkan kualitas hidup seseorang. Hal itu didukung karena dengan adanya usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka seseorang dapat memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang lebih baik dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya dari pendidikan seseorang mampu memahami bagaimana cara menjaga kesehatan, mengelola pemasukan, dan berkomunikasi dengan baik (Andari, et al. dalam Astri, 2023).
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Kompas.com, Prof. Anwar Sanusi, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan mengatakan bahwa dunia kerja di Indonesia saat ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah perguruan tinggi. Dalam data yang dimiliki Kemenaker, individu lulusan perkuliahan masih mendominasi lapangan pekerjaan di perkotaan. Data dari BPS tahun 2023 turut menyebutkan sebanyak 75,63 persen lulusan universitas memilih bekerja di perkotaan. Hal ini menekankan bahwa pentingnya pendidikan tinggi mampu menjadi prasyarat teknis yang sangat berpengaruh dalam pencapaian kesempatan kerja (Arifin & Firmansyah, ). Semakin tinggi tamatan pendidikan individu, maka semakin tinggi pula kemampuan kerja atau produktivitas seseorang dalam bekerja. Banyak sekali contoh individu yang memperoleh kesuksesan dari menempuhnya pendidikan tinggi, contohnya Nadiem Makarim (CEO GO-JEK & Menteri Kemendikbud RI), Elon Musk (CEO Tesla dan SpaceX), Maudy Ayunda (Artis dan Aktivis Pendidikan), dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Seperti yang diketahui, pendidikan tinggi memiliki peran yang sangat penting sebagai jembatan untuk mencapai kehidupan yang layak dan pemenuhan hak atas pekerjaan yang layak sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan memperoleh pendidikan tinggi, individu mendapatkan keterampilan, pengetahuan, dan kualifikasi yang diperlukan untuk bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif. Pendidikan tinggi membuka akses ke peluang pekerjaan yang lebih baik dan lebih beragam, yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan dan stabilitas ekonomi. Dengan demikian, pendidikan tinggi tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan, tetapi juga memastikan bahwa setiap orang dapat menikmati hak mereka atas pekerjaan yang layak, martabat, dan kesempatan yang setara, yang semuanya merupakan fondasi dari hak asasi manusia yang universal.
ADVERTISEMENT
Di era digital ini, kesempatan belajar bagi semua individu telah terbagi rata. Banyaknya platform pendidikan alternatif yang menyediakan kesempatan belajar di luar jalur gelar sarjana merupakan sebuah pilihan yang dapat di pertimbangkan oleh masyarakat Indonesia. Beberapa platform populer, yakni coursera yang menawarkan kursus online, sertifikat, dan gelar dari universitas dan perusahaan ternama di seluruh dunia. Platform serupa lainnya, seperti edx, udacity, khan academy, skillshare, google career certificates dapat menjadi alternatif selain menempuh jalur tradisional gelar sarjana.
Gelar sarjana pada diri seseorang belum tentu menentukan kesuksesan dalam hidup. Terdapat banyak tokoh sukses yang mencapai kesuksesannya meskipun tidak memiliki gelar sarjana. Steve Jobs, seorang pendiri Apple Inc tidak mempunyai gelar sarjana karena Ia merasa pendidikan formal tidak memberinya nilai tambah yang dicari. Setelah keluar dari kuliah, Steve Jobs mendirikan Apple bersama Steve Wozniak dan Ronald Wayne pada tahun 1976. Perusahaan Apple Inc tersebut kemudian menjadi salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia dengan inovasi seperti Macintosh, Ipos, Iphone, dan Ipad.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, tokoh sukses yang berhasil tanpa adanya gelar sarjana adalah Susi Pudjiastuti. Sebagai latar belakang, Susi Pudjiastuti adalah mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia yang tidak menyelesaikan pendidikan SMA. Ia memutuskan untuk meninggalkan sekolah dan memulai usaha sendiri. Susi Pudjiastuti memulai usahanya dengan berjualan ikan di Pangandaran, Jawa Barat, Ia kemudian mendirikan Susi Air, sebuah maskapai penerbangan yang melayani daerah-daerah terpencil di Indonesia. Sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi dikenal dengan kebijakan tegasnya terhadap illegal fishing dan reformasi sektor perikanan. Kisah hidupnya yang penuh perjuangan dan keberaniannya membuatnya menjadi sosok inspiratif. Tokoh-tokoh ini menunjukkan bahwa dengan tekad, kreativitas, dan kerja keras, seseorang dapat mencapai kesuksesan meskipun tanpa pendidikan formal yang lengkap. Mereka menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk berani mengambil langkah dan meraih mimpi mereka.
ADVERTISEMENT
Secara hukum, setiap warga negara memiliki hak untuk memilih jalur pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pribadi mereka. Hak ini didasarkan pada berbagai peraturan dan undang-undang yang menjamin kebebasan dalam pendidikan. Undang-undang yang mengatur tentang kebebasan dalam memilih jalur pendidikan terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 31 Ayat (1) dan (2) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 12 Ayat (1). Meskipun terdapat hal untuk memilih jalur pendidikan, namun implementasi di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, yaitu ketersediaan dan aksesibilitas, kualitas pendidikan, dan kendala ekonomi. Tantangan ini sekarang menjadi salah satu alasan mengapa pemerintah menyatakan bahwa perguruan tinggi merupakan kebutuhan tersier.
ADVERTISEMENT
Pernyataan kemendikbud yang mengatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier menyebabkan banyak perdebatan pada berbagai golongan. Apabila mengacu pada hak dasar bagi warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak, maka perguruan tinggi juga termasuk berada di dalamnya. Meskipun dasar yang digunakan oleh kemendikbud tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (1) dan (2) tentang hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan formal/dasar ditanggung oleh pemerintah, sehingga pendidikan tinggi tidak disebutkan dalam kategori tersebut. Tetapi, hal ini menuai kontroversi seolah menganggap pendidikan tinggi bukanlah hal yang berkewajiban untuk ditempuh.
Peran pemerintah dalam menjamin tercapainya pendidikan maksimal terhadap masyarakatnya, perlahan dirasakan berkurang apabila pendidikan yang saat ini ada tetap berada pada tingkatan yang sama setiap tahunnya. Pendidikan secara formal memang menjadi kewajiban untuk diselesaikan, namun perguruan tinggi memiliki peran penting dalam mendongkrak kualitas masyarakat dan pendidikan yang lebih maju. Pentingnya pendidikan formal sering disalah artikan bahwa setelah menyelesaikan tahapan tersebut, maka tahapan berikutnya hanya sebatas opsional yang disesuaikan dengan keinginan setiap individu. Kurangnya kesadaran untuk dapat mendorong adanya kesempatan untuk pendidikan yang lebih tinggi, membuat seseorang terkadang merasa demotivasi untuk menuju jenjang seterusya.
ADVERTISEMENT
Apabila mengacu pada kondisi saat ini, adanya perbandingan yang cukup besar antara masyarakat yang mampu untuk sukses setelah menempuh pendidikan formal dengan masyarakat yang meneruskan pada jenjang perguruan tinggi, keduanya memiliki selisih yang cukup besar. Kondisi di dunia kerja juga cenderung membutuhkan kualifikasi tenaga kerja yang relatif tinggi, dengan adanya banyak pekerjaan yang mengharuskan calon pegawainya untuk memiliki riwayat pendidikan di perguruan tinggi. Akses pendidikan yang seharusnya dipermudah, saat ini sedang mengalami perubahan oleh adanya aturan tertentu sehingga pendidikan lanjutan menjadi susah untuk ditempuh. Peran masyarakat dalam mengangkat kasus ini juga menjadi faktor penentu akan pentingnya pendidikan lanjutan serta jumlah minat masyarakat untuk menempuh pendidikan tersebut juga sangat tinggi. Hak untuk memperoleh pendidikan yang layak harus terus ditegakkan dengan dilakukannya pengecekan terkait kondisi perguruan tinggi terhadap tingkat pelayanan dan fasilitas serta didukung hasil pendidikan yang meningkat. Namun, peran ini juga harus diimbangi oleh adanya peningkatan kualitas SDM yang akan dihasilkan dari pendidikan yang saat ini sedang ditempuh.
ADVERTISEMENT