Konten dari Pengguna

Polemik Antar Lembaga: MK dan DPR

Muhammad Ikbal Efer
Wakil Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum UAD
28 Agustus 2024 6:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ikbal Efer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Canva: Mohd. Ikbal Efer
zoom-in-whitePerbesar
Canva: Mohd. Ikbal Efer
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konstitusi mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Namun, dari pasal tersebut tidak memberikan sejauh mana batasan MK dalam melakukan proses pengujian konstitusionalitas suatu UU, bahkan terkaitan putusan yang harus dikeluarkan MK. Wewenang MK untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, dikenal dengan istilah judicial review. Baik secara teori maupun praktiknya, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 terbagi 2 macam yaitu pengujian formal (formale toetsingsrecht) dan pengujian secara materiil (materiele toetsingsrecht) (Supriyanto, 2016).
ADVERTISEMENT
Kedudukan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah lembaga yang memiliki fungsi negative legislature, selain itu juga memiliki fungsi sebagai Penafsir yang final dari Konstitusi. Seiring dengan berkembangnya masyarakat dan zaman, fungsi MK mengalami pergeseran dimana MK melalui putusannya yang memiliki sifat positive legislature dari sebelumnya yaitu negative legislature yang sudah banyak ditemukan produk hukumnya. Dalam artian, muatan positive legislature dapat dilihat dari adanya putusan yang salah satunya membuat rumusan baru terkait undang-undang, pasal atau ayat yang diujikan.
Dalam beberapa waktu terakhir, Putusan MK menjadi perbincangan ramai terutama putusan-putusan yang berkaitan dengan pemilihan umum yaitu tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden.
Terbaru, putusan MK yang berkaitan dengan ambang batas parlemen dan tentang batas minimum usia calon kepala daerah. Putusan MK tentang ambang batas parlemen menjadi polemik yang menghadirkan ruih aksi massa yang sangat luas sebab DPR RI “berniat” menganulir Putusan MK dengan menafsirkan secara bebas apa yang menjadi putusan dari MK.
Ilustrasi Peringatan Darurat. Canva: Mohd. Ikbal Efer
POLEMIK
ADVERTISEMENT
Tulisan ini berangkat pula dari pernyataan Pengamat Politik M. Qodari, yang mengatakan sekaligus menilai bahwa MK sudah “kebablasan” dalam memutuskan perkara UU Pilkada”, beliau juga menilai bahwa pembuat undang-undang itu DPR, bukan MK. “MK diminta untuk berhenti menulis Pasal-Pasal, MK cukup sampai pada titik menerima atau menolak, dan selebihnya dikembalikan kepada DPR” ujar M. Qodari (sumber: Liputan6 Talks)
Banyak persoalan yang muncul, apakah MK benar-benar dapat bergeser dari negative legislature menjadi positive legislature? Sebab sedikit banyaknya hal tersebut tentu bertabrakan dengan lembaga lainnya yaitu lembaga legislatif sebagai pilar utama pembentuk undang-undang (positive legislature). Perlu diperhatikan bahwa dikeluarkannya putusan yang bersifat positive legislature oleh MK semata-mata untuk mewujudkan keadilan substantif bagi masyarakat sebagai pemegang hak konstitusional, dengan dasar pula bahwa setiap isi dan bunyi dari undang-undang itu harus jelas sehingga meminimalisir tafsir lain daripada yang dimaksudkan. Lebih lanjut, Mantan Hakim Agung, sekaligus mantan Hakim MK, Laica Marzuki menyatakan, “Biarlah MK membuat putusan yang bersifat mengatur, sebagai inovasi atau pembaharuan sesuai dengan ras keadilan yang ada dalam masyarakat (Nurhayati, 2015). Maka putusan MK yang dikeluarkan dalam hal bersifat positive legislature (mengatur) sesungguhnya sah-sah saja dengan catatan penting seperti yang penulis sampaikan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Sederhananya untutk menjawab hal tersebut, sebagai satu-satunya lembaga yang dapat menafsirkan konstitusi, maka muncul kewenangan untuk menafsirkan bagi MK sebab bagaimana bisa melakukan review terhadap sebuah undang-undang agar sesuai dengan perintah konstitusi apabila tidak diberikan kewenangan memaknai dan menafirkan konstitusi itu sendiri. Tentu saja agar Putusan MK dibuat sejelas mungkin dan agar tidak ditafsirkan secara bebas di DPR atau bahkan dengan cara tertentu hanya memasukkan sebagian atau tidak sama sekali apa yang menjadi putusan dari MK. Kendati demikian, dalam praktiknya masih minim tindak lanjut atas putusan positive legislature oleh addressat putusan MK. Lebih lanjut, MK “hanya" akan melakukan pengujian suatu undang-undang, pasal atau ayat apabila dimohonkan untuk diuji, dan MK dapat menguji, dan menafsirkan sesuai konstitusi, kendati putusannya bersifat mengatur. Juga, agar tidak ada “pengangkangan” atas marwah MK yang sifat Putusannya Final and Binding.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, belum terdapat landasan yuridis yang menaungi keberadaan putusan positive legislature MK. Maka dapat dikatakaan terjadi kekosongan hukum terkait batasan kewenangan hakim konstitusi dalam penjatuhan putusan yang bersifat positive legislature. Juga, secara yuridis belum ada guidance bagi kedua lembaga (MK dan DPR) untuk menindaklanjuti putusan MK dengan cara demikian. Namun, sifat putusan MK yang Final and Binding menjadi petunjuk agar Putusan MK tetap harus dijalankan dan juga mengikat bagi seluruh lembaga.