Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
PLTS Apung Salah Satu Solusi Pengembangan PLTS Skala Besar Indonesia
5 Maret 2022 21:08 WIB
Tulisan dari Muhammad Ikhsan Ardi Hansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini pengembangan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) secara global atau secara umum telah banyak dilakukan. Salah satu contoh dari produk PLTS yang dikembangkan adalah PLTS Apung/Terapung. Sejak tahun 2016, perkembangan dan peningkatan PLTS Apung semakin signifikan peningkatannya. Salah satu mengapa PLTS Apung dikembangkan yaitu minimnya daerah daratan untuk dibangun PLTS secara tradisional atau yang sering disebut dengan istilah “ground-mounted”. Inovasi seperti ini umumnya dikembangkan di badan perairan seperti danau dan waduk.
ADVERTISEMENT
Perkembangan PLTS Apung Global
Sejak tahun 2016, penambahan PLTS Apung semakin meningkat. Jumlah peningkatan rata-rata yaitu sekitar 300 MWp per tahun hingga tahun 2018. Di tahun 2018 sendiri total kapasitas terpasang mencapai 1,3 GWp. Data menyebutkan bahwa sampai dengan tahun 2020 total kapasitas PLTS Apung yang terpasang mencapai angka 2,6 GWp. Jika dilihat dari data tersebut, peningkatan di tahun 2020 dikatakan 2 kali lipat dari tahun 2018. Dalam dua tahun terakhir ini, peningkatan PLTS Apung yang pesat juga disampaikan oleh grup pasar industri Wood Mackenzie di tahun 2021. Data tersebut memperlihatkan grafik peningkatan penambahan kapasitas PLTS Apung. Penambahan PLTS Apung tersebut dari angka 0,8 GWp (2020) dan mengalami peningkatan menjadi 3,6 GWp di tahun 2025 nantinya.
Perkembangan PLTS Apung di Indonesia
ADVERTISEMENT
Perkembangan PLTS Apung di Indonesia bisa dikatakan sangat pesat. Perkembangan PLTS Apung bisa dikatakan lebih pesat daripada perkembangan PLTS ground-mounted. Menurut Kementerian ESDM, kapasitas PLTS nasional yang terpasang telah mencapai 153,5 MW di akhir tahun 2020. Jumlah ini masih disupremasi oleh jenis PLTS off-grid dan PLTS Independen Power Production.
Di Indonesia perkembangan PLTS Apung sendiri dimulai di tahun 2017 ketika pemerintah masih bekerja sama dengan Uni Emirat Arab. Perjanjian tersebut berisi tentang perjanjian pembangunan PLTS skala besar di Indonesia. Tetapi perjanjian kerja sama tersebut dibatalkan karena ada suatu hal. Di Januari 2020, perjanjian jual beli tenaga listrik (atau Power Purchase Agreement, “PPA”) proyek PLTS Terapung Cirata pun ditandatangani dengan tarif sebesar US$5,8179 sen/kWh (Kementerian ESDM, 2020). Per 3 Agustus 2021, proyek ini telah mencapai tahap financial close dan resmi memasuki tahap konstruksi dan ditargetkan beroperasi pada November 2022.
ADVERTISEMENT
Perkembangan PLTS Apung pionir tersebut juga mendorong pemerintah untuk mengeluarkan aturan terkait pengembangan PLTS Apung khususnya mengenai pemanfaatan waduk. Hal tersebut dituangkan melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 6/2020 tentang Perubahan atas Permen PUPR Nomor 27/PRT/M/2015 tentang Bendungan yang memperbolehkan pemanfaatan ruang pada daerah genangan waduk untuk PLTS terapung sebesar 5% luas permukaan waduk pada muka air normal.
Tidak hanya proyek PLTS Apung Cirata saja, tren keekonomian PLTS Apung juga diperlihatkan dalam dua tahun terakhir dari dua proyek PLTS Apung yang ditawarkan dalam lelang pemilihan mitra ekuitas PT Indonesia Power dalam lelang Hijaunesia di tahun 2020.
Keekonomian PLTS Apung
Harga PPA dan penawaran lelang dari PLTS IPP di Indonesia telah mengalami penurunan yang sangat signifikan dalam enam tahun terakhir . Meski angka tersebut tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan semata dikarenakan adanya perbedaan harga capital expenditure sistem PLTS kala itu, regulasi, mekanisme pengadaan, struktur proyek, skala keekonomian, serta hal lainnya, data yang ada cukup jelas menunjukkan bahwa dalam dua tahun terakhir pengembangan PLTS Terapung jauh lebih unggul dibandingkan PLTS groundmounted. Oleh karena itu sangat penting untuk melihat harga penawaran maupun harga final PPA tersebut dengan berhati-hati.
ADVERTISEMENT
Keuntungan PLTS Apung dibandingkan PLTS Ground-mounted
jika dibandingkan secara umum, harga penawaran jual listrik untuk target IRR ekuitas tertentu dari PLTS Terapung masih sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan PLTS ground-mounted dengan skema BOO—dengan menggunakan asumsi harga modul dan pembiayaan yang sama.
Hal ini dikarenakan adanya perbedaan CAPEX sebesar 15-17% untuk PLTS Terapung dengan penambahan struktur pengapung dan komponen elektrikal terkait, meskipun terdapat peningkatan produksi listrik sebesar 5-10% untuk PLTS Apung karena efek pendinginan panel surya . Akan tetapi, PLTS Apung menunjukkan penawaran harga jual listrik yang lebih rendah dibandingkan PLTS ground-mounted dengan skema BOOT, di mana di dalamnya terdapat keharusan untuk pembelian lahan, yang dalam hal ini digunakan asumsi harga lahan moderat sebesar Rp200.000,00/m2 untuk daerah Jawa .
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan bahwa komponen pembelian lahan bisa menjadi faktor yang meningkatkan biaya dari segi CAPEX, khususnya dalam Owner’s additional cost. Menurut Dutt & Chawla , komponen biaya lahan berkontribusi sebesar 20–30% dari total CAPEX untuk proyek di Jawa.
Perubahan skema BOOT menjadi BOO pada Permen ESDM No. 4/2020 tentunya dapat mendorong pengembangan PLTS ground-mounted dengan membuka kesempatan bagi pengembang untuk melakukan sistem sewa lahan alih-alih melakukan pembelian lahan sehingga dapat menurunkan ekspektasi harga jual listrik sebelumnya. Meski demikian, dalam praktiknya pencarian lahan masih menjadi salah satu tantangan utama dalam pengembangan PLTS ground-mounted. Di sinilah salah satu keunggulan kompetitif utama dari PLTS Terapung dibandingkan PLTS ground-mounted di mana pemilihan lokasi pengembangan pada area waduk menjadi relatif lebih mudah karena tidak ada konflik terkait fungsi lahan dengan, misalnya, pertanian atau lainnya. Perlu dicatat studi kelayakan secara teknis, lingkungan, sosial ekonomi yang cukup kompleks juga dapat menambahkan biaya pengembangan suatu proyek PLTS Apung.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat perbandingan dari sisi pembiayaan , tidak bisa dipungkiri bahwa persyaratan pinjaman dari pembiayaan internasional masih lebih atraktif, karena tingkat suku bunga yang lebih rendah dengan tenor yang bisa lebih panjang. Secara umum terdapat beberapa tiering dalam pasar global, namun salah satu yang kerap digunakan adalah Bloomberg NEF PV Module Tier 1 List .
Menurut Bloomberg NEF, kriteria umum dari manufaktur panel surya Tier 1 adalah mereka yang telah menyediakan merek sendiri , produk manufaktur sendiri untuk setidaknya enam proyek yang berbeda, yang telah dibiayai secara non-recourse oleh enam bank komersial yang berbeda dalam dua tahun terakhir. Masih berkenaan dengan hal tersebut, dalam praktiknya, sulit bagi pengembang untuk mendapatkan pembiayaan internasional jika menggunakan modul lokal karena dianggap masih belum teruji bankability-nya . Dalam hal ini, tentunya laporan keuangan dan pengalaman teknis perusahaan pengembang juga akan menjadi syarat untuk menerima pembiayaan utang non-recourse.
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh: Muhammad Ikhsan Ardi Hansyah|Mahasiswa Teknik Elektro
Live Update