Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.2
Konten dari Pengguna
Fitnah Jahat Mahasewa dalam Aksi Indonesia Gelap
24 Februari 2025 14:20 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Ilham Fahreza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tempo hari, saya melihat konten di media sosial X dari akun @youraccc yang membahas mengenai konten pemecah belah di tiktok. Konten tiktok tersebut diposting oleh akun @seputargerindra menampilkan video seorang mahasiswa yang sedang membagi-bagikan uang dalam suatu aksi demonstrasi dan dibubuhi keterangan, “lumayan buat sangu” dan ditulis sebuah caption “katanya mewakilkan suara rakyat, tapi kok ada bagi-bagi uang. Wahh pelanggaran”.
ADVERTISEMENT
Setelah konten tersebut tersebar luas, mahasiswa dalam video tiktok tersebut memberikan sebuah klarifikasi melalui akun media sosialnya @mrezadiityaa. Faktanya, uang yang dibagikan adalah uang mainan dan aksi tersebut adalah bentuk ekpresi sindiran kepada pemerintah yang haus atas kekuasaan.
Para buzzer berusaha memutarbalikkan fakta dan menciptakan narasi jahat, bahwa aksi protes yang dilakukan oleh mahasiswa bertajuk Indonesia Gelap merupakan aksi bayaran.
Saya memahami betul bahwa demokratisasi informasi menjadi salah satu penyebab lahirnya era post-truth, di mana fakta objektif bisa dikaburkan dengan narasi yang emosional dan terlihat meyakinkan. Dalam kondisi seperti ini, tumbuh suburnya buzzer atau pendengung adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dibendung.
Namun, ada kalanya saya merasakan kegeraman dan kemarahan yang tidak tertahankan ketika menemukan konten-konten semacam ini, apalagi diamplifikasi dengan masifnya komentar templat berisi tuduhan tidak berdasar yang berseliweran di seluruh konten dengan tema serupa.
ADVERTISEMENT
Siapapun yang punya nurani dan akal sehat tentu akan marah, ketika menyaksikan ketulusan, kepedulian dan kecintaan para mahasiswa yang besar terhadap negara dan ikhtiar mereka dalam memperjuangkan kehidupan yang lebih baik untuk seluruh masyarakat Indonesia harus digembosi dan dirusak oleh serangan-serangan zalim dari para pendengung.
Bagi masyarakat terdidik, narasi yang diciptakan oleh para pendengung memang terkesan lemah dan tidak masuk akal. Tuduhan-tuduhan yang bertebaran di media sosial seperti, “Mahasewa”, “Dibayar 50rb dan nasi bungkus”, “Ditunggangi pihak asing”, “Upaya membela Hasto dan PDIP”, dan seterusnya adalah narasi yang cenderung absurd dan kacau.
Orkestrasi gerakan mahasiswa terjadi secara organik dan berlangsung hampir di seluruh wilayah di Indonesia atas dasar keresahan kolektif akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang selama ini dianggap merugikan rakyat.
ADVERTISEMENT
Kita bisa menilai dan melihat secara langsung bagaimana ungkapan-ungkapan kemarahan itu diekspresikan secara amat kreatif dan unik melalui poster dan spanduk aksi, serta berbagai keriuhan substantif yang terjadi di berbagai media sosial. Baik kelompok penguasa maupun orang-orang kaya di negeri ini tidak akan sanggup membiayai dan menggerakkan aksi mahasiswa semacam ini.
Lagi pula, hampir seluruh universitas dengan reputasi besar juga ikut turun ke jalan, tuduhan dibayar 50 ribu rupiah atau nasi bungkus ini sangat menghina mereka yang uang kuliah per semesternya rata-rata di atas 10 juta rupiah. Apalagi tuduhan ditunggangi oleh PDIP dan berkaitan dengan kasus penangkapan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, permainan isu ini adalah komedi dan kebodohan luar biasa dari para pendengung.
ADVERTISEMENT
Yang mengkhawatirkan dari narasi mahasewa ini tentu adalah masyarakat dengan literasi informasi yang rendah dan kelompok ekonomi menengah ke bawah, sayangnya kelompok ini merupakan mayoritas dari penduduk kita dan menjadi sasaran empuk para pendengung.
Jika terus menerus narasi ini digaungkan dan menang, gerakan perlawanan semacam ini akan mendapatkan tantangan besar dengan semakin mengecilnya kepercayaan dan dukungan dari masyarakat.
Padahal, gerakan moral dan perjuangan melawan kesewenang-wenangan semacam ini sangat penting bagi keberlangsungan kualitas demokrasi kita. Kelompok mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil hadir sebagai oposisi terkuat hari ini di tengah menurunnya kualitas oposisi yang diberikan oleh legislatif yang cenderung menjadi tukang stempel pemerintah, partai politik yang justru sedang bermufakat untuk membentuk koalisi permanen, dan berbagai organisasi masyarakat besar yang sibuk di barisan tedepan membela pemerintah.
ADVERTISEMENT
Masih banyak sekali masyarakat Indonesia yang menganggap tugas mahasiswa hanya sekadar belajar dan perihal mencari pekerjaan, jangankan memberikan dukungan dan mengapresiasi perjuangan mahasiswa, yang terjadi justru masih banyak kelompok masyarakat yang memberikan komentar nyinyir menganggap aksi mahasiswa menyusahkan kehidupan sehari-hari mereka. Nyatanya, keberhasilan setiap aksi demonstrasi adalah kemenangan juga untuk mereka.
Tugas kita semua yang merasa sebagai kaum terdidik dan mencintai bangsa ini, untuk secara perlahan dan berkelanjutan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, mengingatkan bahwa betapa pentingnya memberikan perlawanan jika penguasa sudah salah jalan dan meninggalkan cita-cita memakmurkan rakyat Indonesia. Seperti yang diajarkan oleh Pramoedya Ananta Toer, “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan”.
Daripada repot-repot menyewa pendengung, pemerintah seharusnya mendengar dan mengkaji setiap tuntutan yang diperjuangkan oleh kelompok mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil. Kemarahan massa tidak akan pernah terjadi jika pemerintah bekerja dengan benar dan setiap kebijakan publik dibuat atas dasar kepentingan rakyat.
ADVERTISEMENT
Dibanding mengerahkan pendengung untuk membentuk opini publik, lebih mudah dan bijak bagi pemerintah untuk mengevaluasi pejabat-pejabat publik yang gemar memberikan komentar nyeleneh dan nirempati. Sebab ucapan-ucapan menyebalkan para pejabat publik ini jugalah yang menjadi faktor penyulut emosi masyarakat.
Dalam novel 1984, dengan cerdik George Orwell mengilustrasikan fenomena penguasa dalam mendikte pikiran publik, “Partai penguasa akan mengumumkan bahwa 2 + 2 = 5, dan masyarakat harus mempercayainya.” Melalui propaganda dan perang narasi yang diproduksi secara sistematis oleh para pendengung, masyarakat dipaksa mempercayai dan bahkan mendukung setiap muslihat dan kebohongan penguasa.
Namun ingatlah, bahwa negara ini belum menjadi Oceanianya Orwell yang menganut sistem totalitarian penuh. Selama kelompok kritis seperti golongan mahasiswa masih setia di jalan kebenaran, sepanjang itu pula nilai-nilai luhur demokrasi dan kedaulatan rakyat akan terus terjaga. Tugas kita semua, untuk selalu berada di barisan mahasiswa dan memberikan dukungan, sekecil apapun itu. Karena sekecil apapun perlawanan, adalah perlawanan.
ADVERTISEMENT