Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Siege of Vienna: Awal Kemunduran Dominasi Turki Utsmani di Eropa
4 April 2024 22:59 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Muhammad Ilhamsyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kekaisaran Turki Utsmani merupakan salah satu kekaisaran terbesar yang dimiliki oleh Islam. Kekaisaran Turki Utsmani memiliki pasukan Janissari yang cukup ditakuti oleh bangsa Barat, hal tersebut cukup menyulitkan bangsa barat dalam melakukan ekspansi ke wilayah kekaisaran Turki Utsmani. Akan tetapi, pada penghujung kekuasaannya Turki Utsmani mengalami kemunduran baik itu dari faktor dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu penyebab dari kemunduran Turki Utsmani saat itu adalah ketika kekaisaran Turki Utsmani gagal dalam melakukan pengepungan Wina. Sehingga, hal ini menjadi titik balik negara Barat untuk mulai menghimpun kekuatan dan mulai menginvasi wilayah kekaisaran Turki Utsmani. Dalam artikel ini penulis membahas tentang bagaimana kesultanan Turki Utsmani mengalami kegagalan dalam menaklukan wilayah Wina di Austria
Turki Utsmami atau kekaisaran Ottoman adalah salah satu kekaisaran terbesar yang wilayah kekuasaannya meliputi sebagian Eropa hingga wilayah Utara Afrika. Pada awal kekuasaannya kekaisaran Ottoman sangatlah kuat, berbagai ekspansi dilancarkan dalam memperluas wilayah kekaisaran, dengan semangat juang yang tinggi disertai dengan keberanian dan kekuatan dari para tentaranya pasukan Ottoman dapat berkembang pesat. Masa kejayaan dari kekaisaran Turki Utsmani adalah pada saat pemerintahan Sultan Sulaiman Al-Qonuni, meskipun awal kejayaannya dimulai pada saat Sultan Mehmed II yang bergelar Al-Fatih dapat menaklukan konstantinopel hingga jatuh ke tangan Islam.
ADVERTISEMENT
Pengepungan Wina I (1526)
Dalam proses perluasan kekuasaannya di wilayah Eropa, Turki melakukan ekspansi ke wilayah negara Balkan seperti Rumania, Hungaria, dan Austria. Turki berhasil menguasai wilayah Mohacs pada tahun 1526. Dengan melihat kemenangan tersebut, pasukan Turki mulai merencanakan strategi untuk merebut kembali Budapest yang telah jatuh ke tangan Habsburg, sekitar 80-100 ribu pasukan dikerahkan untuk merebut ibukota Hungaria yang telah jatuh ke tangan Habsburg tersebut. Disamping itu, sultan Suleyman I ingin menyelesaikan persaingan antara Habsburg dan Turki dengan melakukan pengepungan terhadap kota Wina. Proses pengepungan Wina oleh Turki Utsmani terjadi sebanyak dua kali, pengepungan pertama terjadi pada tahun 1526 dan pengepungan kedua terjadi pada tahun 1683. Pada tahun 1526, Sultan Suleyman I memasuki Budapest bersama sekutunya dari Prancis I untuk melawan pasukan Habsburg hingga mendekati pintu gerbang Habsburg pada tahun 1529. Namun, karena perubahan kebijakan politik, pasukan Prancis malah berbalik mendukung Habsburg. Akibatnya, Sultan Suleyman I memutuskan untuk menarik kembali pasukannya dan tidak melanjutkan pengepungan terhadap Wina. Hal ini menyebabkan kota Transylvania jatuh ke dalam wilayah kekuasaan Hungaria, meski begitu Turki tetap berada di Eropa dan Hungaria masih berada dalam kontrol Turki Utsmani. Perlawanan antara Eropa dan Turki berlanjut hingga wafatnya Sultan Suleyman I. Setelah kematiannya, Turki mengalami masa stagnasi tanpa adanya pertempuran atau penaklukan besar. Pada tahun 1683, Sultan Mehmed IV dengan bantuan wazirnya, Kara Mustafa, kembali mengepung kota Wina untuk yang kedua kalinya.
ADVERTISEMENT
Pengepungan Wina II (1683)
Pengepungan Wina kedua terjadi pada 17 Juli - 12 September 1683, peristiwa ini dipicu karena pasukan Turki mulai menemukan kembali kekuatan militernya, terutama saat mereka berhasil menaklukan wilayah Hungaria dan Romania. Hal tersebut juga didukung oleh ketidakmampuan Leopold I dalam mengatasi pemberontakan internal pada tahun 1670 an, terutama pemberontakan yang dilakukan oleh Imre Thököly yang menyebabkan lemahnya pertahanan Habsburg. Oleh karena itu, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Kara Mustafa untuk membujuk sultan agar bersedia melakukan pengepungan kembali ke Wina. Rencana pengepungan Turki terhadap Wina berhasil mendapat persetujuan sultan pada Agustus 1682 dibawah komandi Kara Mustafa. Dia menghabiskan beberapa tahun untuk membangun pasukannya dan melakukan kampanye terhadap rakyatnya tentang penyerbuan terhadap kekaisaran Austria pada tahun 1683. Sultan kemudian meninggalkan Edirne beserta dengan pasukan Janissari, kavaleri, dan Artileri ditambah dengan pasukan dari wilayah Asia yang ikut bergabung dalam pasukannya. Pada bulan April 1683 pasukan Turki memasuki Beograd dan mempersiapkan pengepungan terhadap Wina yang dikomandoi oleh Kara Mustafa, sementara itu Sultan Mehmed IV tinggal di Beograd dan tidak ikut memimpin pasukannya. Pasukan Turki mencapai wilayah Wina pada 14 Juli 1683 dengan membawa 90.000 pasukan (Stehen Turnbull, 2003:89; Gabor Agoston dan Bruce Masten, 2009: 584).
Sementara itu di pihak musuh sebanyak 80.000 pasukan dan 160 meriam dibawa oleh pasukan Lorraine dan Sobieski yang merupakan koalisi dari pasukan Prancis, ia menyusun meriam yang membentang di sepanjang puncak perbukitan Wina. Pada pagi hari tanggal 12 September, pasukan Lorraine dan Sobieski telah bersiap menghadapi pasukan Turki. Hal tersebut tidak diprediksi dengan baik oleh intelejen Turki Utsmani, sehingga pasukan Turki tidak mengetahui kekuatan yang dimiliki oleh lawan. Kara Mustafa justru berencana untuk menyerang pasukan kristen sekutu pada tanggal 11 September dengan pasukan kavaleri yang hanya membawa 60 senjata saja. Pertempuran yang lebih intens terjadi pada tanggal 12 September, arah sayap kanan dan kiri Turki Utsmani yang dijaga oleh pasukan Tatar ternyata berhasil diterobos oleh pasukan kristen dan menghujani mereka dengan meriam. Pasukan yang dipimpin oleh Kara Mustafa mulai terdesak dan kehilangan semangat berperang serta sebagian dari mereka melarikan diri, hingga akhirnya pasukan Islam terpaksa untuk mundur.
ADVERTISEMENT
Titik balik Kristen di Eropa
Pada musim gugur 1683 pasukan sekutu Kristen berhasil meraih kemenangan di Wina. Pasukan sekutu yang berhasil memukul mundur pasukan Turki kemudian mulai mengambil dan menguasai kastil-kastil yang sebelumnya berada dibawah kekuasaan Turki, khususnya di wilayah Hungaria. Hal ini menyebabkan paradigma Eropa tentang pasukan Janissari yang dinilai kuat menjadi tidak relevan lagi, hingga menimbulkan rasa optimisme yang tinggi bagi golongan Eropa untuk berambisi menguasai kesultanan Turki Utsmani. Kurangnya fasilitas alutsista menjadi salah satu sebab melemahnya pasukan Janissari yang lambat laun mulai tergusur oleh pasukan Barat yang terus mengalami kemajuan. Kekalahan Kara Mustafa menyebabkan kejatuhannya hingga ia mendapatkan eksekusi hukuman mati, tidak berselang lama setelah eksekusi tersebut kemudian diikuti dengan pencopotan jabatan Sultan Mehmed IV (Géza Pálffy, 2021: 219; Gabor Agoston dan Bruce Masten, 2009: 584).
Keberhasilan Eropa dalam memukul mundur pasukan Turki ditandai dengan adanya Liga Suci yang merupakan aliansi dari kekuatan sekutu Eropa yang terdiri dari Russia, Polandia, Austria, dan Rumania. Aliansi tersebut dibentuk pada bulan April-Maret 1684 dibawah naungan Paus Innosensius XI. Hal ini diyakini menjadi titik balik Kristen dalam menguasai wilayah Eropa yang telah lama dikuasai dalam pengaruh Turki dan menjadi awal mula kemunduran Turki Utsmani. Keberhasilan tersebut mencapai puncaknya dengan direbutnya bekas ibu kota Hongaria pada tanggal 2 September 1686, setelah pengepungan sengit yang berlangsung selama dua setengah bulan.
ADVERTISEMENT
Turki semakin terpuruk
Selain pengaruh dari Eropa, kemunduran Turki Utsmani juga diperburuk dengan permasalahan internal seperti inflasi ekonomi, wabah penyakit, dan kelaparan yang membuat Turki Utsmani semakin sulit dan terpuruk. Harga pangan yang naik dua kali lipat menyebabkan orang-orang di Anatolia pada tahun 1687 memakan rumput, oak, kacang, dan kulit kenari. Melemahnya pasukan Janissari juga menjadi salah satu penyebab mundurnya dinasti Turki Utsmani karena pasukan ini adalah garda terdepan Turki Utsmani dalam mempertahankan wilayah dan kedudukan dinasti Turki Utsmani. (Stanford Shaw, 1975: 219).
Kemenangan sekutu Kristen atas Turki di Zenta pada tahun 1697 oleh pasukan Eugene dari Savoy menjadi akhir dari perjuangan Turki Utsmani dalam mempertahankan wilayah Hungaria. Peperangan antar dua kerajaan ini diakhiri dengan perjanjian damai antara kedua kerajaan yang dinisiasi oleh utusan Belanda dan Inggris, utusan liga suci, dan utusan dari Sultan. Kemudian perjanjian ini ditandatangani oleh utusan dari sultan pada 26 Januari 1699 di Karlóca (Karlowitz), perjanjian ini kemudian dikenal dengan Traktat Karlowitz.
Setelah kegagalan dalam melakukan Pengepungan Wina kedua pada tahun 1683, Turki Utsmani mengalami serangkaian kekalahan militer yang menandai awal dari kemunduran kekuasaannya di Eropa. Kekalahan ini memunculkan serangkaian perubahan dalam pemerintahan Utsmani, termasuk pergeseran kekuasaan dan penurunan status pasukan Janissari yang dikenal kuat. Traktat Karlowitz pada tahun 1699 menandai akhir dari perang panjang antara Turki Utsmani dan aliansi Eropa. Krisis ekonomi dan sosial di dalam negeri menyebabkan ketidakstabilan yang menyulitkan Turki dalam mempertahankan wilayah-wilayahnya. Dengan demikian, pengepungan Wina kedua menandai titik balik kemajuan Kristen Eropa, serta menandai awal dari periode kemunduran dominasi Turki Utsmani dan Islam di wilayah Eropa.
ADVERTISEMENT