Internasionalisasi Pendidikan Tinggi; Sudah Siapkah Kita?

Konten dari Pengguna
7 Juni 2018 8:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Imadudin Nasution tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Muhammad Imadudin Nasution
Nasution-Wiyanto Consulting
Membaca tirto.id 20 April 2018, tulisan Profesor Ariel Heryanto menyentak saya tentang pemahaman internasionalisasi dan globalisasi. Setelah mencoba membaca tulisan tersebut, saya mencari lebih banyak referensi mengenai internasionalisasi pendidikan tinggi di tanah air. Kesiapan Indonesia perlu dikritisi demi sebuah pembangunan akademik yang berkeadilan.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa artikel opini yang berhasil saya dapatkan, dapat disimpulkan bahwa persoalan internasionalisasi pendidikan tinggi ini merupakan efek logis dari globalisasi. Masyarakat dunia yang ratusan tahun lalu terbiasa hidup sejak lahir, dewasa hingga wafat di satu wilayah tertentu, sekarang sudah mulai menginginkan untuk berpindah dari kota kelahirannya, untuk mencari kehidupan yang lebih layak.
Karena didorong keinginan untuk merantau itulah, banyak pemuda Indonesia yang memutuskan pergi ke kota besar seperti Jakarta, Surabaya atau Yogyakarta, untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi. Bahkan banyak pula dari mereka yang memutuskan untuk mencari beasiswa hingga ke luar negeri. Fenomena merantau tersebut jelas merupakan dampak dari globalisasi dunia saat ini.
Bukan hanya pemuda Indonesia yang memutuskan menjadi mahasiswa perantau di luar negeri. Sekarang di beberapa kampus perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Negeri di berbagai lokasi di tanah air, sudah mulai banyak terdapat mahasiswa asing dari Eropa, Asia dan Afrika. Saat saya diwisuda sebagai sarjana S1 misalnya, terlihat beberapa mahasiswa yang berasal dari Malaysia. Bahkan dalam tahun-tahun belakangan ini, saya dapat dengan mudah bertemu mahasiswa Afrika atau Eropa di lingkungan kampus S1 saya, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ADVERTISEMENT
Internasionalisasi, LIberalisasi dan Kualitas SDM
Persaingan bebas memang tidak dapat dihindari oleh setiap individu di Bumi yang sudah terlipat ini. Globalisasi ditolak tapi juga dinikmati oleh milyaran penduduk Bumi, baik generasi milenial maupun generasi-generasi sebelumnya. Oleh para pembencinya, globalisasi dianggap merusak kedaulatan negara dan menciptakan ketidakadilan. Namun globalisasi juga mempermudah seorang anak dari daerah terpencil di Afrika, Asia atau Pasifik, untuk dapat menjadi mahasiswa pascasarjana di sebuah kota pelajar modern di Eropa.
Teringat kuliah umum Hassan Wirajuda di kampus FISIP UIN Jakarta di akhir era Presiden SBY, terdapat informasi bahwa sebetulnya sumber daya manusia Indonesia memiliki kualitas yang setara dengan penduduk negara maju, dengan tingkat pendidikan yang sama. Melihat fakta ini, maka saya pun mulai berpikir kritis dan rasional dalam menilai internasionalisasi pendidikan tinggi ini. Apalagi fakta ini juga didukung oleh pemberitaan beberapa media massa nasional.
ADVERTISEMENT
Globalisasi memang tidak dapat dihindari sejak meletusnya revolusi industry pada abad ke-18 di Inggris dan kawasan Atlantik Utara. Perang Sipil di Amerika Serikat yang dimenangkan kaum abolisionis mempengaruhi gerakan anti perbudakan di seluruh penjuru dunia dalam jangka waktu delapan sampai sepuluh dekade berikutnya. Sejak revolusi industry itulah aksi-aksi kolonialisme semakin gencar dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa. Namun perlawanan dari bangsa-bangsa kulit berwarna pun semakin sulit dikendalikan, dan keduanya (kolonialisme dan revolusi kemerdekaan) adalah produk-produk globalisasi.
Banyak manusia menikmati globalisasi, namun juga menuduh globalisasi adalah upaya liberalisasi. Ada anggapan bahwa semakin terbukanya tiap sudut dunia akan membuat masyarakat pribumi menjadi terusir dari atau setidaknya menjadi babu di rumah sendiri. Perasaan terancam oleh kedatangan buruh migran, investasi asing dan bahkan dosen dan mahasiswa asing, telah menjadi menarik untuk dibahas.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya jika melihat Benua Eropa saat ini, sudah cukup banyak diaspora negara-negara Asia dan Afrika yang hidup dan berkarir disana. Bahkan dalam beberapa susunan kabinet di Inggris, Perancis dan Belanda, misalnya, dapat dengan mudah ditemukan menteri yang merupakan warga negara hasil naturalisasi. Sebagian masyarakat Eropa pun sebetulnya turut merasa terancam dengan fakta yang demikian itu. Mereka takut kehilangan pekerjaan dan penghasilan, tergantikan oleh tenaga asing yang berdatangan dari kawasan Global South atau dari dunia ketiga.
Pada kenyataannya, tenaga kerja (baik di sector formal maupun informal) dari kawasan Asia dan Afrika memang memiliki kualitas yang tidak kalah dari tenaga kerja asal Eropa dan Amerika. Fakta ini kemudian menjadi satu dasar bagi memotivasi angkatan muda Indonesia untuk dapat bersaing dengan masyarakat global. Inilah yang kemudian membuat sebagian penduduk asli di Eropa, Amerika, Australia dan Selandia Baru kemudian membuat aksi penolakan terhadap globalisasi dan kedatangan buruh migran yang “mengambil” pekerjaan mereka.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan Sosial di Indonesia dan Globalisasi
Kendati sumber daya manusia Indonesia memang terbukti tidak kalah dari sumber daya manusia di Eropa dan Amerika Utara, namun ketimpangan sosial menjadi kendala dalam proses lepas landas negara ini. Persoalan ketimpangan sosial ini agaknya kurang diperhatikan dalam persiapan Indonesia menuju masyarakat ekonomi global. Padahal proses pembentukan masyarakat global akan juga menguntungkan bangsa Indonesia, ketika bangsa ini benar-benar siap.
Internasionalisasi pendidikan tinggi adalah buah dari globalisasi, yang tidak akan berjalan dengan baik jika masyarakat kita timpang. Ambillah contoh gaji rata-rata dosen tidak tetap di Indonesia yang berkisar pada angka tiga sampai lima juta rupiah, sementara pemerintah berencana mendatangkan dosen asing dengan gaji maksimal sekitar 65 juta rupiah. Lantas apakah masalah yang sebenarnya? Sementara tersebar pesan WhatsApp dari Jenderal Moeldoko mengenai cara berpikir jernih bagi warga negara Indonesia, dalam menghadapi globalisasi, marilah kita tengok persoalan bangsa kita yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Pertama-tama pemerintah kita sudah sangat bersemangat untuk meningkatkan daya saing warga negara Indonesia di lingkup pergaulan dunia. Namun semangat yang diwujudkan dalam bentuk beasiswa, dimana mahasiswa yang menyelesaikan studinya di luar negeri harus pulang tanpa kejelasan karir di tanah air, tentu menjadi masalah tersendiri. Sementara nilai jual tenaga manusia di Eropa dan Amerika Utara merupakan yang tertinggi di dunia, sarjana lulusan luar negeri di Indonesia masih harus menerima gaji dengan besaran yang hanya cukup untuk kehidupannya sendiri (tanpa menghitung kebutuhan pasangan dan anak-anak).
Disamping itu, persoalan penciptaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga pendidik dengan kualifikasi strata dua dan strata tiga di Indonesia masih belum mencapai titik terang. Angka pengangguran di Indonesia sekarang masih belum cukup berkurang, kendati sector informal dan semi-formal seperti ojek online, pedagang kaki lima, unit-unit usaha mikro, kecil dan menengah, serta beberapa jenis kewirausahaan baru (sociopreneur dan writerpreneur) sudah mulai bergerak aktif.
ADVERTISEMENT
Besarnya ketimpangan sosial di tanah air ini sebetulnya juga terjadi dalam skala global. Dan justru beberapa negara yang dikatakan lebih maju dari Indonesia pun memiliki masalah yang serupa. Bahkan lebih parah. Namun sikap pemerintah yang terlalu ‘tenang’ dalam persoalan ini, membuat masyarakat mulai berteriak keras.
Bentuk ketimpangan dan ketidakadilan lainnya adalah ketika dosen-dosen yang berasal dari luar negeri tersebut direncanakan akan direkrut dengan cara yang berbeda, untuk memperoleh gaji yang berbeda pula. Wacana ini kemudian juga ditentang oleh Prof Ariel Heryanto dalam tulisannya di kumparan.com beberapa waktu lalu. Dia mengingatkan bahwa semua universitas bertaraf internasional di seluruh dunia merekrut dosen mereka dengan cara yang juga globalized. Universitas mengumumkan lowongan kerja dalam bahasa Inggris, atau dalam bahasa resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya (Perancis, Spanyol, Arab, Rusia dan Mandarin). Calon dosen yang melamar kemudian diseleksi oleh tim seleksi yang juga berkualitas internasional. Hal ini yang tidak terlihat dalam wacana pemerintah Indonesia untuk mendatangkan dosen asing ke tanah air. Sementara itu proses internasionalisasi pendidikan tinggi di tanah air harus terus berjalan.
ADVERTISEMENT
Mempersiapkan Indonesia
Internasionalisasi pendidikan tinggi memang merupakan keniscayaan, mengingat proses globalisasi yang berlangsung saat ini. Terlebih melihat fakta bahwa Indonesia masih membutuhkan tenaga dosen untuk program studi tertentu. Sementara ilmuwan Indonesia yang pulang dari belajar di luar negeri, juga kerap ditolak untuk mengajar dan menjadi peneliti di tanah air. Alasan klasiknya adalah bahwa bidang studi yang dipelajari sang sarjana lulusan kampus terbaik luar negeri tersebut merupakan bidang yang sangat langka dan bahkan belum tersedia di Indonesia.
Fakta bahwa masih terdapat sekitar dua ribu dosen Indonesia yang mengajar di luar negeri, bahkan kurang diperhatikan sebagai masalah apresiasi negara terhadap keahlian anak bangsa. Kerap keputusan pelajar Indonesia untuk kemudian tidak pulang dari studi di luar negeri dianggap sebagai bentuk penghianatan, sementara di tanah air sendiri, ilmu mereka kurang mendapat tempat di universitas yang dituju. Tidak tersedianya program studi yang mampu menampung seorang dosen lulusan luar negeri, dapat dengan mudah menjadi alasan bagi sebuah universitas untuk menolak lamaran kerja dari sarjana di bidang yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
Mau tidak mau tentunya Indonesia harus mempersiapkan dirinya dengan lebih baik. Program menuju world class university tidak bisa hanya menjadi slogan dan moto di kampus-kampus besar saja. Terlebih perwujudan kota-kota pelajar (selain Yogyakarta) juga sudah semakin mendesak. Setiap universitas di Indonesia yang akan mengglobal dan menginternasional tentu juga harus menunjukkan prinsip keadilan dan kesetaraan. Seperti dalam perekrutan tenaga pengajar dan administrasi yang melibatkan para ahli dari berbagai penjuru dunia.
Internasionalisasi juga berjalan both ways yang karena itu pengiriman pelajar Indonesia untuk belajar di luar negeri juga harus dibarengi dengan penerimaan mahasiswa asing di tanah air. Terlebih kita juga mulai sadar bahwa sarjana-sarjana lulusan luar negeri adalah juga ‘duta’ dari universitas mereka di luar negeri, saat mereka pulang dan mengajar atau menjadi peneliti di tanah air.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian pemerintah hendaknya sudah memiliki gambaran tentang bagaimana mewujudkan sebuah internasionalisasi pendidikan tinggi yang manusiawi dan beradab. Apalagi melihat fakta bahwa sumber daya manusia Indonesia sebetulnya tidak kalah dari sumber daya manusia di negara-negara maju. Bahkan menurut pengamatan saya, kebanyakan warga negara Indonesia di luar negeri bangun lebih pagi sebelum penduduk asli negara tempat tinggal mereka terbangun. Ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia sebetulnya lebih rajin dan juga memiliki etos kerja yang baik.
Adapun sebagian pendapat yang menolak internasionalisasi pendidikan tinggi tentu seharusnya dipertimbangkan kembali. Kita tidak bisa menolak internasionalisasi pendidikan tinggi, sebagaimana kita tidak bisa menolak globalisasi. Bagaimanapun kita sebagai satu bangsa menolak globalisasi, globalisasi tidak akan melepaskan kita. Dengan kemajuan teknologi yang luar biasa sekarang ini, pembicaraan seorang dosen dan seorang mahasiswa di ruang kelas di Ciputat, Tangerang Selatan, dapat diketahui oleh kolega dosen tersebut yang mungkin sedang mengambil program doktor di sebuah kampus di Eropa.
ADVERTISEMENT