Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Tanah Partikelir, Budak, dan Perikemanusiaan di Depok
11 Desember 2023 17:58 WIB
Tulisan dari Muhammad Imam Hibatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kehadiran bangsa Eropa di Nusantara secara intensif sejak abad ke-17 membawa banyak gagasan dan pemahaman baru akan jalannya kehidupan kolonial di dunia timur ini. Tidak terkecuali Belanda, melalui VOC/Perusahaan Dagang Hindia Timur yang hadir di Nusantara untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah dunia.
ADVERTISEMENT
VOC yang tidak berniat sungguh-sungguh untuk mendirikan koloni di Nusantara hanya memikirkan keuntungan dari perdagangan yang semua hasilnya dikirim kembali ke negeri induk mereka di Eropa.
Namun, terlepas dari semua praktik perdagangan orang Eropa khususnya Belanda yang cukup pragmatis, tetap ada beberapa individu dari Belanda yang melihat peluang besar akan berdirinya suatu koloni yang sejahtera dan makmur di dunia timur berdasarkan konsep kemanusiaan yang berkembang di Eropa pada saat itu.
Salah satu dari individu tersebut ialah Cornelis Chastelein (1657-1714). Chastelein adalah orang Belanda totok yang menjadi saudagar senior VOC sekaligus anggota kehormatan Raad van Indië (Dewan Hindia). Ia awalnya tinggal di Batavia sebelum menetap di Depok setelah pensiun.
Tanah Partikelir dan Pemerdekaan Budak
Depok yang menjadi sebuah kota satelit di selatan Jakarta tidak pernah lepas dari pengaruh Belanda bahkan ketika mereka sudah pergi pasca-kemerdekaan Indonesia. Hal itu karena sejarah Depok yang berkembang dan saling terhubung dengan Cornelis Chastelein.
ADVERTISEMENT
Dalam buku Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950 - 1990-an (2017), Tri Wahyuning M. Irsyam memaparkan bahwa Chastelein membeli tanah Depok di daerah yang pada saat itu dinamakan Ommelanden pada tahun 1696.
Pembelian tanah partikelir di Depok bersamaan dengan keputusannya untuk pensiun dari dinas di VOC karena menolak politik eksploitasi yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn (1691-1704). Chastelein berpendapat bahwa sebuah koloni akan makmur apabila penduduknya terutama penduduk lokal tidak ditindas.
Konsep koloni menurut Chastelein ini sangat menarik menurut penulis. Terlepas dari dirinya yang memiliki banyak budak yang dipekerjakan di tanahnya di Depok, namun hubungan antara Chastelein dengan budaknya tidak seperti hubungan antara majikan dan budak pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Hubungan yang dimaksud sejalan dengan pemaparan Jan-Karel Kwisthout dalam buku Jejak-Jejak Masa Lalu Depok: Warisan Cornelis Chastelein (1657-1714) kepada Para Budaknya yang Dibebaskan (2015). Ia memaparkan bahwa hubungan yang dimaksud lebih cocok disebut hubungan patron-client dimana Chastelein sebagai bapak/patron bagi para budak yang ia anggap seperti anak-anak sendiri/client.
Maka hubungan seperti itu mampu bertahan selama ratusan tahun sesudah wafatnya Cornelis Chastelein dan diwariskannya tanah di Depok kepada para budaknya yang kemudian dimerdekakan sepenuhnya.
Setelah wafatnya Chastelein pada tanggal 28 Juni 1714, pewarisan tanah di Depok kepada para mantan budak Chastelein dilakukan sesuai ketentuan dalam wasiatnya yang ditulis tidak lama sebelum Chastelein wafat.
Para budak sebanyak 120 orang tersebut dimerdekakan dan diberi hak milik atas tanah Depok secara bersama-sama. Dari 120 orang budak tersebut, banyak dari mereka yang tetap menganut Kristen dan membentuk 12 marga yakni Jonathans, Soedira, Bacas, Laurens, Leander, Loen, Isakh, Samuel, Jacob, Joseph, Tholense, dan Zadokh.
ADVERTISEMENT
Selain 12 marga tersebut, sisa budak merdeka yang tidak ingin menganut Kristen tetap diperbolehkan tinggal di Depok tapi tidak diperkenankan memperoleh hak milik atas tanah itu. Alhasil banyak dari mereka yang akhirnya menikah dengan penduduk kampung setempat dan menganut agama Islam.
Selama sisa abad ke-18 hingga paruh pertama abad ke-20, para keturunan budak Chastelein ini tetap mampu mempertahankan status unik mereka karena pemerintah kolonial Belanda yang juga mengakui status tersebut.
Bahkan status kepemilikan tanah secara kolektif di Depok segera disahkan secara hukum oleh pemerintah pusat. Asep Suryana dalam "Transformasi Sosial Pribumi Depok Tahun 1930-1960" terbitan Jurnal Masyarakat dan Budaya (2004) memaparkan bahwa pada tahun 1871, Depok secara memiliki pemerintahan lokal (Gemeente Bestuur) yang dipimpin oleh orang-orang dari kaum Depok.
ADVERTISEMENT
Status otonomi lokal itu juga membolehkan penduduk Bumiputra beragama Islam tetap tinggal di Depok dan mengelola lahan pertanian serta perkebunan berdasarkan sistem bagi hasil dengan kaum Depok. Status quo itu pun bertahan hingga kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Dekolonisasi dan Diskriminasi terhadap Kaum Depok
Gerakan sosial yang berdarah pernah terjadi di Depok pada awal Masa Revolusi Nasional Indonesia tahun 1945-1946. Gerakan sosial yang dikenal dengan sebutan Gedoran Depok itu terjadi pada bulan Oktober 1945.
Peristiwa memilukan itu menyasar komunitas Depok asli, orang Eropa, serta Indo-Eropa yang dianggap mendukung kembalinya Belanda untuk berkuasa di Indonesia. Rumah-rumah hingga gereja di Depok dijarah oleh massa yang membawa bambu runcing.
Memang tidak ada laporan saat itu yang menunjukkan ada korban jiwa dari kaum Depok, tapi tentu mereka merasakan trauma mendalam akibat peristiwa memilukan itu.
ADVERTISEMENT
Nasib kaum Depok setelah kemerdekaan Indonesia tidak jauh lebih baik dari sebelumnya. Dalam The Transformation of Cultural Values in Depok Society in West Java (2019) Fajar Muhammad Nugraha & Achmad Sunjayadi memaparkan bahwa sejak 31 Maret 1950 Depok resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia dalam provinsi Jawa Barat.
Perubahan status Depok dari tanah partikelir menjadi tanah negara merupakan bentuk intervensi negara terhadap kawasan yang sebelumnya milik komunal menjadi milik negara. Terlebih karena Depok terletak persis di selatan Jakarta yang menjadi ibu kota Republik Indonesia.
Selain kehilangan hak milik atas tanah mereka, hubungan sosial antara kaum Depok dengan penduduk kampung di wilayah sekitarnya juga menjadi diskriminatif.
Seperti yang dilansir dari situs BBC News Indonesia , kaum Depok juga mendapat sebutan yang bernada negatif dari saudara sebangsa sendiri. Sebutan "Belanda Depok" berawal dari penduduk kampung yang tinggal di beberapa wilayah seperti Bogor dan Bojonggede.
ADVERTISEMENT
Mereka menyebut kaum Depok dengan sebutan tersebut karena dulu banyak dari kaum Depok yang fasih berbahasa Belanda karena mengenyam pendidikan di Batavia (Jakarta). Lambat laun, sebutan Belanda Depok mengarah pada konotasi yang negatif dan menjadi istilah yang mengejek kaum Depok.
Tidak hanya dalam konteks interaksi sosial, dalam konteks ruang/lahan pun kaum Depok juga pernah mendapat diskriminasi.
Pada tahun 2014 pernah ada upaya mendirikan kembali tugu peringatan Cornelis Chastelein di depan gedung Rumah Sakit Harapan yang dahulu menjadi kantor pemerintah Depok.
Sebelumnya pernah dibangun tugu yang sama di lokasi yang sama pula pada tahun 1914, namun dihancurkan pada awal dekade 1950-an sebagai upaya "dekolonisasi" dari peninggalan Belanda di Indonesia.
Dalam artikel Alqiz Lukman yang berjudul "Disonansi Memori Monumen Kolonial: Studi Kasus Tugu Cornelis Chastelein, Depok, Jawa Barat" terbitan jurnal Amerta (2020), dijelaskan bahwa tugu itu dibangun sebagai penghormatan sekaligus tanda terima kasih dari kaum Depok akan rasa kemanusiaan dan kebaikan hati dari saudagar VOC tersebut.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, pembangunan tugu itu mendapat larangan dari Pemerintah Kota Depok. Pemerintah kota beralasan bahwa pembangunan tugu Cornelis Chastelein dikhawatirkan memicu kembali ingatan kelam akan penjajahan Belanda.
Padahal tugu Cornelis Chastelein didirikan sebagai pengingat akan jasanya sebagai seorang yang humanis dan kontra terhadap hal yang berbau eksploitasi apalagi menjajah.
Pelarangan itu pun menjadi wujud konkret dari upaya mengaburkan memori akan fakta sejarah yang tidak melulu bersifat hitam-putih.
Akibat lainnya dari pelarangan itu adalah diskriminasi yang makin parah terhadap kaum Depok yang justru dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok sendiri yang seharusnya berkewajiban menyejahterakan dan menjunjung tinggi hak penduduknya tanpa pandang bulu.