Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Warisan Sejarah Depok yang Mulai Tergerus Zaman
10 November 2021 19:15 WIB
Diperbarui 12 Februari 2022 13:05 WIB
Tulisan dari Muhammad Imam Hibatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Semua orang yang tinggal atau pernah berkunjung ke wilayah Jabodetabek tentu mengenal nama Depok. Kota yang terletak persis di selatan DKI Jakarta ini tentu memiliki kehidupan masyarakat yang kosmopolitan dan beragam seperti kota-kota lainnya yang membentuk wilayah metropolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi).
ADVERTISEMENT
Namun ada satu nama yang melekat kuat dengan kota yang juga dijuluki sebagai kota belimbing ini. Nama itu adalah Cornelis Chastelein.
Jauh sebelum menjadi kota yang ramai dan padat penduduk, Depok pada awalnya hanya sebuah tanah belantara yang dihuni beberapa penduduk pribumi. Berdasarkan sumber dari laman Historia.id , Cornelis Chastelein yang menjadi anggota Dewan Hindia VOC membeli tanah di Sringsing (sekarang bernama Srengseng Sawah) dan Depok pada akhir abad ke-17. Tidak lama kemudian ia memutuskan untuk pensiun dari dinas di VOC dan memilih untuk mengelola tanah miliknya di Sringsing dan Depok.
Tanah di Depok adalah tanah terluas yang dimiliki oleh Chastelein dan pengelolaannya dibantu oleh 150 budak dari Bali, Makassar, Malaka hingga Sri Lanka. Hubungan antara Cornelis Chastelein dengan budaknya tidak seperti hubungan antara majikan dan budak pada umumnya. Chastelein menerapkan hubungan yang humanis sehingga mampu meninggalkan kesan yang mendalam bagi para budaknya, bahkan setelah ia wafat.
ADVERTISEMENT
Cornelis Chastelein wafat pada tanggal 28 Juni 1714, namun sebelum meninggal ia sempat menuliskan wasiat yang ditujukan kepada para budaknya yang tinggal dan bekerja di Depok. Isi wasiat tersebut menegaskan bahwa selepas kepergiannya, Cornelis Chastelein memberikan tanah di Depok untuk kepemilikan bersama dan 150 budak tersebut untuk dimerdekakan baik yang Kristen maupun Muslim.
Para budak ini kemudian terbagi menjadi 12 marga yang diambil dari nama murid-murid Yesus Kristus, sementara yang Muslim lebih memilih untuk tinggal dan membaur di pemukiman masyarakat pribumi.
Para mantan budak tersebut masih tinggal di Depok pada masa sekarang terutama yang tinggal di Kecamatan Pancoran Mas. Mereka juga dikenal dengan sebutan Belanda Depok karena masih mampu berbicara dalam bahasa Belanda meskipun sebutan ini berkonotasi negatif akibat sentimen penduduk pribumi yang masih kuat dan menanggap orang-orang keturunan budak tersebut masih setia terhadap Belanda daripada Indonesia pada Masa Revolusi.
ADVERTISEMENT
Para keturunan budak Cornelis Chastelein juga mendirikan sebuah organisasi bernama Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) yang terletak di Jalan Pemuda No. 72 Kecamatan Pancoran Mas untuk tetap melestarikan nilai sejarah kota Depok yang mulai hilang karena ketidaktahuan warga Depok akan sejarah kota tempat mereka tinggal.
Sayang sekali bahwa di masa sekarang masih banyak warga Depok terutama para generasi mudanya yang belum mengetahui sejarah kotanya sendiri, bahkan tidak paham akan pentingnya berbagai lokasi di Depok yang bernilai sejarah tinggi seperti Jembatan Panus, Rumah Sakit Harapan Depok hingga kediaman mewah (Landhuis) yang pernah dihuni oleh istri dari Gubernur Jenderal VOC Petrus Albertus van der Parra.
Setidaknya sudah ada berbagai komunitas sejarah maupun pemerhati sejarah yang peduli akan sejarah Depok dan berniat untuk merawat serta melestarikannya agar generasi yang akan datang masih bisa menikmati pengetahuan sejarah yang makin pudar tersebut.
ADVERTISEMENT