Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Membentuk Peradilan Etik Indonesia dengan Memperluas Kewenangan Komisi Yudisial
4 Januari 2021 9:22 WIB
Tulisan dari Muhammad Iman Aprialdi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Puncak dari sistem etika berbangsa dan bernegara ialah Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber dari etika konstitusi (constitutional ethics) perlu diperkuat dengan institusi penegak kode etik, yakni melalui Komisi Yudisial. Mengingat kewenangan Komisi Yudisial yang telah diatur dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, "yaitu Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim", namun dalam hal ini, kewenangan Komisi Yudisial dapat diperluas menjadi dua bagian agar manfaatnya sungguh terasa dalam dinamika kehidupan bernegara. Pertama, menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku pejabat negara seperti Presiden, DPR, hakim dan lain-lain. Kedua, menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku pejabat profesi seperti Dokter, Advokat, Notaris dan lain-lain. Dengan demikian, Komisi Yudisial pun dapat menjadi lembaga tertinggi di bidang peradilan dan penegakan etika. Sehingga segala bentuk pelanggaran kode etik, baik yang dilakukan oleh pejabat negara maupun pejabat profesi dapat diproses secara hukum melalui Komisi Yudisial.
ADVERTISEMENT
Urgensi membentuk Peradilan Etik di Indonesia
Selama ini, hampir semua kasus dugaan pelanggaran etik di pelbagai lembaga-lembaga kenegaraan dan organisasi profesi, cenderung bersifat melindungi, tidak menegakkan kode etik dengan sungguh-sungguh. Misalnya, Majelis Kehormatan Dokter, yang cenderung lebih memilih untuk melindungi dan membela kepentingan para dokter itu sendiri dibandingkan memenuhi tuntutan dari pasiennya. Begitu juga halnya dengan advokat yang cenderung melindungi dan membela kepentingan dari para advokat dibandingkan dengan kliennya sendiri. Hal ini tentu saja mengakibatkan penegakan etika pun menjadi tidak efektif dan etika profesi pun tidak dapat tumbuh sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, tuntutan akan pelayanan profesional yang semakin baik dan kesadaran masyarakat akan hak-haknya tumbuh menjadi lebih kritis dan terbuka. Sehingga menyebabkan munculnya tuntutan melalui pendekatan kriminalisasi terhadap kasus-kasus malpraktikdalam pelayanan professional.
ADVERTISEMENT
Jadi kesimpulannya ialah membentuk peradilan etik merupakan hal yang wajib dengan catatan kewenangan dari Komisi Yudisial diperluas mandatnya terlebih dahulu dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Hal ini tentu saja dapat ditempuh melalui Amandemen kelima UUD 1945.