KDRT, Pola Asuh & Kesehatan Mental

Muhammad Iqbal PhD Psikolog
Seorang Psikolog Bekerja sebagai seorang konselor pernikahan dan Owner Rumah Konseling, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Periode 2016-2021.Saat Dosen Tetap Psikologi Universitas Paramadina. Ketua STIE Swadaya Jakarta
Konten dari Pengguna
12 Januari 2023 6:57 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Iqbal PhD Psikolog tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
By : Dr.Muhanmad Iqbal, Psikolog
Dosen Universitas Paramadina
Beberapa bulan belakangan kasus kekerasan dalam rumah tangga khususnya pada pasangan sering terjadi dan menyita perhatian masyarakat, apalagi beberapa kasus terjadi pada pasangan publik figur dan selebritis dimana perempuan (Istri) yang menjadi korban tentu saja menjadi topik perbincangan pembahasan di media sosial, karena mereka yang biasanya memamerkan kemesraan di media sosial berakhir di rumah sakit dan kantor polisi
ADVERTISEMENT
WHO dalam The UN Declaration on the Elimination of Violence against Women menyebut kasus ini sebagai kekerasan berbasis gender dimana penyalahgunaan kekuasaan oleh mayoritas laki-laki terhadap perempuan didalam sebuah hubungan atau sesudah perpisahan, kekerasan terjadi akibat relasi kuasa yang tidak setara
Walaupun dalam faktanya korbannya bukan hanya perempuan, dalam beberapa kasus juga didapati perempuan sebagai pelaku, namun kasus yang sering muncul kepermukaan menunjukkan korban kebanyakan adalah perempuan, karena ada stigma "malu" dihadapan publik ketika laki-laki melaporkan perempuan sebagai pelaku KDRT, apalagi kekerasan fisik
Kasus KDRT kepada pasangan suami-istri dimana istri menjadi korban sering sekali menimbulkan kegeraman dan kemarahan publik, karena korban sering kali takut melapor atau dengan mudahnya memaafkan pelaku, beberapa penyebabnya mengacu pada hasil survei kesetaran gender lembaga Indonesia Judicial Research Society tahun 2020 adalah adanya perasaan takut, ketergantungan finansial, perasaan bersalah dan malu, sistem keyakinan individual, harapan akan adanya perubahan atau masa depan anak
ADVERTISEMENT
Disamping itu lemahnya hukum menjadi penyebab keengganan korban melajutkan prosesnya, proses hukum yang lama dan berbelit-belit, oknum aparat penegak hukum yang tidak mendukung atau malah menyudutkan dan menyalahkan korban atau bahkan pelaku dianggap yang memiliki kuasa/jabatan
KDRT dampaknya bukanya hanya pada korban namun juga kepada anggota keluarga khususnya anak, bila seorang anak melihat kekerasan ibunya menjadi korban kekerasan, maka anak akan muncul kemarahan dan kebencian pada sosok Ayah, dan bila anak membenci Ayahnya akan menimbulkan trauma dan perilaku yang menyimpang. Tidak anak yang rela bila ibunya di sakiti, bahkan dalam beberapa kasus, saya dapati anak-anak yang ibunya menjadi korban KDRT mereka enggan menikah ataupun sulit percaya kepada orang lain
mereka tidak akan menghormati Ayahnya, akhirnya mereka memilih berkumpul bersama rekan sebaya, mencari kebebasan dan akhirnya terjebak pada perilaku kenakalan remaja seperti pergaulan bebas, narkoba, tawuran dan perbuatan melawan hukum lainnya.
ADVERTISEMENT
Kesehatan Mental Pelaku
Pelaku KDRT dalam beberapa kasus didapat memiliki masalah dengan kematangan emosi ataupun tidak mampu mengontrol diri, harga diri yang tinggi, memiliki masalah dengan komunikasi, pengaruh budaya dan pemahaman agama yang keliru, pengaruh alkohol, masalah seksualitas dan narkoba dimana hal-hal tersebut merujuk pada masalah kesehatan mental. Kesehatan mental dapat menjadi alasan utama seseorang melakukan KDRT
Sehat mental adalah kondisi ketika batin kita berada dalam keadaan tentram dan tenang sehingga memungkinkan kita untuk menikmati kehidupan sehari-hari, menghargai orang lain di sekitar dan memenuhi kebutuhan psikologis (Kemenkes, 2018) selain itu WHO mendefinisikan kesehatan mental adalah rasa sejahtera dimana individu menyadari potensinya sendiri, dapat mengatasi tekanan hidup yang normal, dapat bekerja secara produktif dan bermanfaat, serta mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya
ADVERTISEMENT
Kesehatan mental sangat erat kaitannya dengan kemampuan mengelola emosi, mengatasi masalah, memelihara hubungan dengan orang lain dan juga termasuk kemampuan untuk beradaptasi pada perubahan dan kemampuan mengelola tekanan. Orang yang memiliki mental yang sehat berdampak ke kesehatan fisiknya dan sebaliknya kesehatan fisik juga berdampak kepada kesehatan mentalnya
Secara umum, orang yang sehat mental adalah yang memiliki mood yang baik dan stabil, bisa tidur dengan baik, sabar, mudah berlapang dada, semangat dalam menjalankan aktivitas dan aktif dalam lingkungan sosial
Kesehatan Mental dan Pola Asuh
Kondisi kesehatan mental juga dipengaruhi oleh peran pola asuh, dalam penelitian yang dilakukan oleh (Johnson, 2006) mengatakan bahwa pola asuh orang tua seperti orang tua yang cuek/tidak perduli, perilaku orang tua yang tidak menyenangkan dalam mengasuh anak berperan pada potensi kemunculan masalah pada kesehatan mental pada individu ketika dewasa
ADVERTISEMENT
Pengasuhan yang bermasalah diantaranya posesif, kekerasan verbal, fisik, seksual, kurangnya peran ayah, pengabaian, hukuman yang menyebabkan trauma, membuat anak merasa bersalah agar menuruti aturan, aturan yang inkonsisten, bermusuhan dengan anak, marah yang tidak terkendali menyebabkan anak mengalami apa yang disebut dengan "toxic"
Dalam penelitian Sheidow (2014) yang dimuat dalam Journal of Children Family Study menyatakan bahwa kualitas hubungan keluarga, keterikatan antar keluarga dan cara pengasuhan, berperan penting dalam kesehatan psikologis setiap anggota keluarga
Keluarga yang intim dapat memperkuat kemampuan dalam mengatasi stres dan mengelola emosi positif. keterikatan emosional yang tinggi dapat menghindarkan depresi dan kecemasan pada saat individu menghadapi tekanan yang berat
Pengasuhan bukan hanya memastikan anak sehat, berkembang dengan baik dan berprestasi, tapi pastikan apa yang anda lakukan sesuai dengan apa yang dibutuhkan anak pada setiap tahap perkembangannya
ADVERTISEMENT
Bagaimana mencegah KDRT?
Untuk itu pola asuh orang tua harus menjadi perhatian kita agar tidak terjadi lagi kasus-kasus KDRT pada pasangan, penting edukasi tentang pengasuhan dan kesehatan mental untuk mencegah dan mengatasi KDRT
Pola asuh yang sehat dapat membuat anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang adapatif, ceria, optimis, produktif serta komunikatif sehingga mudah menyelesaikan berbagai persoalan hidup. kita harus memperkuat institusi keluarga sebagai sarana pembentukan karakter dan akhlak. Anak-anak sejak dini harus dibentuk dengan pemahaman agama yang baik, karakter yang kuat dan budi pekerti yang mulia, bagaimana saling berkasih sayang, saling menghargai, saling mendukug dan menyayangi pasangan. Pelajaran tersebut harus dimulai dari contoh orang tua di rumah bagaimana keluarga rukun, kompak, harmonis dan mengajarkan tentang lemah lembut, cinta kasih kepada pasangan
Dr. Muhammad Iqbal, Psikolog
.
ADVERTISEMENT
www.rumahkonseling.online
IG@muhammadiqbalpsy
Hp : 081218953316