Konten dari Pengguna

Fenomena Buzzer Politik dan Kebisingan Pertarungan Wacana di Media Sosial

Muhammad Iqbal Khatami
Founder Muda Bicara ID, Peneliti di Komite Independen Sadar Pemilu (KISP)
16 Juni 2020 14:09 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Iqbal Khatami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena buzzer (pendengung) politik kembali mencuat di media sosial beberapa hari lalu setelah seorang komedian Bintang Emon, mendapat serangan di media sosial setelah ia membuat video sindiran mengkritik tuntutan 1 Tahun penjara kepada pelaku kasus penyiram air keras ke Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan. Muncul banyak tweet dalam bentuk meme berisi keterangan bahwa Bintang menggunakan narkotika jenis sabu. Pengunggah meme tersebut merupakan akun-akun anonim dengan narasi yang sama. Hingga akhirnya banyak menuai respons beragam dari warganet.
ADVERTISEMENT
Fenomena Buzzer politik bukan hanya terjadi sekali ini, namun berulang kali fenomena buzzer ini muncul di dalam sosial media – paling sering adalah twitter. Buzzer muncul biasanya adalah ketika ada isu yang sedang berkembang, mereka mempublikasikan pesan dengan narasi yang sama atau dengan hastag yang seragam untuk di-trending-kan. Jika dilihat, tujuan dari pesan-pesan yang disampaikan para buzzer adalah untuk menggiring opini publik dari suatu isu tertentu.
Masyarakat pengguna sosial media pun banyak yang resah dengan keberadaan buzzer yang membuat riuh dan kerus ruang-ruang diskusi di sosial media. Karena pesan yang disampaikan buzzer mempunyai narasi yang berseberangan dengan opini secara umum masyarakat, tidak heran jika konten mereka menuai kontroversi. Karena buzzer menggunakan akun anonim, maka mereka dengan bebas menyebarkan konten apa pun, karena tidak mempunyai reputasi untuk dipertahankan.
ADVERTISEMENT
Fenomena buzzer di Indonesia terekam pada penelitian Universitas Oxford dengan judul The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Dari hasil penelitan Oxford, 87% negara menggunakan akun manusia, 80% akun bot, 11% akun cyborg, dan 7% menggunakan akun yang diretas. Di Indonesia sendiri, pasukan cyber secara umum menggunakan akun bot dan yang dikelola manusia. (Sumber: Katadata.co.id)
Pertarungan Wacana Kebijakan
Seiring perkembangan zaman, ruang daring (cyberspace) menjadi ruang publik baru bagi masyarakat untuk secara bebas mengutarakan pesan berupa ide, gagasan, kritik dan lain sebagainya yang kemudian terangkum menjadi opini publik.
Opini-opini yang diutarakan oleh masyarakat akan lebih mudah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dan kebijakan politik, mengingat hanya ada batasan tipis di ruang daring sehingga memudahkan masyarakat untuk mengutarakan sesuatu bahkan bisa langsung ke pemangku kebijakan yang bersangkutan. Aspirasi yang diutarakan besar kemungkinan akan direspon langsung oleh pemerintah sebagai pertimbangan pembuatan suatu kebijakan.
ADVERTISEMENT
Maka, tidak jarang ruang daring menjadi ruang publik yang sering digunakan untuk beradu gagasan dan bertarung wacana terkait kebijakan-kebijakan yang diwacanakan atau diputuskan oleh pemangku kebijakan. Hal ini bisa berdampak positif sebagai feedback untuk pemangku kebijakan, walaupun tidak jarang pula berpotensi besar menimbulkan polarisasi dan konflik secara horizontal.
Munculnya Fenomena Buzzer menjadi noise (gangguan suara) yang sangat membisingkan pertarungan wacana dan gagasan di ruang daring. Mereka membanjiri media sosial dengan menyebarkan propaganda dengan nada pro pemerintah, oposisi atau partai politik, menyerang kampanye pada saat kontestasi demokrasi, pengalihan isu, polarisasi di tengah masyarakat, dan menekan pihak yang berseberangan. Keberadaan buzzer tidak menjadi masalah ketika narasi dari konten yang mereka bawa valid dan berkualitas. Namun, noise terjadi akibat konten yang dinarasikan jauh dari kata berkualitas. Meski demikian, fenomena buzzer juga berpotensi menimbulkan perdebatan yang tak produktif dan pertarungan wacana yang tak sehat jika mereka menyebarkan narasi yang bersifat provokatif dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
ADVERTISEMENT
Kedewasaan Publik dan Kejelasan Regulasi
Upaya jangka panjang untuk melawan fenomena buzzer politik ini adalah dengan cara penumbuhan kedewasaan dan pencerdasan publik dalam bermedia. Buzzer akan efektif dalam bekerja ketika masyarakat memiliki literasi digital yang rendah. Maka dari itu, edukasi-edukasi secara jangka panjang diperlukan baik dari pemangku kebijakan ataupun dimulai dari diri kita sendiri agar terus bijak dalam menyebarkan konten di media sosial. Kita sebagai publik harus dituntut aktif bersuara untuk melawan narasi negatif yang disebarkan buzzer di media sosial.
Selain itu, sebelum berdampak terlalu jauh, Pemerintah harus memiliki andil dalam penertiban pasukan buzzer politik ini. Polarisasi yang terjadi akibat narasi keruh yang dibawa buzzer bisa menjadi bom waktu perpecahan di masyarakat. maka dari itu, perlu adanya regulasi khusus yang mengatur fenomena buzzer ini agar tidak lagi meresahkan. Pengaturan secara legal perlu dilakukan agar mengetahui buzzer yang tersebar tersebut bekerja untuk siapa, dari agency apa ia berasal dan transparansi pendanaannya, serta penindakan jika konten yang disampaikan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Regulasi yang akuntabel dan transparan ini akan berdampak baik ke depan bagi ketertiban ruang daring dari noise-noise yang berdampak negatif, juga terutama ke penegakkan demokrasi di Indonesia karena akan meminimkan potensi perpecahan saat kontestasi demokrasi.
ADVERTISEMENT