Konten dari Pengguna

Diskresi dan Favoritisme di Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Muhammad Iqbal Mutaqin
Pejabat Fungsional Pengelola Pengadaan Barang dan Jasa di Kementerian Keuangan. Berlatar belakang pendidikan sekolah kedinasan STAN, kemudian melanjutkan program magister di Program Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi UI dan Australian National University.
31 Agustus 2023 16:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Iqbal Mutaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi transaksi pengadaan barang dan jasa. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi transaksi pengadaan barang dan jasa. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, pemerintah pusat dan daerah memiliki anggaran belanja pengadaan barang dan jasa yang sangat besar. Proses pelaksanaan belanja ini salah satunya dilakukan melalui pihak penyedia barang/jasa. Pada tahun 2022 misalnya, pagu belanja melalui rekanan mencapai nilai Rp 794 triliun, atau sekitar 4,06% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dari total anggaran tersebut, 46% belanja dilaksanakan melalui cara non kompetisi. Artinya, pada belanja senilai 363 triliun, administrator pengadaan diberikan diskresi untuk memilih rekanan tanpa persaingan. Diskresi ini tentu bisa saja disalahgunakan untuk menguntungkan suatu pihak dengan cara favoritisme dalam memilih pelaku usaha sebagai rekanan.
Metode belanja pemerintah melalui penyedia. Sumber: RUP LKPP, diolah.
Favoritisme adalah isu yang seringkali muncul di dunia pengadaan barang/jasa pemerintah. Pada kasus korupsi e-katalog Pemerintah Kota Bandung dan Basarnas misalnya, di mana terjadi korupsi dengan modus mengutip setoran kepada penyedia yang dipilih pada platform e-katalog. Modus ini sebenarnya sudah pernah dipetakan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) di salah satu hasil studinya pada Februari 2023. Bahkan, ICW menjelaskan bahwa penyimpangan tersebut pangkalnya adalah pada proses penayangan produk di katalog elektronik pemerintah.
ADVERTISEMENT
Produk yang tayang di katalog elektronik pemerintah harganya belum final. Berdasarkan Keputusan Kepala LKPP Nomor 122 tahun 2022, penayangan sebuah produk dalam e-katalog tidak perlu proses verifikasi harga. Sehingga pada sebuah barang yang identik, bisa terdapat beragam variasi harga dari berbagai pelaku usaha.
Secara aturan, administrator pengadaan pemerintah tidak diwajibkan untuk memilih barang dengan harga termurah. Berdasarkan SE Direktur Pengembangan Sistem Katalog LKPP Nomor 27199/D.2.2/10/2022, pelaku pengadaan pemerintah bebas berbelanja dari penyedia mana saja, asal melakukan negosiasi harga atau mengaktifkan fitur mini kompetisi. Tentu saja, baik negosiasi harga maupun mini kompetisi terdapat banyak celah favoritisme, karena peserta yang bisa berpartisipasi adalah pelaku usaha yang dipilih secara subjektif dan tertutup oleh administrator pengadaan.
ADVERTISEMENT
Metode pengadaan non kompetisi bukan hanya melalui mekanisme e-katalog. Berdasarkan Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021, setidaknya masih ada dua lagi metode belanja secara non kompetisi, yaitu pengadaan langsung dan penunjukan langsung.
Bedanya dengan e-katalog, dua metode non kompetisi ini banyak batasannya. Pada pengadaan langsung, belanja dibatasi maksimal senilai dua ratus juta Rupiah. Sedangkan pada mekanisme penunjukan langsung, kriteria yang disyaratkan sangat ketat, di antaranya adalah karena telah mengalami kegagalan tender ulang.
Berbeda dengan mekanisme pengadaan langsung dan penunjukan langsung, metode e-katalog tidak mensyaratkan batasan nilai belanja dan kriteria. Asalkan barang atau jasa yang diperlukan suatu instansi sudah tayang pada platform katalog elektronik pemerintah, maka administrator pengadaan bebas memilih penyedia mana saja yang akan menjadi rekanannya.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, kebebasan yang diberikan kepada administrator pengadaan ada batasannya, yaitu prinsip dan etika pengadaan. Favoritisme jelas-jelas melanggar prinsip profesionalisme dan penghindaran penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan.
Kasus-kasus penyalahgunaan diskresi seperti di Pemerintah Kota Bandung dan Basarnas tentu saja merusak nilai integritas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Maka, pengawasan dalam belanja non kompetisi dan profesionalisme administrator pengadaan adalah hal yang harus senantiasa ditingkatkan.