Roti untuk Sarapan Haji: Kisah Adaptasi, Kontroversi, dan Pelajaran 2019

Muhammad Iqra' Fawwaaz
Seorang mahasiswa Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
4 Desember 2023 11:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Iqra' Fawwaaz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kegiatan ibadah haji yang dilakukan dalam satu tahun sekali kalender hijriah. Sumber : Unsplash oleh Ekrem Osmanuglu
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan ibadah haji yang dilakukan dalam satu tahun sekali kalender hijriah. Sumber : Unsplash oleh Ekrem Osmanuglu
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahun 2019 menorehkan sejarah baru dalam penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Menu sarapan yang biasa diisi nasi hangat, tiba-tiba berganti wujud menjadi roti. Keputusan Kementerian Agama (Kemenag) ini bagai angin puyuh yang mengoyak kebiasaan jamaah. Ada yang bersorak gembira, tak sedikit pula yang mengerutkan kening.
ADVERTISEMENT
Di balik kebijakan ini, tersimpan kisah adaptasi, kontroversi, dan pelajaran yang patut kita simak. Roti, makanan sederhana yang mendunia, dipilih bukan tanpa alasan.
Ramah Muslim, Sumber Energi, dan Logistik Bersahabat:
Bagi jamaah haji, roti bukanlah sekadar pengisi perut. Ia adalah simbol kepatuhan pada syariat. Bebas alkohol dan lemak babi, roti menjadi pilihan aman di negeri minoritas Muslim. Kandungan karbohidratnya yang tinggi pun tak bisa disepelekan. Jamaah haji membutuhkan energi berlimpah untuk beribadah dan beraktivitas seharian. Roti pun hadir sebagai sumber tenaga yang praktis dan mengenyangkan.
Selain itu, faktor logistik juga tak bisa diabaikan. Dibanding nasi, roti lebih tahan lama, tak mudah basi, dan praktis didistribusikan dalam jumlah besar. Hal ini tentu meringankan beban penyelenggara dalam menyediakan makanan bergizi di tengah keterbatasan.
Roti menjadi salah satu pilihan makanan pokok di beberapa bagian dunia. Sumber : Unsplash oleh Charles Chen
Adaptasi Rasa dan Aroma, Mengikis Kekhawatiran:
ADVERTISEMENT
Namun, kebijakan ini tak luput dari keraguan. Roti, bagi sebagian jamaah, terasa asing di lidah. Aromanya yang khas, terutama saat disimpan lama, juga bisa mengundang ketidaksukaan. Kemenag pun tak tinggal diam. Sosialisasi tentang manfaat dan cara mengonsumsi roti gencar dilakukan. Varian rasa dan aroma pun dihadirkan untuk menyesuaikan dengan selera jamaah yang beragam.
Hasilnya? Meski tak semulus harapan, perlahan penerimaan mulai tumbuh. Jamaah mulai bereksperimen, mengolah roti dengan kreativitas mereka. Ada yang menambahkan meses dan susu, ada pula yang membakarnya dengan bumbu sederhana. Roti tak lagi sekadar menu, ia menjelma menjadi jembatan adaptasi budaya dan kuliner.
Kontroversi yang Membuka Ruang Evaluasi:
Tentu saja, tak semua jamaah bisa beradaptasi. Keluhan pun bermunculan. Ada yang merasa roti kurang mengenyangkan, ada pula yang khawatir asupan gizi mereka terganggu. Kritik ini menjadi cermin bagi Kemenag untuk terus berbenah. Evaluasi pun dilakukan, tak hanya pada jenis roti, tapi juga pada porsinya dan penyajiannya.
Gambaran jamaah haji yang kelelahan. Source : NU Online
Pelajaran 2019: Menjembatani Kebiasaan dan Kebutuhan:
ADVERTISEMENT
Kisah roti tahun 2019 memberi kita pelajaran berharga. Bahwa dalam menyediakan kebutuhan jamaah, tak hanya gizi dan logistik yang perlu diperhatikan. Kebiasaan dan selera juga memegang peranan penting. Adaptasi dan edukasi menjadi kunci untuk menjembatani keduanya.
Roti mungkin tak akan sepenuhnya menggantikan nasi di hati jamaah haji Indonesia. Namun, ia telah mengajarkan kita tentang pentingnya fleksibilitas, inovasi, dan keterbukaan dalam menghadapi perubahan. Bahwa keberhasilan sebuah kebijakan tak hanya diukur dari keputusannya, tapi juga dari kesediaan kita untuk belajar dan beradaptasi.
Dan siapa tahu, di tahun-tahun mendatang, roti sarapan jamaah haji akan menjadi menu yang dinanti, bukan lagi ditanya. Sebuah kisah sukses adaptasi kuliner di tanah suci, bermula dari sepotong roti yang sederhana.
ADVERTISEMENT