Konten dari Pengguna

Ambiguitas Kedaruratan Covid-19 Ditinjau Secara De Facto dan De Jure

Muhammad Irfan Hilmy
Founder of LEFT INDONESIA
7 Mei 2020 11:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Irfan Hilmy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 2 Maret lalu Indonesia turut menjadi salah satu negara yang terpapar pandemi Covid-19. Keadaan tersebut mengakibatkan kepanikan yang cukup menganggu stabilitas sistem ekonomi bahkan pendidikan. Terjadi panic buying dalam beberapa waktu kebelakang akibat kepanikan yang berlebihan terkait hadirnya pandemi ini, akibatnya beberapa barang sempat mengalami kelangkaan pada masa awal pandemi ini diidentifikasi di Indonesia. Angka masyarakat yang terpapar pandemi Covid-19 pada 7 Mei saja sudah mencapai 12.438 kasus positif yang menunjukkan kenaikan angkat signifikan dalam waktu tidak sampai dua bulan.
ADVERTISEMENT
Covid-19 pun mengakibatkan menurunnya beberapa angka statistika ekonomi nasional yang turut dipengaruhi oleh keadaan ekonomi global. Ditandai dengan angka inflasi yang hanya mencapai 0,8% padahal telah memasuki masa ramadhan seperti ini. Tidak hanya itu Purchasing Manager’s Index manufaktur Indonesia pada April juga turut mengalami penurunan yang sangat signifikan di angka 27,5 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 43,5 persen (CNBC). Per tanggal 22 April lalu sebanyak 2 juta pekerja telah terkena PHK yang diakibatkan Covid-19, hal tersebut menunjukkan bahwa stabilitas ekonomi Indonesia saat ini memang sedang diuji dengan pandemi mengerikan ini. Tidak hanya itu per tanggal 7 April juga tercatat sekitar 1.226 hotel menutup usahanya akibat pandemi ini dan tentu belum lagi usaha mikro seperti UMKM yang harus tutup akibat pandemi ini (Kompas).
ADVERTISEMENT
Dengan angka pasien yang terpapar Covid-19 dan statistika ekonomi yang kian menurun drastis bisa jadi apabila keadaan ini terjadi terus menerus akan mengakibatkan lumpuhnya perekonomian dalam skala nasional bahkan global. World Bank pun memprediksi apabila pandemi ini terjadi berkepanjangan maka bisa saja great depression pada abad ke-20 akan terulang kembali bahkan dalam kondisi yang parah. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara de facto keadaan ekonomi bahkan dalam skala global sedang tidak baik-baik saja sehingga membutuhkan penanganan khusus untuk memulihkan kondisi ini.
Pemerintah pun menerapkan beberapa kebijakan sejak tanggal 13 Maret 2020 dengan mengeluarkan Keppres no 7/200 jo. 9/2020 tentang gugus tugas Covid-19, lalu pada 31 Maret mengeluarkan Keppres no 11/2020 tentang penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat Covid-19, disaat yang bersamaan pemerintah juga mengeluarkan PP mengenai PSBB No 21 Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 serta mengeluarkan Perppu no 1/2020 mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan. Namun yang perlu dicermati dalam kebijakan hukum yang dilakukan pemerintah adalah bahwa kondisi darurat secara de facto berbanding terbalik dengan kondisi secara tata kebijakan hukum (de jure) yang dikeluarkan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Apabila pemerintah berdalih bahwa secara de facto keadaan sekarang adalah termasuk keadaan darurat namun hal tersebut tidak tercermin secara de jure. Apabila menelaah semua kebijakan serta peraturan hukum yang dikeluarkan pemerintah sampai saat ini tidak menunjukkan pemerintah dalam keadaan rezim hukum yang darurat. Hal tersebut dapat ditelaah dalam poin mengingat yang dikeluarkan pada Perppu mengenai stabilitas sistem keuangan yang mengacu pada pasal 22 UUD NRI 1945 yang dalam paradigma rezim hukum dalam UUD diklasifikasikan bahwa pasal 22 merupakan poin mengingat Perppu yang dikeluarkan dalam rezim hukum normal selaras dengan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 dan berbeda dengan konsekuensi pasal 12 UUD NRI 1945 yang menyatakan keadaan rezim hukum darurat dengan konsekuensi bahwa negara dapat melakukan tindakan melanggar Hak Asasi Manusia yang bersifat derogable right.
ADVERTISEMENT
Menurut penulis hal tersebutlah yang mengakibatkan ambiguitas antara de facto dan de jure keadaan saat ini. Memang apabila ditelaah dalam pendekatan ekonomi dan sosial terjadi kedaruratan (de facto) namun tidak secara tata kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah (de jure) oleh karenanya terjadi ambiguitas keadaan yang saling bertentangan antara de facto dan de jure. Dalam putusan MK a quo telah ada kriteria untuk menetapkan keadaan kegentingan ihwal yang memaksa dan sama sekali tidak mengacu pada keadaan rezim hukum darurat namun lebih menekankan pada keadaan kekosongan hukum yang terjadi.
Ambiguitas antara de facto dan de jure ini yang kemudian menyebabkan pro kontra di kalangan ahli hukum dalam menanggapi keluarnya Perppu a quo yang dianggap berlebihan dan tidak sesuai dengan muatan yang seharusnya dimuat dalam Perppu yang mengacu pada Pasal 22 UUD NRI 1945. Apabila Perppu tersebut mengacu pada Pasal 22 UUD NRI 1945 maka tentu tidak boleh memberikan hak imunitas dan menangguhkan beberapa peraturan, dapat dibayangkan konsekuensi yang terjadi apabila Perppu tersebut ditetapkan sebagai UU oleh DPR pada masa sidangnya tentu akan mengacaukan sistem hukum di Indonesia karena pada dasarnya Pasal 22 mengacu pada rezim hukum normal. Maka pemberian hak imunitas dan hal-hal lain yang memungkinkan untuk mengurangi Hak Asasi Manusia (derogable right) dapat dilakukan dengan status Perppu yang mengacu pada Pasal 12 UUD NRI 1945 yaitu dalam keadaan rezim hukum darurat.
ADVERTISEMENT
Apabila membandingkan dengan Amerika Serikat sejak tahun 1967 ketika pertama kali dimasukkan muatan National Emergency hingga saat ini sudah ditetapkan sebanyak 61 kali National Emergency disana yang membuat pemerintah menjadi fleksibel dalam penanganan bencana tersebut. Keppres mengenai kedaruratan kesehatan pun mengacu pada UU kekarantinaan kesehatan yang tidak mengacu sama sekali pada Pasal 12 UUD NRI 1945 sehingga dalam hal ini tentu Keppres tentang kedaruratan kesehatan tidak mengacu sama sekali pada keadaan darurat. Sehingga dalam hal ini secara de jure negara tidak benar-benar dalam keadaan rezim hukum darurat.