Omnibus Law, Harapan nyata atau palsu?

Muhammad Irfan Hilmy
Founder of LEFT INDONESIA
Konten dari Pengguna
22 Januari 2020 18:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Irfan Hilmy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
                                                    Sumber: Kompas.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Kompas.com
ADVERTISEMENT
Terdapat beberapa karakteristik berbeda antara sistem hukum Civil Law dengan Common Law. Namun, karena kelenturan hukum saat ini banyak terjadi akulturasi sistem hukum antara kedua sistem hukum besar dunia. Tentu, hal tersebut merupakan proses dari perkembangan budaya pemikiran hukum positivistik yang sangat kaku dan bersifat statis dalam mengikuti perkembangan permasalahan masyarakat yang dinamis. Kecenderungan sifat statis dalam pemikiran hukum positivistik mengakibatkan alur administratif yang rumit dalam aspek keadilan dan pembentukan hukum yang bersifat solutif.
ADVERTISEMENT
Genealogi perkembangan hukum modern dilandasi dalam tradisi hukum yang berkembang di Negara Inggris yang mencirikan sistem hukum Common Law. Dalam perspektif Prof. Satjipto Rahardjo, bahwa perkembangan hukum dalam tradisi Common Law melangkah lebih maju daripada perkembangan hukum positivistik yang diterapkan oleh Prancis. Sistem hukum Common Law dianggap lebih dinamis dan dapat mengakomodasi kepentingan keadilan yang tumbuh berkembang dalam masyarakat.
Awamnya, sistem hukum Common Law banyak digunakan oleh negara – negara dalam bentuk federal yang mengakui adanya negara bagian. Sebagai contoh adalah Australia, Amerika dan Inggris. Adanya negara – negara bagian melahirkan perbedaan substansi produk hukum yang dihasilkan. Perbedaan substansi produk hukum tersebut tentu akan bermasalah apabila yang harus diatur adalah UU yang bersifat umum pada seluruh negara bagian namun pada setiap negara bagian tersebut memiliki otonomi untuk mengatur masalah tersebut. Maka untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dibutuhkan sebuah peraturan payung yang mengintegrasikan beberapa pengaturan kedalam sebuah peraturan. Konsep hukum tersebut awam dikenal dengan istilah Omnibus Law. Contoh pertama adalah Amerika Serikat yang memiliki peraturan payung, yaitu peraturan Transportation Equity Act For The 21st Century (TEA-21) yang merupakan UU pengganti dari Intermodal Surface Transportation Efficiency Act (ISTEA). Hal – hal yang diatur dalam TEA-21 ini mengenai jalan raya federal, keamanan jalan raya, transit dan program transportasi lain. Di dalam TEA-21 ini terdapat sekitar 9012 section yang terdiri 9 BAB. Peraturan ini sudah komprehensif dalam mengatur terkait transportasi jalan raya di Amerika secara lengkap sehingga tidak bergantung dengan peraturan lainnya.
Sumber: Jawapos.com
Amerika Serikat juga memiliki Omnibus Trade and Competitiveness Act of 1988 (OTCA). OTCA ini disusun dalam rangka untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan Amerika Serikat pada saat itu. OCTA tersusun atas 10 BAB, 44 sub bab dan 10013 pasal. UU ini dilahirkan sebagai otoritas untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan timbal balik untuk melakukan revisi secara luas dari UU perdagangan, penyesuaian bantuan, dorongan ekspor, harmonisasi tarif, kebijakan perdagangan internasional, pertanian, dan telekomunikasi, perdagangan teknologi internasional, kebijakan daya asing, UU praktik korupsi asing, pengadaan pemerintah, kebijakan paten, Sematech, dan defisit anggaran. Oleh karena disusunnya OTCA maka semua aturan tersebut berada di dalam satu payung.
ADVERTISEMENT
Di Australia ada yang disebut dengan Civil Law and Justice Act 2015. UU tersebut mengamandemen UU banding administratif Tribunal 1975, UU kebangkrutan 1966, Evidence Act 1995, Pengadilan Sirkuit Federal Australia, Federal Court of Australia Act 1976 dan UU Arbitrase Internasional 1974. UU ini jug akan membuat sejumlah perubahan konsekuensial. Efek gabungan dari perubahan ini akan meningkatkan efisiensi dan operasi sistem peradilan yang dikelola oleh jaksa agung. Contoh lain adalah negara Irlandia yang membuat satu UU Omnibus Law untuk menghapus 3225 UU. Sebagai bahan percontohan lainnya, Negara tetangga yang memiliki bentuk negara kesatuan adalah Philipina yang telah menerbitkan The Omnibus Investment Code. Hal tersebut memberikan penegasan bahwa konsep Omnibus Law tidak hanya dilakukan oleh negara federal melainkan negara kesatuan pula.
ADVERTISEMENT
Tentu, penggunaan konsep Omnibus Law dalam sistem hukum Common Law memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk mengatasi konflik peraturan perundang – undangan secara cepat, efektif, dan efisien. Kedua, menyeragamkan kebijakan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Ketiga, pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif. Keempat, mampu memutus rantai birokrasi. Kelima, meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi. Keenam, adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.
Efektifitas dan efisiensi menjadi alasan utama terkait penggunaan konsep Omnibus Law di dalam sistem hukum Common Law. Walaupun begitu dalam sistem hukum Common Law memang dikenal konsep tersebut karena adanya kekuasaan otonomi atas negara bagian untuk membuat hukum. Sehingga dibutuhkan solusi atas perbedaan substansi hukum yang berimplikasi secara umum pada sektor – sektor yang berpengaruh pada hajat hidup rakyat, seperti ekonomi. Namun, konsep Omnibus Law memang hanya dikenal dalam sistem Common Law yang memiliki karakteristik hukum yang dinamis daripada sistem Civil Law.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya sistem Civil Law tidak menggunakan konsep Omnibus Law untuk mengakomodasi berbagai pengaturan dalam sebuah peraturan. Dengan hukum yang bersifat rigid dan statis serta terbentuk secara terpusat maka konsep harmonisasi hukum dapat dilaksanakan tanpa menggunakan konsep Omnibus Law tersebut. Kondisi tersebut tentu berbeda dengan yang terjadi pada negara dengan sistem hukum Common Law yang memiliki hukum yang sangat dinamis dengan otonomi kepada pembentuk hukum dalam negara – negara bagian.
Apabila menelaah kondisi objektif yang terjadi di Indonesia, ada sekitar 42 ribu peraturan yang mencakup UU hingga peraturan daerah yang dianggap Presiden Jokowi menghambat dalam proses pengambilan keputusan. Tentu hal tersebut memperlihatkan bahwa dengan banyaknya peraturan tersebut berimplikasi terhadap kurangnya efisiensi dan efektifitas secara administratif pemerintah dalam mengambil keputusan. Terhambatnya pengambilan keputusan adalah karena peraturan tersebut saling tumpang tindih, oleh karenanya menurut Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bidang Hubungan Kelembagaan, Diani Sadiawati, pemerintah sedang berusaha untuk menghapus separuh dari 42 ribu peraturan tersebut hingga 2025.
ADVERTISEMENT
Jumlah tersebut tentu bukanlah jumlah yang sedikit, tumpang tindih tersebut merupakan dampak dari adanya penyusunan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang dikeluarkan dengan instrumen Peraturan Menteri sesuai dengan PP No 38 Tahun 2007. Namun sebenarnya instrumen tersebut sudah beralih menjadi kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini Presiden melalui UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga hal tersebut menjadikan NSPK satu pintu melalui pemerintah pusat dalam hal ini Presiden tanpa adanya ketidaksesuaian tafsir atau tujuan antar kementerian yang mengeluarkan Peraturan Menteri untuk mengeluarkan NSPK sebelumnya. Dengan adanya instrumen NSPK yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Presiden tentu akan mengurangi perkembangan disharmonisasi UU yang dihasilkan. Dalam arti lain, Omnibus Law bukanlah satu – satunya cara dalam mengurangi disharmonisasi antar UU, terutama dalam sistem Civil Law yang statis tentu hanya perlu ditetapkan mekanisme pembentukan hukum agar tidak terjadi disharmonisasi tersebut. Dalam arti lain, bahwa Civil Law tidak perlu memakai konsep Omnibus Law untuk menyatukan substansi hukum dari negara – negara bagian, melainkan cukup memberikan mekanisme rigid untuk menghindari disharmonisasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Apabila menelaah sistem Civil Law yang diterapkan oleh Indonesia, tentu tidak mengenal adanya istilah peraturan payung karena konsekuensi dari hal tersebut adalah kedudukan hierarkis UU tentu akan berbeda. Hal tersebut dapat dilihat dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan, bahwa Indonesia hanya mengenal UU tanpa peraturan payung yang apabila ditelaah dalam sistem hukum, peraturan payung memiliki hierarkis setingkat lebih tinggi daripada UU. Sehingga pemberlakukan Omnibus Law yang dijadikan sebagai peraturan payung di negara Common Law tidak akan berkonsekuensi hukum apapun. Dengan kata lain, Omnibus Law tersebut akan berlaku dan berkonsekuensi sama dengan UU.
Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan Indonesia akan mengadopsi konsep Omnibus Law dalam sistem hukumnya dengan alasan harmonisasi maupun efektifitas serta efisiensi hukum. Hemat penulis, Sistem Civil Law khususnya Indonesia tidak membutuhkan seutuhnya konsep Omnibus Law untuk melakukan harmonisasi maupun efektifitas dan efisiensi hukum melainkan perlu adanya pembenahan peraturan mengenai pembentukan peraturan hukum.
ADVERTISEMENT