Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
PENGAKUAN HAK TERHADAP KELOMPOK LGBT DALAM PARADIGMA HAM DI INDONESIA
10 Maret 2020 20:24 WIB
Tulisan dari Muhammad Irfan Hilmy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam Pasal 1 UU No 12 Tahun 2006 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 4 kemudian dijelaskan yang dimaksud sebagai Warga Negara Indonesia adalah orang-orang yang termasuk dalam salah satu klasifikasi huruf a – m. Apabila dicermati maka rumusan pasal 4 mengenai orang-orang yang termasuk Warga Negara Indonesia tidak menyinggung sedikit pun mengenai warna kulit bahkan orientasi seksual. Sehingga berdasarkan rumusan tersebut setiap orang yang memenuhi klasifikasi merupakan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak yang sama dihadapan hukum (equality before the law).
ADVERTISEMENT
Dengan melakukan kajian ontologis terhadap asas kesamaan dihadapan hukum maka aspek tersebut dapat diperluas dalam mendapatkan kesamaan perlakuan oleh negara tanpa diskriminasi dan intimidasi. Hal itu didasari bahwa aspek hukum menyangkut segala sesuatu terkait penjaminan pelaksanaan hak maupun kewajiban warga negara yang dijamin oleh pemerintah sehingga in casu pemerintah pun harus menyelenggarakan hukum dengan seadil-adilnya tanpa merujuk pada suku, ras, agama, orientasi seksual, kulit dan segala sesuatu yang berpotensi melahirkan produk hukum yang nihil rasa keadilan karena tendensi terhadap suatu golongan.
Salah satu yang menjadi konsep dasar terkait pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah penghapusan segala bentuk diskriminasi dan perlakuan yang dapat diduga akan menghilangkan kenyamanan serta ketertiban dalam masyarakat termasuk pula bentuk-bentuk yang mengistimewakan suatu kelompok sehingga lahir kelompok yang memiliki superioritas terhadap kelompok lainnya. Selaras dalam ungkapan Peter Berger dalam buku yang berjudul Piramida Kurban Manusia yang menjelaskan bahwa HAM lahir sebagai reaksi umat manusia atas sejarah umat manusia bersama. Didasari pada sejarah dan lahirnya kesadaran umat manusia terkait perlunya konseptualisasi hak maka setelahnya dikonstruksikan secara bersama mengenai HAM melalui UDHR di tahun 1948 mengenai pengakuan terhadap hak yang dimiliki oleh setiap manusia. Melalui proses identifikasi aliran hak asasi di Dunia maka dapat diklasifikasikan bahwa yang dimaksud terkait HAM dalam UDHR menganut aliran universalitas yang tidak membatasi pemberlakuan HAM secara tegas dan secara historis aliran tersebut dipengaruhi oleh teori hak alamiah yang dimiliki oleh manusia.
ADVERTISEMENT
Negara-negara yang cenderung beraliran universalitas dapat diidentifikasi dengan melihat hubungan negara dengan warga negaranya. Biasanya paham ini digunakan oleh negara yang menempatkan diri sebagai penjaga malam (Nachwachterstaat) yang membatasi badan negara hanya pada wilayah publik tanpa mengintervensi wilayah privat yang dimiliki oleh setiap warga negara.
Aliran universalitas kemudian dikritik oleh Johan Gottfried Von Herder pada abad ke-18 mengklaim bahwa tiap-tiap bangsa memiliki keunikan sendiri-sendiri yang mengakibatkan nilai universal dalam HAM adalah suatu kebohongan, yang ada hanyalah bersifat kewilayahan dan ketaksengajaan. Pandangan Gottfried tersebut mengisyaratkan budaya menjadi nilai etis tertinggi untuk dipatuhi sehingga mendegradasi HAM sebagai nilai etis yang harusnya dipatuhi oleh semua orang. Beranjak dari pemikiran tersebut maka pelaksanaan HAM harus tunduk pada budaya yang hidup dalam masyarakat. Pemikiran tersebut yang mencirikan pandangan aliran cultural relativism atau partikular relativism.
ADVERTISEMENT
Gagasan bahwa HAM terikat dengan konteks budaya diusung oleh negara-negara berkembang dan negara-negara Islam yang mengintegrasikan nilai kebudayaan dengan kehidupan. Gagasan ini mengemuka pada tahun 1990-an menjelang Konferensi Dunia HAM di Wina yang disuarakan oleh para pemimpin dan cendikiawan negara-negara tersebut. Beberapa pemimpin negara yang mewakili negaranya maupun tingkat kawasan saling menyampaikan prospek nilai-nilai HAM yang dapat tumbuh berkembang di negaranya maupun kawasan wilayah masing-masing. Misalnya saja, pada negara-negara di kawasan Lembah Pasifik Barat yang mengklaim bahwa nilai-nilai Asia yang mengakui budaya lokal sangat layak untuk membangun HAM di negara maupun kawasan mereka. Pada tahun 1993 di Wina, atas desakan negara-negara berkembang akhirnya disepakati adanya kelonggaran tertentu yang diberikan PBB dalam pelaksanaan HAM tanpa mengurangi tugas semua negara dalam memajukan HAM.
ADVERTISEMENT
Di ASEAN melalui bangkok declaration disepakati bahwa setiap negara di kawasan ASEAN memiliki kewajiban dasar untuk memenuhi setiap hak yang dimiliki oleh warga negaranya. Didalam deklarasi tersebut pula bahwa diakui adanya sifat universal dari HAM namun haruslah dipahami dengan memperhatikan pentingnya kekhasan regional dan nasional serta beragam latar belakang historis, budaya dan keagamaan. Disadari bahwa konsep universalitas HAM kurang sesuai apabila diterapkan begitu saja di negara-negara timur karena perbedaan budaya dan paham teologis yang berkembang dalam masyarakat timur.
Melihat perspektif HAM yang diterapkan di Indonesia maka berdasarkan Pasal 1 UU 39 Tahun 1999 bahwa diakui manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya. Subjek manusia sebagai makhluk Tuhan YME pada hakikatnya mengakui bahwa manusia dibatasi oleh nilai-nilai Ketuhanan dan harus tunduk pada nilai-nilai Ketuhanan. In casu, melihat rumusan pasal tersebut dapat diartikan bahwa HAM di Indonesia beraliran partikular relativism. Pembatasan juga dapat dilihat dalam Pasal 28J ayat (2) dan dalam Pasal 73 UU a quo dijelaskan bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang. Dalam paradigma pembatasan dapat diperluas bahwa undang-undang terbentuk bersama dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi nilai religius dan budaya yang hidup dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun dalam kenyataan politik di daerah maupun nasional bahwa nilai-nilai religius dan budaya kerap kali dijadikan ajang politisasi untuk menaikkan elektabilitas. Terkait hal tersebut Komnas Perempuan mencatat terdapat lebih dari 421 regulasi yang dianggap diskriminatif seperti larangan bagi waria bekerja di salon. Regulasi tersebut tentu sangat merugikan kaum yang dianggap minoritas yang patut diduga untuk meningkatkan elektabilitas politik seorang kepala daerah.
Dewasa ini, muncul banyak kelompok rentan diskriminasi yang lahir dari perbedaan orientasi pandangan umum. Salah satunya adalah lahir dari orientasi seksual yang berbeda dengan kenyataan yang dianggap umum oleh masyarakat. Orientasi seksual yang dimaksud dikenal dengan istilah LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). Sebagaimana terjadi di berbagai belahan dunia lain, sebagian besar pemuka-pemuka agama masih beranggapan bahwa perbedaan karena SOGIE (Sexual Orientation Jender Identity and Expression) dianggap sebagai praktik penyimpangan.
ADVERTISEMENT
Menurut Prinsip-Prinsip Yogyakarta, LGBT adalah salah satu kelompok rentan yang dilindungi karena sebagian besar mereka belum dapat menikmati hak-haknya sebagai warga negara. Intoleransi kerap terjadi karena kelompok LGBT dianggap memiliki aktivitas amoral dan merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Apalagi menurut topikmalaysia.com jumlah populasi LGBT di Indonesia adalah ke-5 terbesar di Dunia setelah China, India, Eropa dan Amerika. Di Indonesia tidak semua kelompok menentang LGBT, diantaranya banyak yang menyatakan mendukung pemenuhan hak asasi kepada kelompok LGBT.
Pada tahun 2011, Dewan HAM PBB telah mengeluarkan resolusi pertama tentang pengakuan atas hak-hak LGBT, yang diikuti dengan laporan dari Komisi HAM PBB yang mendokumentasikan pelanggaran hak-hak dari orang-orang LGBT, termasuk kejahatan kebencian, kriminalisasi homoseksualitas dan diskriminasi. Hal tersebut kemudian menjadi resolusi pertama PBB yang secara spesifik mengangkat isu pelanggaran HAM berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Namun pada hakikatnya resolusi hanya memuat terkait sanksi moral sehingga dalam praktiknya sering kali diabaikan.
ADVERTISEMENT
Menjadi permasalahan mendasar adalah apakah dalam kerangka hukum nasional dapat mengakomodasi hak-hak LGBT padahal HAM di Indonesia melalui UU 39 Tahun 1999 beraliran partikular relativism. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu jawaban yang komprehensif dengan melihat beberapa aspek yang berbeda.
Pertama, apabila dikaji melalui aspek kewarganegaraan maka pada dasarnya orang-orang yang berorientasi seksual LGBT merupakan pula warga negara yang harus dipenuhi hak-haknya oleh negara sesuai dengan pengertian warga negara pada UU a quo yang tidak menyinggung terkait orientasi seksual. Orang-orang dengan orientasi seksual tersebut tidak boleh diperlakukan berbeda dibandingkan dengan warga negara lainnya yang memiliki orientasi seksual “umum”. Orang-orang LGBT juga berhak untuk mendirikan komunitas, LSM atau lembaga sosial, selama hal tersebut tidak mengganggu ketertiban masyarakat dan sesuai dengan UU yang berlaku. Pada dasarnya mereka juga individu yang diakui statusnya sebagai warga negara ketika telah memenuhi klasifikasi UU a quo. Sehingga negara memiliki kewajiban untuk kemudian melindungi hak-hak orang-orang LGBT sebagai warga negara.
ADVERTISEMENT
Kedua, apabila dikaji melalui aspek sosio-kultural maka Indonesia sebagai negara yang mengakui aspek Ketuhanan dan budaya yang berkembang pada masyarakat memiliki batasan-batasan sosiologis terhadap suatu pola perilaku yang berkembang dalam masyarakat tertentu. Terkait pembatasan dalam UUD NRI 1945 Pasal 28J ayat (2) dijelaskan bahwa hanya dapat dibatasi oleh undang-undang yang sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Memang apabila dikaji melalui aspek sosio-kultural maka kebolehan terhadap praktik LGBT bergantung pada penerimaan masyarakat terhadap hal tersebut. Bilamana terjadi penolakan maka aktivitas LGBT tidak boleh dilaksanakan karena dianggap menganggu ketertiban masyarakat.
Ketiga, apabila dikaji melalui aspek ketatanegaraan bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang dijalankan berdasarkan norma hukum tertulis maupun tidak tertulis selama masih hidup dalam masyarakat. Paradigma Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state) dipahami sebagai negara yang menjamin kesejahteraan rakyatnya. Konsep ini merupakan perkembangan dari konsep negara hukum formal klasik yaitu nachtwacterstaat yang memiliki peran terbatas terhadap rakyatnya. Namun tidak dapat dipahami pula bahwa konsep negara kesejahteraan memberikan kebebasan kepada pemerintah untuk mengintervensi ranah privat sehingga dalam paradigma ini negara hanya masuk dalam ranah privat untuk menjamin upaya-upaya untuk membangun kesejahteraan yang ada di masyarakatnya. Tentu melalui argumentasi seperti itu maka LGBT dapat dilakukan secara bebas dalam ranah privat seseorang dan seperti hal-hal diatas bahwa dibatasi dalam ranah publik terkait dengan ketertiban umum yang ada di masyarakat. Konsep ini memisahkan secara tegas negara dalam ranah publik dan privat yang tidak dapat dicampuradukkan antara keduanya.
ADVERTISEMENT
Keempat, apabila dikaji melalui aspek yuridis maka mengacu pada UUD NRI 1945 dan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM bahwa orang-orang LGBT tidak dapat secara bebas untuk melakukan aktivitas LGBT karena dibatasi dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
In casu, paradigma HAM di Indonesia masih mengakui adanya batasan-batasan terkait LGBT sehingga apabila ditinjau dari keempat aspek diatas pada akhirnya akan membatasi hak-hak seorang warga negara dengan mempertimbangkan ketertiban umum, moral, nilai-nilai agama yang ada di masyarakat. Selama hal tersebut dilakukan dalam ranah privat, sekiranya negara tidak dapat mengintervensi berkaitan penghormatan HAM seseorang secara privasi. Dalam tinjauan hukum publik, negara memang dapat saja masuk untuk mengintervensi sesuai dengan ketentuan UU yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Mereka masih sering mendapatkan perlakuan diskriminatif dari masyarakat dan perlakuan yang berbeda oleh negara. Maka hal utama yang harus diperjuangkan mengenai isu diskriminasi dan intimidasi terhadap LGBT adalah terhadap haknya sebagai Warga Negara Indonesia yang harus diperlakukan sama sebagaimana mestinya karena setiap warga negara berhak atas itu semua.