Warung Kopi dan Diskriminasi

irfannk
Guru di pesantren Darunnajah Jakarta dan dosen di Stai Darunnajah Jakarta dan Bogor, lulusan KMI Gontor 2004, ISID Gontor 2008, UNIDA Gontor 2016, USIM Malaysia
Konten dari Pengguna
4 Juni 2020 23:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari irfannk tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menikmati kopi Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menikmati kopi Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kehidupan dunia saat ini sedikit demi sedikit telah tergantikan dengan beragam aplikasi dan media. Termasuk dalam kehidupan sosial, pertemanan dan pertemuan pada masa ini banyak dilakukan di dunia maya. Beragam istilah muncul menggantikan istilah-istilah lama, sebagai contoh dulu dikenal istilah citizen yang menunjukkan arti dari penduduk kota, wargakota, warganegara, atau penghuni kota.
ADVERTISEMENT
Namun dengan berkembangnya internet kepopuleran istilah tersebut mulai tergeser dengan kata netizen atau warganet sebuah lakuran, kata campuran dari kata warga (citizen) dan Internet yang artinya "warga internet" (citizen of the net). Kata tersebut menyebut seseorang yang aktif terlibat dalam komunitas maya atau internet pada umumnya.
Gun gun Heryanto menjelaskan bahwa istilah netizen sudah cukup lama menjadi kata yang dipahami oleh masyarakat terutama pengguna internet. Secara konseptual, istilah netizen bisa kita temukan dalam tulisan akademisi dari Columbia University, Michael Hauben, yang mendefinisikannya sebagai: orang atau warga internet (a ner citizen) yang terkoneksi secara global. Secara fisik hidup di suatu negara tetapi satu sama lain terhubung melalui jejaring internet. Bagi Hauben inilah tatanan dunia baru yang menghubungkan manusia baik secara pribadi maupun kolektif, pada saat ini semua orang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pengatan mereka secara luas.
ADVERTISEMENT
Perkembangan dunia netizen pada saat ini persis seperti bayangan salah satu penggagas utamanya yaitu J.C.R Licklider yang menginisiasi program the advanced Research Projects Agency Network (ARPARNET) yang berada di bawah Kementerian Pertahanan Amerika. Program ini bertujuan untuk menyusun proyek universal dan sebagai laboratorium penelitian di Amerika. Karena jasanya ini, Licklider diberi julukan nabinya internet (a prophet of the net).
Dengan istilah netizen ini, ungkapan “dunia tak seluas daun kelor” yaitu daun tumbuhan yang luasnya tidak lebar dari telapak tangan yang mengisyaratkan bahwa dunia itu luas sekali, perlu dikaji ulang. Luasnya dunia juga sering dipertontonkan dalam dialog film-film koboi Amerika seperti Wild West, yang menggambarkan Amerika di abad ke-17 an, tempat di mana orang begitu mudah meninggal dan dengan cara yang mengejutkan. Salah seorang koboi berkata “di tempat mu matahari terbit tapi di sini matahari terbenam”.
ADVERTISEMENT
Menurut Roger Ebert, matahari terbenam di awal film adalah simbol berakhirnya sebuah era. Barat dalam film koboi sering digambarkan dengan tanah tak bertuan, hutan liar yang penuh kekerasan. Sam B. Girgus dalam buku Clint Eastwood's America menuliskan “Selama lebih dari seratus tahun sejarah film, para sutradara sibuk mengajari penonton tentang hidup, cinta, masyarakat, dan kompleksitas pengalaman,” namun ternyata slogan dan usaha tersebut masih menjadi sebuah halusinasi.
Menurut Imam Syamsi Ali tokoh muslim paling berpengaruh di New York versi New York magazine, slogan dan usaha yang dilakukan oleh Amerika tersebut, salah satunya bertujuan untuk menutupi sejarah gelap negara ini, seperti Permasalahan ras (rasisme), ketidakadilan (injustice) dan perlakuan diskriminatif (discrimination) terhadap minoritas. Pada minggu ini 30 kota di 50 negara bagian terjadi kekisruhan-kekisruhan, bahkan kerusuhan, kekerasan dan penjarahan. Kejadian ini dipicu oleh kematian seorang warga hitam (Afro) bernama George Floyd di kota Minneapolis di negara bagian Minnesota oleh aparat Kepolisian di kota itu. Bagi Syamsi kejadian ini ibarat kobaran bara api dalam sekam yang telah lama tersembunyi oleh kepura-puraan di Amerika.
ADVERTISEMENT
Syamsi Ali berpendapat bahwa perilaku rasis sebagian orang di negara itu sebagai ‘dosa asal’. Sebagaimana yang dijelaskan dalam sejarah, ketika Christopher Columbus menemukan salah satu pulau bagian dari Amerika, dia bertemu dengan penduduk asli yang dia sebut sebagai bangsa Indian, karena dia bermaksud untuk berlayar ke India, tapi tersesat di benua tesebut. Ya, bangsa Indian merupakan penduduk asli benua Amerika, benua yang nama diambil dari penjelajah Italia Amerigo Vespucci yang kemudian menjadi jajahan bangsa Eropa.
Terlepas dari kesalahan penamaan suku tersebut, nasib dari bangsa ini sangatlah tragis, menurut salah seorang kolumnis dengan nama pena Giens, mengatakan bahwa suku Indian merupakan bangsa yang paling terzalimi. Baginya bangsa yang paling terzalimi adalah bangsa yang karakternya telah "terbunuh" secara sistematis sehingga eksistensinya seakan tertutupi "tabir". Bangsa itu adalah bangsa yang meliputi Apache, Sioux, Cherokee, dll atau yang disebut dengan bangsa Indian di Amerika.
ADVERTISEMENT
Perlakuan diskriminasi ini ibarat pepatah seperti “kacang yang lupa pada kulitnya”, para pendatang dari eropa dan sekitarnya itu, membuat sebuah skema yang menihilkan eksistensi dari kaum pribumi Indian, dan ternyata praktik diskriminasi juga diberlakukan kepada warga hitam (Afro) yang dibawa oleh mereka sebagai budak-budak dari negara-negara jajahan mereka di Afrika. Sebagai bukti dari diskriminasi itu para Afro melakukan perlawanan di bawah kepemimpinan Martin Luther King Jr, Malcom X, dan lain-lain di tahun 60-an.
Bukan hanya bangsa Indian dan Afrika Eropa (Apro) yang mendapat perlakuan diskriminasi, tapi juga komunitas Jepang, warga Latin, mexico dan Colombia juga mengalami hal serupa. Lebih dari itu pada awal kampanyenya Donald Trump dengan pongah mengangkat isu sentimen agama dengan mengatakan akan melarang datangnya para muslim ke negara ini. Bagi Syamsi Ali diskriminasi ini menyumbang poin terbesar kepada Islamofobia di negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Dia berkata “Seringkali saya katakan di masa lalu sebelum pemerintahan Donald Trump Islamofobia itu ada di pinggir-pinggir jalan. Saat ini justru keluar dari White House dengan kebijakan yang terasa meminggirkan kaum minoritas”.
Sebagai penutup mari kita renungkan cerita berikut ini. Seorang Amerika masuk di sebuah warung kopi yang penuh dengan pengunjung, rata-rata mereka berkelompok duduk melingkar di sebuah meja bundar. Setelah mendapatkan tempat duduk, dia melihat seorang kulit hitam duduk menyendiri di sebuah meja di ujung warung kopi tersebut.
Keisengannya muncul, dengan lantang dia memanggil pelayan dan menyuruhnya untuk menghidangkan makanan kepada semua pengunjung kecuali orang kulit hitam yang duduk di ujung tempat tersebut.
Dengan sigap para pelayan langsung mengambil makanan, dan membagikannya kepada para pengunjung, dan dengan sombongnya orang Amerika tersebut menatap ke arah orang kulit hitam yang tersenyum penuh kehangatan kepadanya.
ADVERTISEMENT
Melihat reaksi baik yang diberikan oleh orang kulit hitam itu, kesombongannya bukan berkurang, tapi malah bertambah, kemudian dia memanggil kembali pelayan dan menyuruhnya untuk menghidangkan minuman kepada semua pengunjung kecuali orang kulit hitam yang duduk di ujung tempat kopi itu. Dan ketika dia menatap orang kulit hitam untuk kedua kalinya, dia kembali tersenyum dengan senyuman lebih bersahabat.
Heran dengan reaksi yang didapatkannya, orang Amerika itu bertanya kepada pelayan, kenapa orang kulit hitam itu tidak marah kepadanya, padahal dia sudah memperlakukannya secara diskriminasi. Dengan senyuman yang hangat dan bersahabat, pelayan itu menjawab kalau orang kulit hitam itu adalah pemilik warung kopi.
Cerita ini kami dapatkan dari beberapa grup WhatApps yang bersama Arab, ketika membacanya kami menemukan betapa kesombongan bisa mempermalukan, kesombongan bisa membuat seorang lupa terhadap kebaikan orang di sekitarnya, kesombongan itu pulalah yang menyebabkan Iblis tidak mau menerima perintah Allah untuk memberikan salam kepada Adam.
ADVERTISEMENT
Pada tatanan dunia saat ini yang semakin sempit, di mana orang bisa masuk ke dalam rumah tanpa mengetuk pintu, alangkah bijak kalau usaha menghilangkan diskriminasi bukan hanya menjadi bahan diskusi, tapi sebuah aksi nyata yang dipraktikkan dalam kehidupan.
Muhammad Irfanudin Kurniawan, M.Ag
Dosen Stai Darunnajah Jakarta dan Bogor
Seorang entrepreneur dengan brand “thebukukita