Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Keanggotaan Ukraina, Mengapa NATO Enggan?
28 Desember 2021 20:54 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Muhammad Irsyad Abrar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 26 Desember 2021, Deutsche Well memberitakan bahwa Rusia telah menarik sekitar 10.000 tentara dari perbatasannya dengan Ukraina. Informasi ini muncul setelah sebelumnya terdapat rumor bahwa Rusia berencana untuk menginvasi negara tersebut pada awal tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Manuver militer yang dilakukan Rusia baru-baru ini sebenarnya bukan yang pertama kali, dengan hal serupa pernah terjadi pada bulan Maret dan April 2021 dan bahkan di tahun-tahun sebelumnya. Rusia berulang kali mengerahkan tentara ke sekitar perbatasan Ukraina sejak hubungan kedua negara memburuk pada tahun 2014.
Pada tahun 2014, di Ukraina terjadi perubahan rezim yang ditandai dengan penggulingan Presiden Viktor Yanukovich yang pro-Rusia. Pengganti Yanukovich, Petro Poroshenko dan sekarang Volodymyr Zelensky merupakan presiden yang relatif pro-Barat. Menjadikan keanggotaan dalam Uni Eropa dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sebagai salah satu tujuan politik luar negeri Ukraina.
Berbeda dengan sebelumnya, manuver militer Rusia di akhir tahun 2021 dengan jelas memiliki hubungan dengan keinginan Ukraina bergabung dalam NATO. Hal ini diketahui dalam komunikasi Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di tanggal 8 Desember 2021. Saat itu Putin dengan jelas menyampaikan pada Biden bahwa ketegangan Rusia dengan Ukraina dapat diturunkan jika AS memberikan jaminan tertulis bahwa negara tersebut tidak akan menjadi anggota NATO.
ADVERTISEMENT
Permintaan Putin mendapatkan penolakan segera dari Biden yang menjelaskan bahwa menjadi anggota NATO atau tidak merupakan keputusan dari Ukraina. Hal serupa disampaikan Sekjen NATO Jens Stoltenberg pada tanggal 16 Desember 2021 dalam konferensi pers bersama dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Ia mengatakan bahwa keanggotaan Ukraina dalam NATO merupakan keputusan Ukraina itu sendiri dan 30 anggota institusi ini.
Keanggotaan Ukraina dalam NATO
Pernyataan Biden dan Stoltenberg menunjukkan bahwa Rusia tidak dapat mencegah Ukraina dari bergabung dengan NATO. Meskipun begitu, tidak terdapat jaminan bahwa Ukraina akan diterima sebagai anggota institusi tersebut. Terdapat beberapa prasyarat politik dan militer yang perlu dipenuhi Ukraina sebelum bisa bergabung dengan NATO. Setelah memenuhi prasyarat, Ukraina harus melewati tahapan seperti melakukan reformasi yang direkomendasikan institusi tersebut dan mendapatkan persetujuan dari semua negara anggota.
ADVERTISEMENT
Ukraina sejak tahun 2002 telah menyatakan aspirasi mereka untuk menjadi anggota NATO, kecuali pada masa Presiden Yanukovich yang pro-Rusia. Meskipun begitu, hingga saat ini Ukraina belum menerima Membership Action Plan (MAP) dari NATO. Hal ini penting karena MAP merupakan program reformasi yang disarankan institusi tersebut pada sebuah negara sebagai persiapan untuk menjadi anggota.
Alasan Ukraina belum menerima MAP bisa jadi karena NATO menganggap negara tersebut tidak memenuhi prasyarat yang ada. Pertemuan institusi ini di Bucharest, Romania pada tahun 2008, tetapi menunjukkan bahwa alasannya tidak sesederhana itu. Dalam pertemuan tersebut sudah terdapat pembahasan mengenai pemberian MAP pada Ukraina yang didukung AS. Negara seperti Jerman dan Prancis, tetapi menolak karena khawatir terhadap reaksi yang akan diberikan Rusia. Kompromi kemudian dicapai dalam bentuk mendukung aspirasi Ukraina untuk bergabung tanpa NATO memulai proses formal yang memungkinkan negara tersebut untuk bergabung.
ADVERTISEMENT
Risiko Menerima Keanggotaan Ukraina
Keengganan sebagian anggota NATO terhadap keinginan Ukraina untuk bergabung dalam institusi ini dipengaruhi faktor Rusia. Secara lebih spesifik, anggota NATO mempertimbangkan pandangan dan reaksi yang akan diberikan negara tersebut. Rusia memang sejak awal menolak perluasan keanggotaan NATO ke negara mantan anggota Pakta Warsawa dan bagian Uni Soviet. Hal ini dikarenakan perluasan NATO ke timur mengurangi negara pemisah (buffer state) antara anggota institusi tersebut dengan Rusia. Selain itu, Eropa Timur merupakan kawasan pengaruh (sphere of influence) tradisional Rusia di masa kekaisaran maupun soviet.
Pada awal perluasan keanggotaan NATO pasca berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet, Rusia tidak memberikan respons yang memadai terhadap hal tersebut. Dibanding menerima, hal ini dikarenakan negara tersebut dihadapkan dengan berbagai masalah politik dan ekonomi yang timbul dari runtuhnya Uni Soviet. Rusia hanya dapat memprotes perluasan keanggotaan NATO ke timur tanpa bisa mencegah hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Situasi domestik Rusia yang mulai membaik pada tahun 2000-an mengubah respons negara ini terhadap perluasan keanggotaan NATO. Di bulan April 2008, NATO memberikan dukungan terhadap aspirasi Georgia dan Ukraina untuk bergabung. Tidak berhenti pada peringatan, di bulan Agustus tahun yang sama, Rusia menginvasi Georgia. Kemudian Rusia menempatkan tentara di Abkhazia dan Ossetia Selatan, dua wilayah yang berusaha melepaskan diri dari Georgia.
Ketika terjadi perubahan rezim di Ukraina pada tahun 2014, Rusia khawatir bahwa negara tersebut akan berusaha kembali menjadi anggota NATO. Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa Ukraina tidak akan menyewakan kembali pangkalan angkatan laut di Sevastopol, Krimea pada Rusia dan akan memberikan NATO akses. Hal ini mengarah pada Rusia menganeksasi Krimea dan mendukung separatisme di Donbass.
ADVERTISEMENT
Tindakan Rusia di Georgia dan Ukraina menunjukkan bahwa negara ini tidak segan dalam menggunakan kekuatan militer demi mencegah kedua negara tersebut bergabung dalam NATO. Memulai proses formal untuk menerima Ukraina sebagai anggota, seperti memberikan MAP, berpotensi membuat Rusia meningkatkan tekanannya terhadap negara tersebut. Seperti di Georgia, Rusia bisa secara terang-terangan menginvasi Ukraina untuk mendukung kelompok separatis pro-Rusia di Donbass.
Invasi Rusia ke Ukraina sudah menjadi pembahasan beberapa pihak sejak hubungan kedua negara memburuk. Think tank seperti Stratfor merupakan salah satu yang pertama dalam mensimulasikan dan menganalisis kemungkinan tersebut. Pada 9 Maret 2015 Stratfor mempublikasikan sebuah artikel yang membahas 6 opsi yang dapat dilakukan militer Rusia di Ukraina, dari operasi terbatas di perbatasan hingga menduduki semua wilayah Ukraina di timur Sungai Dnieper.
ADVERTISEMENT
Jika NATO menerima Ukraina sebagai anggota maka terdapat komitmen bagi anggota yang lain untuk terlibat dalam konflik bersenjata dengan Rusia. Pasal 5 dalam Traktat Atlantik Utara, dokumen pendirian NATO, mengatur bahwa serangan terhadap salah satu anggota institusi ini merupakan serangan terhadap semua anggota (pertahanan kolektif). Meskipun hubungan dengan Rusia tidak baik, NATO tidak memiliki keinginan untuk melakukan konflik bersenjata dengan negara tersebut. Hal ini mengingat ancaman yang dimiliki Rusia terhadap anggota NATO.
Selain militer konvensional, rudal balistik dan hulu ledak nuklir yang dimiliki Rusia merupakan ancaman yang tidak dapat diabaikan NATO. Senjata yang dimiliki Rusia dapat menjangkau berbagai sasaran strategis di Eropa Barat dan Amerika Utara, seperti pusat pemukiman, kawasan ekonomi/ industri, infrastruktur, dan fasilitas militer. Rusia merupakan salah satu negara di dunia yang dapat menghantarkan hulu ledak nuklir melalui darat (silo dan peluncur bergerak), laut (kapal selam), dan udara (pesawat pembom strategis).
ADVERTISEMENT
Kemungkinan Rusia akan menggunakan rudal balistik dan hulu ledak nuklir dapat diperdebatkan karena anggota NATO seperti AS, Inggris, dan Prancis dapat membalas dengan hal serupa. Meskipun begitu, Rusia memiliki riwayat menggunakan dua hal tersebut untuk menekan NATO. Misal, negara ini mempertahankan keberadaan rudal balistik jenis Iskander dan Kalibr yang dapat dilengkapi dengan hulu ledak nuklir di Kaliningrad. Dari lokasi tersebut, rudal balistik Kalibr varian 3M-14 dengan jangkauan 1.500-2.500 km dapat mencapai Inggris dan Prancis.
Selain dari segi militer, risiko yang dihadapi anggota NATO datang dari ketergantungan pada Rusia untuk energi. Menurut data Eurostat, badan statistik Uni Eropa, sebagian besar impor minyak bumi, gas alam, dan batu bara anggota institusi ini, yang sebagian juga merupakan anggota NATO, berasal dari Rusia. Pada tahun 2019 anggota Uni Eropa mengimpor sekitar 27 % minyak bumi, 41 % gas alam, dan 47 % batu bara dari Rusia.
ADVERTISEMENT
Rusia memiliki riwayat melakukan hal tersebut untuk menekan beberapa negara lain yang terlibat konflik atau sengketa dengannya. Sebagai contoh, pada bulan Oktober 2006 Georgia mendakwa empat warga negara Rusia dengan tuduhan melakukan spionase. Satu bulan kemudian, BUMN asal Rusia, Gazprom, kemudian mengumumkan bahwa mereka berencana untuk menaikkan harga gas yang dijual ke Georgia menjadi 230 Dolar AS di tahun 2007, dari sebelumnya 110 Dolar AS.
Selama Rusia tidak segan untuk menggunakan kekuatan militer untuk menekan negara lain dan negara-negara Eropa memiliki ketergantungan energi pada negara tersebut maka keengganan sebagian anggota NATO terhadap keanggotaan Ukraina akan bertahan.