Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sekolah Negeri dan Pelajaran Demokrasi di Ruang Kelas
14 Juni 2023 14:01 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Ivan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”
ADVERTISEMENT
Kata-kata Soe Hok Gie tersebut memang banyak mewujud sebagai kultur. Di kelas, siswa lebih banyak mengetahui daripada merefleksi untuk memahami. Elemen kesadaran seperti dipinggirkan, itulah mengapa banyak hal yang dipelajari tidak melekat kuat dalam pikiran, sehingga beberapa tahun kemudian siswa lupa terhadap apa yang sudah dipelajari di tahun-tahun sebelumnya.
Penting dikedepankan bagaimana guru berposisi dalam melihat realitas-realitas yang bertabrakan dan juga “berani” mendiskusikan hal-hal yang menjadi diskursus publik sebagai pengetahuan siswa dalam menyikapi berbagai soal kemasyarakatan dan kebudayaan.
Rentetan polemik kasus seperti pemaksaan jilbab di Padang viral di media sosial, padahal aturan ini sudah dipakai sejak 15 tahun lamanya misalkan, terjadi bukan di sekolah swasta, melainkan di sekolah negeri (public school). Sekolah negeri yang seharusnya terbuka bagi semua nilai atau pemikiran yang tidak bertentangan dengan Pancasila untuk saling terintegrasi menguatkan sendi persatuan dan memberikan hak layanan tanpa melihat latar belakang siswa, apa pun itu. Secara historis problem ini menyangkut persoalan bagaimana pendidikan kewargaan dan demokrasi dijalankan di sekolah. Sekolah bisa menjadi miniatur perilaku yang mencerminkan perlakuan terhadap minoritas di wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Henry A. Giroux dan Peter McLaren (1986) berpendapat bahwa banyak reformasi sekolah umum yang direkomendasikan baru-baru ini mengabaikan atau mengabaikan prinsip-prinsip yang mendasari pendidikan untuk warga negara demokratis yang dikembangkan oleh John Dewey dan lainnya pada awal abad ini. Dapat diartikan bahwa netralitas sekolah sebagai lembaga dan guru sebagai intelektual harus berfungsi secara profesional. Transformasi nilai akan mudah dijalankan apabila guru menyadari posisinya sebagai agen pemerintah untuk mengajarkan core values dari pendidikan kewargaan dan demokrasi sekaligus.
Intelektual transformatif sebagai sebuah terminologi menegaskan bahwa netralitas guru akan membangun kepekaan siswa untuk menyadari bahwa persoalan demokrasi bukan soal menang dan kalah, melainkan pertarungan gagasan untuk kebaikan bersama. Mengedepankan gagasan dan inovasi pemikiran harus dimulai dari guru yang berperan sebagai intelektual transformatif.
ADVERTISEMENT
Bentuk praktik intelektual dan pedagogis dapat terselip dalam proses belajar mengajar langsung ke ranah politik dengan menyatakan bahwa sekolah merepresentasikan perjuangan untuk mendapatkan makna dan pertarungan untuk memperebutkan hubungan kekuasaan. Wajar, jika pemilih pemula yang berada di pendidikan menengah sangat potensial dalam pemilihan kepala daerah. Posisi guru sangat berperan untuk memberikan perspektif yang tidak mengunci pemikiran siswa untuk mengekspresikan pandangannya pula.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa guru menghindari kritik terhadap persoalan publik, karena ada kekhawatiran ancaman terhadap dirinya, baik fisik maupun nonfisik. Istilah “diam itu emas” merupakan pilihan terbaik, karena sikap itulah yang setidaknya tidak akan banyak memeras pikiran sang guru. Praktik guru dalam mengajarkan seni berdebat atau berdiskusipun hanya wacana, meskipun proses yang akan dijalankan menjadi suatu tantangan dalam mengimplementasikan penalaran siswa untuk menjawab permasalahan dalam realitas kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Apakah rendahnya nilai PISA siswa Indonesia juga cerminan dari kondisi yang sudah puluhan tahun membudaya dalam jiwa guru? Kondisi ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri dalam mengembangkan pandangan tentang guru sebagai intelektual transformatif dan sekolah sebagai bagian dari perjuangan demokrasi yang berkelanjutan.
Pentingnya Moderasi
Demokrasi berkaitan erat dengan moderasi, bagaimana kita dapat proporsional (imbang) dalam memberi penilaian terhadap sesuatu, dan berupaya bagaimana membangun kesadaran publik, bukan sekadar membenarkan sesuatu karena mengikuti tren atau viral. Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin Moderatio, yang berarti kesedangan (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam kamus Cambridge, kata moderasi diartikan “kualitas melakukan sesuatu dalam batas wajar”.
Sekolah negeri sudah selayaknya mencerminkan moderasi karena bukan sekolah milik agama atau kelompok tertentu. Tanpa disadari, moderasi menjadi pilar penting bagaimana masalah-masalah publik bahkan yang sensitif sekalipun dapat merangsang siswa untuk berpikir lebih kritis terhadap hal-hal yang masuk ke kepalanya, karena itulah realitas yang siswa lihat di media sosial sehari-hari bahkan tiap saat.
ADVERTISEMENT
Semakin kita tabu membincangkannya, maka siswa akan mencari opini atau analisis dari orang yang mungkin tidak memiliki pengetahuan baik tentangnya dan cenderung menyalahkan dan menyebarkan propaganda, sebagaimana yang sering kita lihat di media sosial twitter, bagaimana antar kelompok pendukung calon presiden saling serang dengan menggunakan rekam jejak masing-masing calon presiden dan sedaya upaya diolah untuk menjelekkan bahkan sampai memfitnah calon presiden.
Di sinilah kesempatan emas bagaimana seorang guru dapat menyuguhkan diskusi publik yang lebih fair di kelas, tentu saja berkaitan bukan hanya dengan calon presidennya saja, tetapi juga bagaimana guru dapat memoderasi diskursus yang dapat merangsang pemikiran siswa dengan lebih elegan sekaligus membuka persepsi dan animo siswa terhadap masalah-masalah publik. Dengan begitu, siswa terpicu untuk peduli terhadap persoalan kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Dalam kaitan dengan hoaks, siswa menjadi lebih kritis dan tidak mudah terprovokasi jika berinteraksi di jagad media. Apa pun isunya, moderasi yang tertanam dan seringnya berdiskusi dengan guru di ruang kelas, menjadikan siswa lebih santun dalam menyampaikan pendapat di media sosial dan bahkan tidak menaruh kepedulian apa pun terhadap informasi yang masih simpang siur dan belum kredibel asal usulnya. Karena tradisi berdiskusi dengan guru yang memoderasi akan membangun kultur siswa menjadi tidak mudah terbawa arus informasi, yang belum tentu baik, baik diri, sekitar, dan masa depannya.