Konten dari Pengguna

Mewariskan Advokasi

Muhammad Jaedi
Penikmat kopi, penggila MU, penjelajah advokasi.
25 Agustus 2017 6:10 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Jaedi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya mengenal lelaki itu baru beberapa bulan lalu. Lelaki sederhana, humoris dan mudah mengakrabkan diri. Setidaknya itu kesan yang saya dapat sejak pertama kali mengenalnya. Saya duga usianya sudah di atas 60 tahun. Kerabat dekatnya memanggilnya Kang Nandang atau Pak Nandang. Dari beberapa kali pertemuan, saya tahu ia "pemain lama" di dunia advokasi. Beberapa teman bahkan terkesan menokohkannya. Tapi ia tetap sosok sederhana dan tak ingin tampak penting atau dipentingkan. Padahal, kalau mau sah saja ia lakukan.
ADVERTISEMENT
Awalnya saya menduga ia sosok tua yang tak punya pilihan: persaingan kerja semakin ketat, ia tak punya pilihan lain bertahan hidup kecuali terus menggeluti dunia advokasi dengan menjual pengalaman sebagai modal utamanya. Di situ, ia punya nilai tambah karena yang lain tidak dapat menandinginya. Namun, perjalanan saya bersamanya ke Trenggalek dan Pacitan di pengujung Agustus 2017 mengubah itu. Di kedua kabupaten itu, kami bertemu anak-anak muda yang bekerja di desa sebagai pekerja pembangunan. Tugas mereka adalah melakukan advokasi kebijakan di desa, mendorong masyarakat desa aktif menyuarakan kepentingannya dalam membangun desa. Anak-anak muda itu rata-rata berusia di bawah 30 tahun, bahkan ada yang masih usia belasan. Mereka, tentu saja, miskin pengalaman advokasi apalagi dibandingkan lelaki sederhana yang saya kenal itu.
ADVERTISEMENT
Di Trenggalek dan Pacitan, lelaki itu berdialog dengan anak-anak muda, memberi pencerahan, memberi arahan, memberi nasehat apa yang perlu dan harus dilakukan di desa. Ia memperkaya wawasan anak-anak muda itu dengan menghadirkan nara sumber yang membuat anak-anak muda itu tetap up to date dengan isu yang tengah mereka geluti.
Seketika saya menyadari satu hal: lelaki sederhana itu tetap di dunia advokasi bukan karena ia tidak punya pilihan tetapi justru merupakan pilihan yang dengan sadar ia lakukan. Lelaki sederhana itu tengah membangun lapisan keberlanjutan pekerja advokasi. Saya kemudian merasa malu pada diri sendiri. Saya tengah berada pada satu titik untuk berhenti dari dunia advokasi. Alasannya sederhana saja: di kantor saya bekerja dengan anak-anak muda yang cerdas, bekerja cepat dan haus tantangan. Setelah sekian tahun, saya sadar bahwa saya semakin lambat. Saya tidak dapat mengikuti mereka lagi. Saya tengah mempertimbangkan profesi lain (yang saya juga belum punya bayangan jelas mau jadi apa). Padahal usia saya belum lagi mencapai 50 tahun! Cukup jauh dibandingkan lelaki sederhana itu.
ADVERTISEMENT
Tanpa sadar, lelaki sederhana itu menunjukkan kepada saya apa yang bisa saya lakukan di usia yang tak lagi muda tanpa harus keluar dari dunia advokasi yang sekian lama saya geluti. Tanpa sadar, lelaki sederhana itu juga menunjukkan pentingnya membangun lapisan pekerja advokasi di kalangan anak-anak muda, terutama di perdesaan. Anak-anak muda jaman sekarang, kita sama-sama tahu, punya potensi yang luar biasa untuk berkembang namun juga punya potensi yang sama untuk tergelincir di dunia teror dan terjebak dalam diskursus teror (setidaknya menjadi teroris di media sosial). Potensi mereka yang luar biasa itu perlu diarahkan. Menjadi pekerja advokasi bisa menjadi pilihan dari sekian banyak pilihan profesi lainnya. Mengisi kepala mereka dengan isu-isu kebijakan pasti jauh lebih bermanfaat dibandingkan menghabiskan waktu mereka di media sosial. Berdiskusi dengan mereka tentang pembangunan (desa) bisa jadi bentuk perlawanan terhadap diskursus terorisme yang terus berkembang dan mencari korban.
ADVERTISEMENT
Seketika nafas saya tersengal, kepala saya dipenuhi berbagai rencana.
Kang Nandang, terima kasih untuk pelajaran yang tanpa sadar kau berikan!
Pacitan, 25 Agustus 2017