Konten dari Pengguna

Petugas Registrasi Gampong

Muhammad Jaedi
Penikmat kopi, penggila MU, penjelajah advokasi.
4 November 2017 5:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Jaedi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kalau merujuk pada UU Administrasi Kependudukan (adminduk), di setiap desa di Indonesia seharusnya ada Petugas Registrasi yang tugasnya membantu kepala desa atau lurah dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil/Disdukcapil dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Petugas ini, menurut UU Adminduk dan Permendagri 18 Tahun 2010 diangkat oleh Bupati/Walikota atas usulan Kepala Desa/Lurah melalui Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Pasal 12 UU No 23 Tahun 2006 tentang Adminduk menyebutkan petugas ini adalah Pegawai Negeri Sipil/PNS yang memenuhi persyaratan. Namun, dalam UU 24 Tahun 2013 tentang Perubahan UU Adminduk, redaksional kalimat ini diubah menjadi “diutamakan pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan”. Jika tafsiran saya tidak keliru, artinya ada peluang bagi non PNS untuk menjadi Petugas Registrasi.
ADVERTISEMENT
Petugas Registrasi sebetulnya strategi yang cerdas untuk mendekatkan layanan. Para perumus UU Adminduk tampaknya sadar bahwa salah satu persoalan dalam pelayanan Adminduk adalah jarak antara masyarakat yang dilayani dengan kantor pelayanan yang umumnya berada di ibu kota atau kecamatan. Semakin jauh jarak yang ditempuh, semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan. Karena berbiaya mahal, akibatnya orang malas mengurus dokumen kependudukan. Ini matematika sederhana. Untuk mengatasinya, perlu ada petugas yang berada di desa, membantu kepala desa/lurah melakukan verifikasi dan validasi, memroses dokumen kependudukan, menyampaian dan mengambilkan dokumen kependudukan (setidaknya begitu tugas yang disebutkan oleh peraturan yang berlaku). Dengan begitu, pemohon tidak perlu menempuh jarak yang jauh untuk mendapatkan dokumen kependudukan. Dengan begitu pula, pemohon tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk mendapatkan dokumen kependudukan.
ADVERTISEMENT
Teorinya begitu, praktiknya berkata lain.
Sampai hari ini, Petugas Registrasi adalah mahluk yang langka. Aturannya ada, tapi sosoknya nyaris tidak ditemukan. Semacam "hantu kependudukan". Di beberapa desa, Kepala Urusan Pemerintahan sering dianggap sebagai Petugas Registrasi karena secara tradisional membantu kepala desa dalam urusan adminduk. Namun pada faktanya belum tentu mereka pernah diangkat Bupati/Walikota menjadi Petugas Registrasi. Kalau pun pernah diangkat, belum tentu juga mereka mendapatkan insentif tambahan. Pekerjaan bertambah, penghasilan tetap. Belum tentu mereka mau.
Saya bisa paham mengapa mahluk yang bernama Petugas Registrasi ini menjadi langka. Mengangkat Petugas Registrasi, apalagi diutamakan PNS, artinya harus ada alokasi anggaran. Artinya juga beban bagi pemerintah daerah. Jika satu kabupaten punya 200 desa dan setiap Petugas Registrasi diberi insentif, katakanlah, Rp250,000 per bulan, berapa alokasi anggaran yang harus disediakan pemda per tahun? Bagaimana kalau jumlah desanya sampai 610? Belum lagi, apa sih keuntungan pemda mengangkat Petugas Registrasi? Ini pertanyaan nakal, tapi boleh jadi ada kepala daerah yang berpikir begitu. Alokasi anggarannya besar, manfaatnya bagi pemda belum tentu ada.
ADVERTISEMENT
Kalau semua pemda berpikir begitu, maka Petugas Registrasi cuma ada di dalam teori. Lagi-lagi, penduduk harus menempuh jarak yang jauh dan membayar biaya transportasi yang mahal untuk mengurus dokumen kependudukan. Apalagi kalau masih ada pungutan liar di Disdukcapil. Nasib pemohon semakin runyam.
Syukurnya, ada saja pemda yang berpikir kreatif. Salah satunya adalah Pemda Kabupaten Bireun.
Sadar bahwa pemda punya keterbatasan, sadar pula bahwa penduduk memerlukan dokumen kependudukan, Pemda Kabupaten Bireun menginisiasi adanya Petugas Registrasi Gampong atau PRG. Percontohannya di Kecamatan Simpang Mamplam. Petugas ini diangkat dan dibiayai oleh pemerintah desa. Insentifnya tahun ini memang belum seberapa besar. Wajar saja, ini inisiatif yang boleh dibilang baru. Masih dirumuskan berapa insentif dan biaya operasional yang layak untuk PRG.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana Petugas Registrasi, PRG melakukan pendataan kepemilikan dokumen kependudukan dan memfasilitasi penduduk yang mengajukan permohonan. Bahkan ada PRG yang datang dari rumah ke rumah. Tugas ini, tentu saja, mereka lakukan bukan tanpa pengetahuan. Ada pelatihan yang dilakukan oleh Disdukcapil Kabupaten Bireun yang difasilitasi oleh salah satu LSM di Aceh. Saya dengar inisiatif ini akan direplikasi di seluruh desa di Kecamatan Simpang Mamplam dan 16 kecamatan lainnya di Kabupaten Bireun.
Buat saya, PRG di Bireun adalah sebuah terobosan. Ini cara cerdas mengatasi kebuntuan. Menunggu Petugas Registrasi yang diangkat dan diberhentikan Bupati/Walikota sebagaimana dikehendaki UU, seperti menunggu jodoh yang tak kunjung datang. Daripada tak ada kepastian, lebih baik bagi desa “menentukan nasibnya sendiri”. Anggaran melimpah, sumberdaya manusia bisa dilatih. Ini juga peluang bagi pemerintah desa untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik, yang lebih dari sekedar fisik dan pemenuhan materi.
ADVERTISEMENT
Jika inisiatif diteruskan, saya percaya kepemilikan dokumen kependudukan di seluruh gampong (desa) di Bireun akan semakin meningkat. Jika kepemilikan dokumen kependudukan meningkat, kuaitas data kependudukan di desa pun akan semakin baik. Disdukcapil Kabupaten Bireun seharusnya melihat peluang ini sebagai cara cerdas untuk memperbaiki kualitas data kependudukan di Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Jika ini dilakukan, Disdukcapil tidak perlu menghabiskan energi untuk melakukan pemutakhiran data kependudukan dengan mendatangi setiap desa. Selain tidak efisien, cara itu juga memerlukan anggaran yang tidak sedikit, yang lebih baik digunakan untuk memperbaiki kualitas pelayanan.
Kabar baiknya, inisiatif semacam ini tidak hanya di Bireun tapi juga mucul di beberapa kabupaten lainnya seperti Lombok Utara dan Sumbawa di NTB. Semoga inisiatif ini dapat didengar oleh pemerintah pusat yang kemudian mendorongnya menjadi kebijakan yang berlaku secara nasional. Semoga pula pemerintah pusat melihat inisiatif ini sebagai peluang untuk mendekatkan pelayanan adminduk dan tidak membunuhnya atas nama ketidaksesuaian dengan peraturan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Semoga.
Gunung Putri, 4 November 2017