Kontroversi Masa Jabatan Presiden

Muhammad Japar
Dosen Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
24 Juni 2021 10:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Japar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari-hari ini publik sempat diramaikan dengan wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Berbagai respons muncul ke permukaan. Setidaknya ada tiga kelompok yang merespons wacana tersebut, yang paling banyak tentunya adalah kelompok yang menentang wacana tersebut.
ADVERTISEMENT
Kelompok ini mengungkapkan bahwa persoalan pemilihan presiden bukanlah terletak pada penambahan masa jabatan presiden, tetapi bagaimana agar ketentuan presidential treshold dihilangkan sehingga rakyat memiliki kesempatan memunculkan lebih dari dua pasangan capres dan cawapres. Sebab, bangsa ini memiliki banyak calon-calon pemimpin yang mampu memimpin bangsa dan negaranya, sehingga tidak perlu terlalu kultus terhadap seorang atau dua orang individu.
Kelompok kedua adalah kelompok yang mendukung wacana tersebut, mereka berdalih bahwa dengan memberi kesempatan penambahan masa jabatan presiden maka polarisasi masyarakat yang terjadi selama ini dapat dihilangkan. Dalih ini mungkin saja benar tetapi terlalu menyederhanakan masalah, seolah-olah polarisasi masyarakat itu disebabkan figur atau tokoh saja, tanpa melihat aspek ideologi yang membelah masyarakat, juga pendidikan politik yang masih harus ditingkatkan.
ADVERTISEMENT
Kemudian yang ketiga adalah kelompok yang apatis. Sikap ini mungkin dimiliki sebagian besar masyarakat kita. Di tengah kita sedang menghadapi pandemi COVID-19 yang tak kunjung reda dan telah memakan banyak korban, wacana ini dianggap tidak berempati terhadap kesulitan masyarakat terutama di bidang ekonomi dan kesehatan.
Wacana penambahan masa jabatan menjadi tiga periode ini mengingatkan kita pada agenda reformasi yang paling fundamental, yaitu amandemen UUD 1945. Mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla seringkali mengatakan sasaran tembak amandemen UUD 1945 adalah Pasal 7 tentang masa jabatan presiden. Sebelum amandemen, pasal ini berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan dapat dipilih kembali”.
Pasal inilah yang secara konstitusional membuat Bung Karno menjadi presiden selama 20 tahun dan Pak Harto selama 32 tahun. Alhasil, pasal karet inilah yang menjadi sasaran utama amandemen UUD 1945. Setelah diamandemen pada tahun 1999, Pasal 7 lantas berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Reformasi pun bergulir dan mengantarkan Indonesia untuk pertama kalinya melaksanakan pemilihan presiden secara langsung tahun 2004.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, godaan terhadap penambahan masa jabatan tiga periode juga pernah terjadi di era Presiden SBY, tetapi godaan itu tidak laku dan SBY menolak godaan itu. Kini, godaan itu muncul kembali dengan realitas politik yang masuk akal karena parpol, DPR, dan DPD bisa dikatakan berada dalam satu lingkaran pemerintahan yang sedang berkuasa. Henry B. Mayo sebagaimana dikutip Miriam Budiardjo (2008: 119) pernah mengemukakan bahwa demokrasi didasarkan oleh beberapa nilai (values).
Salah satu nilai itu adalah menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur (orderly succession of rulers). Pergantian atas dasar keturunan, atau dengan jalan mengangkat diri sendiri, ataupun melalui coup d’etat, dianggap tidak wajar dalam demokrasi. Menurutnya, suksesi pemimpin secara teratur akan membangun demokrasi secara mapan, sehingga tidak hanya mewujudkan demokrasi prosedural tetapi juga pada tataran substansi yang tepercaya.
ADVERTISEMENT
Hal ini senapas dengan Affan Gaffar yang mengungkapkan bahwa salah satu indikator pemerintahan yang demokratis yaitu adanya rotasi kekuasaan yang dijalankan secara damai dan teratur serta tidak menutup peluang bagi calon pemimpin lain yang potensial.
Berdasarkan teori-teori tersebut, maka keteraturan pergantian presiden sesuai kaidah konstitusi menjadi pilihan lebih bijak dalam merespons wacana penambahan masa jabatan presiden.
Ilustrasi Pemilihan Presiden. Sumber: Freepik
Berkelindan dengan nilai demokrasi, perlu juga disimak tentang ide pokok konstitusionalisme bahwa pemerintah perlu dibatasi kekuasaannya (the limited state), agar penyelenggaraannya tidak sewenang-wenang.
Menurut Carl J. Friedrich dalam buku Constitutional Government and Democracy (1967: Bab VII) konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa pemerintahan merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan pembatasan dan diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, Walter F. Murphy (1993: 3) memandang bahwa konstitusionalisme sangat menjunjung tinggi kehormatan atau harga diri manusia sebagai prinsip utamanya. Murphy berpandangan “agar kehormatannya terlindungi, manusia harus mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam politik, dan kekuasaan pemerintah harus dipagari dengan batas-batas yang bersifat substantif terhadap apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah, sekalipun andai kata pemerintah itu mencerminkan kemauan rakyat secara sempurna.”
Baik Friedrich maupun Murphy, keduanya menekankan pada ide konstitusionalisme yang pada hakikatnya membatasi wewenang pemerintah guna melindungi hak-hak warga negara. Pembatasan itu juga berkaitan dengan masa jabatan presiden agar pergantian pemimpin dapat berlangsung secara teratur dan dapat mencegah penyimpangan kekuasaan sebagai akibat terlalu lama berkuasa.
Kajian yang serius, jaring aspirasi yang dilakukan, dan perdebatan yang hangat dan tajam, serta usaha-usaha para pihak terhadap wacana penambahan masa jabatan presiden tiga periode, terpulang kepada pertanyaan, apakah wacana itu akan mampu menggoda Presiden Joko Widodo?
ADVERTISEMENT