Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memaknai Kematian
12 Januari 2021 6:09 WIB
Tulisan dari Muhammad Japar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, publik diberondong oleh berita kematian yang masif akibat COVID-19. Berita kematian tersebut kerap menerpa setiap saat baik di televisi maupun media sosial. Mungkin jenuh sudah membungkus kepala sampai sebagian memilih abai dengan menekan tombol remot mencari channel lain atau scrolling ke postingan lain yang lebih menghibur. Sering terjadi.
ADVERTISEMENT
Namun, baru-baru ini media memberitakan peristiwa yang cukup mencekam, sampai-sampai publik menanti titik terang alias berita baik dari peristiwa ini, yaitu jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di Kepulauan Seribu. Disusul dengan berita kematian akibat longsor di Sumedang. Keluarga korban menangis, terkejut dan tentu saja merasa kehilangan sanak saudara, teman sejawat dan orang-orang terdekat. Bahkan, duka dan ratapan tidak hanya dimiliki keluarga korban, tetapi banyak orang yang turut merasakan.
Kematian itu ternyata tetap menimbulkan keterkejutan bagi manusia, walau manusia tahu dan menyadari bahwa kematian itu pasti datang. Kematian menjadi rahasia bagi manusia karena Tuhan Yang Maha Esa tengah menguji manusia apakah ia mampu mempersiapkan diri menuju kematian kapan pun dan di mana pun.
ADVERTISEMENT
Seorang saudara yang sehat-sehat saja, tiba-tiba dikabarkan meninggal dunia. Mereka adalah pasangan suami istri yang dikenal aktif dalam berbagai kegiatan di masyarakat, keduanya diboyong ke rumah sakit lantaran positif COVID-19. Berangkat berdua, tetapi sang suami pulang sendiri karena istrinya meregang nyawa di rumah sakit.
Cerita lain ada pada peristiwa jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182 Jakarta-Pontianak. Seorang ibu dengan anak-anaknya berniat mengunjungi suami sekaligus ayah anak-anaknya yang bertugas di Pontianak. Di ruang tunggu pesawat, mendiang istri sempat memberitahu kepada ibunya bahwa ia dan anak-anaknya siap untuk berangkat sekaligus meminta doa. Sebagaimana jadwal pesawat itu mendarat, sang ibu mulai bertanya-tanya mengapa belum ada kabar dari anak dan cucunya. Karena khawatir, sang ibu menelepon suami anaknya untuk menanyakan kabar anak dan cucunya. Saat itu, sang suami sudah di sekitar bandara, menangis mengabarkan bahwa pesawat hilang kontak. Coba perhatikan betapa sempurnanya perjalanan seorang ibu dengan anak-anaknya ini. Berangkat menuju Pontianak untuk bertemu dengan suami, ayah anak-anaknya, berpamitan dan meminta doa kepada ibu tercinta. Sang suami pun sudah siap menjemput. Sampai sini kita terhenyak, apa yang salah? Tidak ada yang salah. Tuhan Yang Maha Esa telah menetapkan perjalanan hidup bagi manusia ciptaan-Nya.
ADVERTISEMENT
Orang bijak mengatakan “Kematian adalah nasihat yang paling baik”. Narasi lain juga mengatakan “Cukuplah kematian sebagai pengingat”. Seandainya saja semua manusia menyadari makna kematian maka tidak akan ada menteri yang korupsi, tidak akan ada perilaku-perilaku yang melanggar norma, tidak akan ada hoaks dan ujaran kebencian. Semua manusia akan berbuat baik. Karena, kematian itu akan datang kepada manusia tanpa memandang waktu dan tempat. Pertanyaannya, mengapa manusia masih juga melakukan perbuatan yang salah, padahal ia tahu kematian bisa saja menimpa dirinya dalam keadaan apa pun? Jawabannya, karena kadang manusia lupa bahwa ada pertanggungjawaban setelah kematian. Lupa atau bahkan tidak percaya terhadap pertanggungjawaban setelah kematian bukanlah menjadi pembenaran bagi perilaku-perilaku yang melanggar norma. Kita tahu, korupsi adalah perilaku yang dilarang oleh norma yang ditetapkan negara sekaligus merugikan kehidupan masyarakat. Korupsi telah nyata memiskinkan masyarakat dan negara secara radikal dan berkesinambungan. Akan tetapi, masih banyak yang doyan melakukannya.
ADVERTISEMENT
Dari deskripsi kematian yang sering terjadi dan berulang, nampaknya kematian belum cukup untuk menjadi nasihat bagi manusia. Sebab, banyaknya kematian belum berpengaruh kepada menurunnya intensitas perilaku-perilaku yang melanggar norma, termasuk korupsi. Sehingga, keyakinan bahwa “Akan ada pertanggungjawaban setelah kematian” harus ditanamkan secara mendalam kepada semua komponen bangsa agar bangsa ini dapat membangun secara berkesinambungan dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada secara utuh. Para pemimpin harus menjadi contoh yang baik dengan menjaga diri agar tidak korup.
Dengan demikian untuk memberantas korupsi, perkataan orang bijak yang berbunyi “Cukuplah kematian menjadi nasihat” ternyata belum cukup menakutkan bagi para koruptor. Oleh karena itu, perlu dilanjutkan dengan kalimat lain agar lebih merenungkan, yakni “Akan ada pertanggungjawaban setelah kematian". Sekian.
ADVERTISEMENT