Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pancasila dan Keteladanan
1 Juni 2020 12:56 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Muhammad Japar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tanggal 1 Juni, Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila yang ke-75. Setiap merayakan peristiwa penting ini, biasanya akan terjadi polemik tentang hari tersebut. Apakah benar tanggal 1 Juni 1945 adalah hari lahirnya Pancasila atau tanggal 18 Agustus 1945? Siapa sebenarnya yang menjadi penggali, penemu atau perumus Pancasila? Pancasila merupakan hasil karya individu atau kelompok? Polemik yang cenderung tidak produktif, saling klaim dan justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Sangat jarang disaksikan dialog, diskursus bahkan evaluasi yang mempertanyakan sejauh mana bangsa ini mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila.
ADVERTISEMENT
Pada saat membahas tentang implementasi nilai-nilai Pancasila, salah satu permasalahan yang paling mendasar adalah keteladanan. Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul Mata Air Keteladanan Pancasila Dalam Perbuatan (2014) mengatakan ada keluhan panjang dan luas tentang krisis keteladanan.
Pancasila selain bersifat inspiratif, aplikatif, juga berfungsi sebagai sumber keteladanan bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi, penghormatan terhadap Pancasila masih sebatas seremonial saja, bahkan dijadikan sebagai alat kekuasaan. Pancasila hanya sekadar hapalan, belum diterapkan secara maksimal. Apakah bangsa ini harus kehilangan keteladanan? Tidak adakah perilaku warga negara yang bisa dijadikan teladan bagi semua? Yudi Latif secara apik telah menceritakan perilaku nyata dari tokoh bangsa sampai rakyat biasa. Banyak contoh perbuatan yang telah dituliskan oleh Yudi Latif, kiranya contoh perbuatan di bawah ini dapat menggugah kita sebagai bangsa Indonesia untuk tidak lagi mengatakan bahwa telah terjadi krisis keteladanan.
ADVERTISEMENT
Teladan Ketuhanan yang berperikemanusiaan
Prawoto Mangkusasmito, seorang tokoh dari Partai Masyumi dan Muhammadiyah yang pernah menjadi Wakil Perdana Menteri (2 April 1952-31 Juli 1953) dan menjadi Wakil Ketua I Konstituante (10 November 1956-5 Juli 1959) belum mempunyai rumah sampai menjelang akhir dekade 1950-an. Ia memang dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Dalam situasi politik yang panas di Konstituante berkenaan dengan perbedaan pandangan politik menyangkut Dasar Negara, tidak menghilangkan kepedulian I.J Kasiomo yang saat itu merupakan seorang Ketua Partai Katolik untuk memberikan bantuan pada Prawoto. Kebetulan saat itu, pemilik rumah tersebut adalah seorang suster Katolik keturunan Tionghoa, bernama Tan Kin Liang. I.J Kasimo berusaha untuk mempersuasi pemilik rumah tersebut hingga rumah yang berada di Jalan Kertosono itu dapat dibeli oleh Prawoto pada 20 Maret 1959. Bahkan banyak sumber mengatakan, I.J. Kasimo turut membantu mengumpulkan dana untuk membeli rumah tersebut.
ADVERTISEMENT
Kisah yang melibatkan dua tokoh dengan perbedaan corak keagamaan dan politik yang berbeda itu telah menunjukkan adanya semangat Ketuhanan yang berperikemanusiaan. Semangat Ketuhanan yang penuh kasih sayang, toleran dan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Teladan Kemanusiaan
Yudi Latif (2014, 128-129) juga mendeskripsikan dengan detail tentang teladan Otto Iskandar Di Nata dalam perjuangannya memuliakan harkat kemanusiaan kaum terjajah. Otto lahir di Bandung pada 31 Maret 1897, ia merupakan putra dari seorang Lurah di Bojongsoang Bandung yang bernama Raden Nataatmadja. Ia menyelesaikan studinya di Sekolah Guru Atas (Hogere Kweekschool) di Purworejo, dan menjadi guru di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Negeri Pekalongan sejak tahun 1924. Selama menjadi guru di Pekalongan, Otto terlibat aktif di sebuah organisasi bernama Budi Utomo, ia menjadi anggota Dewan Kota Pekalongan. Ia tampil sebagai pejuang kemanusiaan yang memedulikan nasib rakyat dan mendorong rakyat untuk bergerak melawan ketidakadilan yang dirasakan oleh para petani, peristiwa ini kemudian dikenal dengan “Peristiwa Bandungan Kemuning”.
ADVERTISEMENT
Menurut Otto, tanah adalah sumber kehidupan bagi petani. Ia memikirkan bagaimana nasib petani di Kemuning jika tanah yang mereka miliki diambil paksa oleh pengusaha untuk perluasan Perkebunan Tebu Wonopringgo atas izin dari Residen Pekalongan saat itu yaitu J.F. Jasper. Petani yang melawan untuk tidak menyerahkan tanahnya akan mendapat ancaman, dianggap melawan penguasa, bahkan mengalami penyiksaan. Oleh karena itu, beberapa petani terpaksa memilih untuk menyerahkan tanahnya.
Tentu saja Otto tidak terima hal tersebut yang menurutnya tidak adil. Ia berupaya untuk agar pengusaha perkebunan mengembalikan tanah-tanah milik rakyat. Namun, upaya tersebut mendapat penolakkan dari Residen Pekalongan yang kemudian mengancam Otto dibuang ke Boven Digul. Mendengar ancaman itu, Otto tidak gentar dan tidak takut sama sekali. Bahkan ia berani membongkar kasus penyiksaan yang dilakukan kepala polisi kepada rakyat.
ADVERTISEMENT
Perjuangan Otto rupanya tidak sia-sia. Sekolah Kartini yang selama ini ia pimpin di Pekalongan telah berhasil melawan ketidakadilan dan membuat rakyat kembali memperoleh hak atas tanahnya. Selain itu, Residen Pekalongan dicopot dari jabatannya. Akan tetapi meskipun begitu, pada tahun 1928 Otto dipindahkan ke Batavia oleh pemerintah kolonial karena pengaruhnya dikhawatirkan akan meluas untuk memperoleh keadilan bagi rakyat kecil.
Dari semua yang telah dilakukannya, Otto menunjukkan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab serta adanya komitmennya yang besar pada perjuangan kemanusiaan dalam melawan ketidakadilan terhadap rakyat kecil.
Teladan Persatuan
Teladan persatuan ini Yudi Latif (2014, 263-254) menukil kisah Raja Ngayogyakarta. Dalam bunga rampai untuk mengenang kisah perjalanan hidup seorang raja Jawa, Tahta untuk Rakyat, terdapat cerita yang menyentuh tentang sosok Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Cerita ini dituturkan oleh S.K. Trimurti, yaitu seorang pejuang sekaligus wartawan senior yang secara langsung melihat kejadian ini. Diceritakan, seorang tukang bakul beras dari Kaliurang, menghentikan jip yang menuju ke arah selatan. Tukang bakul beras ini hendak berjualan di Pasar Kranggan dan ingin menumpang untuk pergi kesana. Biasanya, ia menumpang kendaraan yang kerap kali lewat. Saat jip berhenti, ia meminta tolong kepada sopir untuk menaikkan karung-karung berasnya itu dan menurunkannya ketika sampai di pasar.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di pasar, mbok yang merupakan tukang bakul tadi hendak membayar ongkos kepada sopir. Akan tetapi, sopir menolak ongkos itu dengan sopan. Karena tersinggung, tukang bakul itu pun marah-marah karena mengira sopir jip meminta bayaran lebih. Tanpa menghiraukan perkataan tukang bakul, sopir pun kembali mengendarai jip. Polisi yang menyaksikan kejadian tersebut segera mendekati tukang bakul itu dan memastikan apakah ia tahu siapa sopir yang mengantarnya tadi. Ternyata tukang bakul itu benar-benar tidak tahu. Setelah polisi memberi tahu bahwa sopir yang mengantarnya tadi adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX alias Raja Ngayogyakarta, tukang bakul pun langsung pingsan tidak sadarkan diri.
Kisah itu hanya sebagian kecil dari pemenuhan janji Sri Sultan yang pernah ia sampaikan dalam pidato penobatannya pada tanggal 18 Maret 1940. Ia pernah berjanji, bahwa ia akan memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa. Hingga kini, nama Sri Sultan Hamengkubuwono IX dikenang sebagai pemimpin yang melindungi rakyatnya dan selalu memosisikan dirinya sebagai pengabdi rakyat.
ADVERTISEMENT
Teladan Kerakyatan
Begitu mendengar Taman Siswa, sebagai bangsa Indonesia, telinga kita mungkin sudah tidak asing lagi. Sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara ini berdiri pada tangggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Dalam tulisannya, Yudi Latif (2014) memaparkan bahwa di sekolah Taman Siswa, ditanamkan pendidikan katakter yang kuat, bagaimana menjadi manusia Indonesia yang santun, tulus, jujur dan bersahaja, namun berani, teguh, dan setia dalam memperjuangkan kemerdekaan, kebenaran, dan keadilan. Sifat-sifat tersebut juga dimiliki oleh Ki Hajar Dewantara sendiri. Ia pernah memperjuangkan hak kemerdekaan pada peristiwa rapat umum di Lapangan Ikada (sekarang Monas) pada tanggal 19 September 1945. Pada saat itu pemerintah RI yang baru diumumkan harus menghadapi tantangan untuk hadir di tengah-tengah massa rakyat dengan menembus kepungan angkatan bersenjata Jepang yang ada di sekeliling lapangan. Sebagian massa menuntut Presiden, Wakil Presiden, dan anggota kabinet untuk dapat hadir di lapangan Ikada sehingga rakyat yang menanti kehadiran tersebut tidak kecewa. Para pemimpin pemerintah itu pun sepakat untuk hadir memenuhi keinginan rakyatnya. Saat itu, Menteri yang siap membuka jalan untuk memasuki Lapangan Ikada sebelum Presiden adalah Menteri Pengajaran, yaitu Ki Hadjar Dewantara. Ia bersama Mr. Achmad Subardjo (Menteri Luar Negeri) dan Mr. Iwa Koesoemasoemantri (Menteri Sosial), merelakan tubuhnya sebagai tameng. Padahal, bisa saja angkatan bersenjata Jepang sewaktu-waktu membantai rombongan menteri yang pertama memasuki lapangan dengan maksud mencegah pemerintahan RI menyatakan kemerdekannya dihadapan rakyat dan dunia internasional.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sifat kesederhanaan Ki Hajar Dewantara juga terlihat setelah ia ditetapkan sebagai Menteri Pengajaran Indonesia yang pertama. Sebagai seorang menteri, ia tidak pernah malu membeli perabotan bekas dari teman atau pun tetangganya. Ia juga kerap kali pulang larut malam, namun tidak pernah meninggalkan kesempatan untuk makan malam bersama keluarga.
Kisah perjuangan Ki Hajar Dewantara mencerminkan adanya empati pada orang-orang kecil, rasa hormat terhadap persamaan derajat manusia, serta kegigihannya dalam memperjuangkan kedaulatan rakyat dengan semangat kekeluargaan. Menurut Yudi Latif dalam bukunya, Mata Air keteladanan Pancasila dalam Perbuatan (2014), semangat kerakyatan Ki Hajar Dewantara senapas dengan rumusan demokrasi ideal menurut paham kebangsaan Indonesia yang terkandung dalam sila keempat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
ADVERTISEMENT
Teladan Keadilan
Teladan keadilan dapat dipelajari dari sosok Dr. Johannes Leimena, seorang Menteri Kesehatan yang pernah menjabat pada 1953-1955. Astiannis dan Saripudin dalam tulisannya yang berjudul Johannes Leimenna Dalam Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia (1946-1956) (2018), pada saat Dr. Johannes Leimena menjabat sebagai Menteri Muda Kesehatan maupun setelah menjadi Menteri Kesehatan, ia dihadapkan pada berbagai permasalahan kesehatan di Indonesia, salah satunya angka kematian ibu dan anak yang cukup tinggi. Masalah lainnya adalah kekurangan gizi yang juga dialami oleh masyarakat, khususnya ibu dan anak. Permasalahan-permasalahan tersebut melatarbelakangi upaya Dr. Johannes Leimenna dalam meningkatkan kesehatan Ibu dan anak melalui program Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA), penyuluhan kesehatan dan peningkatan gizi. Selain itu, kepeduliaanya terhadap kesehatan masyarakat juga membuatnya mengembangkan pelayanan kesehatan yang saat ini dikenal dengan Puskesmas. Dokter yang akrab disapa Om Jo ini dalam rencananya, mengonsepsikan pelayanan kesehatan untuk pencegahan (preventif) dan penyembuhan (kuratif) serta pemerataan fasilitas layanan kesehatan di kota dan desa. Jejak Dokter Leimena merupakan contoh upaya mewujudkan terciptanya keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Setelah mengetahui apa yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh bangsa. Generasi penerus bangsa perlu melakukan refleksi kebangsaan tentang pentingnya implementasi nilai-nilai Pancasila, dapat disadari bahwa nilai-nilai Pancasila masih aktual untuk dilaksanakan, tentunya dengan memperhatikan perkembangan teknologi informasi, revolusi industri terkini. Kemasan boleh berbeda, tapi esensi nilai-nilai Pancasila itu tetap relevan bagi bangsa Indonesia karena ia digali dari khasanah budaya bangsa Indonesia sendiri.