Soedirman: Guru dan Tentara Pemersatu Bangsa

Muhammad Japar
Dosen Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
23 November 2020 13:24 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Japar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Soedirman: Guru dan Tentara Pemersatu Bangsa
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, media massa telah menayangkan pernyataan Panglima TNI dan Pangdam Jaya untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam tayangan tersebut, Pangdam Jaya dengan tegas menyatakan bahwa ia memerintahkan prajuritnya untuk menurunkan baliho Habib Rizieq Shihab di wilayah DKI Jakarta setelah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) gagal melakukannya karena baliho tersebut terus dinaikan.
ADVERTISEMENT
Bahkan, ia juga mengatakan bahwa siapa saja yang mencabik-cabik atau merusak persatuan dan kesatuan bangsa akan berhadapan dengan TNI.
Sebenarnya, pernyataan tentang persatuan dan kesatuan bangsa sah-sah saja dilontarkan oleh pemimpin TNI. Pertanyaannya, apakah ajakan menjaga persatuan dan kesatuan terhadap komponen bangsa sudah menggunakan narasi yang tepat?
Jenderal Soedirman. Foto: Shutter Stock
Apakah tidak ada cara yang lebih sejuk untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa? Persatuan dan kesatuan bangsa adalah nilai yang harus diperjuangkan secara konsisten dengan aksi nyata, bukan dengan jargon, perintah atau ancaman terhadap komponen bangsa.
Di Indonesia, persatuan dan kesatuan bangsa seringkali mendapatkan tantangan. Mengingat, bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terdiri dari beragam suku, agama, ras dan golongan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, Indonesia terdiri dari kurang lebih 255 juta jiwa penduduk, 2.500 bahasa daerah, 1.340 suku bangsa yang memiliki beragam adat istiadat dan budaya, serta 6 agama yang diakui negara.
Fakta keberagaman tersebut menjadi refleksi bagi pemerintah untuk senantiasa menjaga dan merawat ke-Indonesiaan. Sebab, semakin besar keberagaman suatu bangsa, semakin besar pula potensi untuk terjadinya disintegrasi.
Oleh karena itu, diperlukan cara-cara yang cerdas dan bijaksana untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Sederhananya, pemerintah harus mampu merangkul, bukan memukul komponen bangsa.
Keteladanan para pendiri bangsa yang rela berkorban, berjuang, mengabdi bahkan mengalah demi persatuan bangsa Indonesia patut diteladani. Dalam hal ini, Jenderal Soedirman adalah salah satu tokoh yang mashur dan patut diteladani dalam sejarah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jenderal Soedirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916 di Purbalingga, Jawa Tengah. Ia adalah seorang guru dan kepala sekolah, pandai membuat sajak, pendiri koperasi, pemain teater, pesepakbola bahkan pernah menjadi politikus.
Jenderal Soedirman dikenal memiliki kepribadian yang baik dan tegas. Pada saat menjadi guru di Sekolah Dasar Muhammadiyah, ia tampil sebagai pribadi yang tegas, tertib, disiplin dan bertanggung jawab. Begitupun saat menjadi Kepala Sekolah, ia selalu bersikap dan berperilaku dengan arif, jujur, demokratis dan akomodatif.
Kepribadiannya ini juga diaplikasikan di lingkungan angkatan perang, ia selalu mengajak para prajurit untuk terus konsisten menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, pantang menyerah dan selalu memperjuangkan kepentingan bangsa.
Keberadaan Jenderal Soedirman dinilai mampu membawa dampak positif bagi kemajuan tentara nasional dalam sejarah. Saat diangkat menjadi Panglima Besar, usianya relatif muda yaitu 29 tahun.
ADVERTISEMENT
Namun, ia memiliki kematangan emosional yang baik dan stabil sehingga mampu menenangkan panglima-panglima di bawahnya yang usianya lebih muda dan cenderung emosional.
Soedirman pernah menulis surat kepada Presiden Sukarno, salah satu kutipan surat itu bertuliskan “Satu-satunya hak milik nasional Republik yang masih tetap utuh dan tidak berubah-ubah meskipun harus menghadapi segala macam soal dan perubahan hanyalah Angkatan Perang Republik Indonesia (sekarang TNI).
Maka menjadi kewajiban bagi kita sekalian yang senantiasa tetap mempertahankan tegaknya Proklamasi 17 Agustus 1945, untuk tetap memelihara agar supaya hak milik nasional republik itu tidak dapat diubah-ubah oleh keadaan yang bagaimanapun juga”.
Mohammad Roem menulis bahwa Sudirman termasuk salah seorang perwira yang menentang perjanjian Roem-Royen, karena curiga akan terulangnya kembali kelicikan Belanda. Suatu pagi, pada tanggal 2 Agustus 1949, Soedirman memanggil Nasution dan mengajaknya turut menghadap Soekarno di istana Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Soedirman hendak mengundurkan diri sebagai bentuk penolakan gencatan senjata. Ia menyatakan bahwa dirinya tidak bisa lagi mengikuti politik pemerintah, sehingga terpaksa mengundurkan diri.
Pernyataannya itu mendapatkan penegasan dari Nasution yang mengatakan bahwa itu merupakan pendirian semua panglima.
Soekarno yang mendengar hal itu mengatakan bahwa jika itu adalah pendirian pimpinan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia), ia akan melakukan hal yang sama, yaitu mengundurkan diri bersama Mohammad Hatta dan bersedia mengikuti pimpinan APRI meneruskan perjuangan. Seketika, air mata pun mengalir. Mereka bersalaman dan berpisah. Sorenya, Nasution dipanggil ke tempat Soedirman.
Ajudannya menyerahkan surat pengunduran diri yang belum diberi nomor. Sebelum diantar kepada Soekarno, Nasution membaca surat itu terlebih dahulu. Setelah itu, Nasution kembali menghadap Soedirman yang terbaring di tempat tidur. Dia mengatakan, “Lebih penting persatuan pimpinan APRI dengan Soekarno-Hatta daripada soal strategi perjuangan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana baiknya strategi, kalau pecah antara kedua pucuk pimpinan nasional dan militer, maka perjuangan akan gagal”. Mendengar hal itu, Soedirman menyadari bahwa perkataan tersebut ada benarnya, ia pun setuju dengan Nasution.
Akhirnya, surat itu tidak jadi dikirimkan, melainkan menjadi dokumen historis yang masih ada sampai saat ini.
Di samping itu, Roeslan Abdulgani juga menulis, meskipun menentang politik perundingan, Soedirman tetap menunjukkan sikap loyal terhadap apa saja yang menjadi keputusan pemerintah. Soedirman selalu menegaskan bahwa tentara adalah alat negara. Tentara tidak berpolitik.
Politik tentara adalah politik negara. Figur Soedirman hendaknya bisa menjadi contoh bagaimana para pemimpin baik militer maupun sipil bersikap dan bertindak dalam menghadapi masalah-masalah persatuan dan kesatuan bangsa.
ADVERTISEMENT
Karakter sederhana, tegas, berani tetapi tetap santun terhadap sesama dari Soedirman kiranya dapat menjadi praktik baik bagi bangsa Indonesia. Para pemimpin negara memiliki kesempatan yang sangat luas untuk menjadi guru pemersatu bangsa. Semoga.