Lambatnya Peran ASEAN dan Eskalasi Konflik Myanmar

M Scessardi Kemalsyah
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
9 September 2021 15:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Scessardi Kemalsyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tangkapan layar dari pernyataan Presiden Duwa Lashi La pada 7 September 2021 lalu. Diakses melalui tayangan langsung akun Facebook resmi CRPH Myanmar melalui link https://www.facebook.com/watch/live/?v=924237501776114&ref=watch_permalink.
zoom-in-whitePerbesar
Tangkapan layar dari pernyataan Presiden Duwa Lashi La pada 7 September 2021 lalu. Diakses melalui tayangan langsung akun Facebook resmi CRPH Myanmar melalui link https://www.facebook.com/watch/live/?v=924237501776114&ref=watch_permalink.
ADVERTISEMENT
Konflik di Myanmar kembali mengalami eskalasi pasca dideklarasikannya Perang Pertahanan Rakyat oleh Presiden Duwa Lashi La Pemerintahan Sipil NUG Myanmar (National Unity Government) pada 7 September 2021 lalu. Pemerintahan NUG meminta masyarakat dan Organisasi Etnis Bersenjata di Myanmar untuk berperan aktif melawan pemerintahan junta militer di bawah pimpinan Min Aung Hlaing. Ironisnya, deklarasi ini dikeluarkan hanya tiga hari setelah Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar, Erywan Yusof, mengajukan proposal gencatan senjata kepada pimpinan junta yang belum disetujui pula.
ADVERTISEMENT
Setelah berbulan-bulan usaha rakyat Myanmar untuk melawan rezim junta dengan cara-cara damai dan nirkekerasan, ASEAN masih belum juga menunjukkan kinerja maksimumnya dalam menyelesaikan konflik ini. ASEAN nampaknya meremehkan kemauan junta militer Myanmar dan terbatas hanya pada upaya-upaya dialog dan diplomasi tertutup yang seperti dapat dilihat tidaklah efektif. Pendekatan semacam ini justru hanya akan semakin memperburuk citra ASEAN.
Pimpinan junta militer cenderung mengabaikan 5 Poin Konsensus yang dihasilkan oleh KTT Istimewa ASEAN di Jakarta. Hal ini terlihat dari pernyataan Jenderal Min Aung Hlaing yang hanya akan menindaklanjuti konsensus tersebut setelah ia bisa menstabilkan negaranya. Hal ini berarti tetap melanjutkan pembunuhan terhadap masyarakat sipil, wanita, dan anak-anak hingga kekuasaannya tidak terkalahkan.
Suasana pertemuan KTT ASEAN yang dihadiri oleh kepala negara ASEAN dan perwakilan di Gedung Sekretariat ASEAN Jakarta, Sabtu (24/4/2021). Foto: Setpres-Muchlis Jr/HO ANTARA FOTO
Penunjukan Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar juga sangat terlambat karena baru tercapai berbulan-bulan pasca KTT Istimewa ASEAN tersebut. Sebuah keputusan yang sangat terlambat jika dibandingkan dengan jumlah korban jiwa yang terus bertambah. Hal ini diperparah dengan belum adanya kepastian akan kunjungan Utusan Khusus ASEAN tersebut untuk mengunjungi Myanmar karena belum ada kesepakatan dengan pimpinan junta militer.
ADVERTISEMENT
Semua upaya ini kemudian hanya memperburuk wajah ASEAN di hadapan rakyat Myanmar dan NUG. Rakyat Myanmar dalam beberapa demonstrasi membakar bendera ASEAN sebagai simbol ketidakpuasan mereka terhadap lambatnya usaha ASEAN. Deklarasi Presiden NUG tepat setelah pengajuan proposal gencatan senjata dapat diterjemahkan sebagai isyarat bahwa NUG tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap ASEAN dan sudah waktunya mereka untuk bertindak sendiri.
Ini juga bukanlah pertama kalinya NUG dikecewakan oleh ASEAN. Selain keputusan ASEAN untuk hanya mengundang Min Aung Hlaing ke KTT Istimewa ASEAN beberapa saat lalu, CRPH (The Committee Representing Pyidaungsu Hluttaw) sebagai Parlemen Myanmar hasil pemilu 2020 mengajukan keberatan akibat tidak diundangnya mereka pada ASEAN Inter-Parliamentary Assembly dan justru mengundang perwakilan dari rezim junta militer.
ADVERTISEMENT
Absennya peran komunitas internasional khususnya ASEAN dalam mentransformasi konflik merupakan pengulangan kegagalan yang merugikan dan mengkhianati semua aksi nirkekerasan yang dilakukan oleh rakyat yang telah dimulai sejak Februari 2021. Walaupun ada beberapa sanksi internasional seperti dari Uni Eropa dan Inggris, hal ini tidaklah cukup untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh rezim junta militer.
Ketiadaan reaksi internasional yang kuat sangat berbahaya. Hal ini bisa kita lihat pada tahun 2007 di mana Revolusi Saffron di Myanmar mengalami kegagalan meskipun memiliki partisipasi besar dari para biksu dan masyarakat sipil lainnya dalam demonstrasi. Kondisi ini terjadi karena ketidakmampuan DK PBB untuk mencapai kesepakatan dan hanya memberikan Jenderal Than Shwe kesempatan untuk tidak bekerja sama dalam dialog dengan PBB dan mempertahankan kekuasaannya.
ADVERTISEMENT