Moral dan Kepatuhan: 'Girl From Nowhere' dan Gerakan Demokrasi Thailand

M Scessardi Kemalsyah
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
8 Juli 2021 16:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Scessardi Kemalsyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Drama serial TV "Girl From Nowhere" asal Thailand dengan tokoh utama "Nanno" (Chicha "Kitty" Amatayakul) bisa jadi sebagai salah satu drama thriller yang cukup banyak ditonton kalangan remaja khususnya di Indonesia. Selain menimbulkan pertanyaan mengenai sosok Nanno itu sendiri, serial ini sebetulnya berusaha membawa isu-isu sosial di masyarakat yang lekat dengan kehidupan sehari-hari. Mulai dari kekerasan seksual, kemiskinan struktural, hingga isu mengenai kebebasan bisa ditemukan di sini.
Grand Palace di Bangkok sebagai pusat moralitas bangsa Thailand sebagai simbol kekuasaan kerajaan. (Sumber: Pixabay)
Salah satu hal yang cukup menarik adalah adanya isu yang cukup paralel antara salah satu episode "Girl From Nowhere" musim kedua dengan gerakan demokrasi di Thailand yang hingga saat ini sedang berlangsung. Hal yang unik adalah gerakan ini dimotori oleh kelompok mahasiswa dari berbagai universitas dan juga siswa-siswi sekolah menengah atas.
ADVERTISEMENT
Gerakan Demokrasi Thailand yang bergulir sejak Februari 2020 merupakan sebuah gerakan yang mendukung pemerintahan Thailand yang lebih demokratis dengan membawa beberapa tuntutan seperti pembubaran parlemen, mundurnya PM Prayuth Chan-o-Cha, pembentukan konstitusi baru, hingga reformasi monarki di mana kerajaan dianggap sebagai biang keladi dari sistem politik Thailand yang otoriter. Tuntutan ini pun cenderung progresif dibandingkan dengan sistem politik Thailand yang konservatif.
Salah satu episode di musim kedua ini menggambarkan Nanno sebagai seorang siswi di Sekolah Pantana Wittaya dalam balutan warna monokrom di sepanjang episode tersebut. Sekolah ini memiliki aturan yang cukup ketat dan kadang tidak masuk akal namun dibungkus dengan alasan moral. Selain itu, kehadiran aturan-aturan ini kemudian wajib dipatuhi oleh siswa-siswinya melalui keberadaan siswa-siswi pilihan untuk memantau perilaku murid lainnya. Di sini terlihat bagaimana kemampuan berpikir kritis tidak diperbolehkan karena tidak sepatutnya dilakukan pelajar yang bermoral.
ADVERTISEMENT
Contohnya adalah bagaimana Nanno kerap menunjukkan perilaku yang tidak patuh seperti menggunakan lipstick, menolak pemeriksaan tas secara paksa, membakar buku peraturan sekolah (yang sebetulnya tidak dilarang), dan menggunakan aksesoris-aksesoris berwarna serta menunjukkan kebahagiaan. Hal ini tidak sesuai dengan aturan sekolah tersebut yang menganggap moral dan etika adalah basis dari kedisiplinan yang bisa menjamin masa depan siswa-siswinya.
Thailand sendiri kental akan nilai-nilai konservatif berbasis moral dalam kehidupan sosial-politiknya. Menurut Winichakul, salah satunya adalah konsepsi kerajaan yang sakral dan menjadi basis moral identitas bangsa Thai dan sepatutnya tidak disentuh. Hal ini terlihat dari kehadiran berbagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara seperti adanya 12 poin nilai kebangsaan Thai yang di rumuskan PM Prayuth Chan-o-Cha. Kondisi ini menunjukkan pentingnya menunjukkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada untuk bisa diterima dan diakui sebagai bangsa Thai yang baik dan ada sanksi sosial yang bisa diterima.
ADVERTISEMENT
Selain itu, nilai-nilai keluarga-sentris juga dominan. Nilai-nilai untuk menghormati yang lebih tua bisa dibilang lumrah ditemukan tidak hanya di Thailand tetapi juga di negara-negara Asia lainnya seperti Indonesia. Nampaknya sangat penting bagi generasi yang lebih muda untuk patuh terhadap yang lebih tua walaupun terkadang hal tersebut tidak masuk akal sebagaimana terlihat di serial ini di mana siswa-siswi harus patuh pada serangkaian aturan dan guru-guru yang sebetulnya tidak memberikan pengaruh banyak bagi kehidupan mereka. Hal lucu lainnya, salah satu aturan sekolah tersebut juga menekankan kewajiban patuh pada guru terlepas dari kebijakan mereka benar atau salah.
Kondisi ini merefleksikan kehidupan sosial Thailand dan beberapa konteks yang melatarbelakangi lahirnya gerakan demokrasi ini. Gerakan ini didominasi oleh mahasiswa dan pelajar sekolah menengah. Pelajar sekolah menengah di sini turun dalam sebuah gerakan bernama "Bad Student Group" dengan membawa tuntutan tambahan yaitu reformasi pendidikan dan mengkritik aturan-aturan yang tidak adil seperti ketentuan cara berpakaian yang sesuai moral. Terlihat bagaimana kelompok ini menunjukkan ketidakpatuhannya terhadap ketentuan berpakaian yang sedemikian rupa karena dianggap diskriminatif dan tidak berpengaruh terhadap baik kedisiplinan maupun kehidupan di masa depan.
ADVERTISEMENT
Gerakan pelajar dan mahasiswa ini juga menunjukkan generational gap mengenai pemahaman moral dan kepatuhan. Tuntutan gerakan yang progresif cenderung dianggap tabu oleh orang-orang dari generasi tua yang cenderung konservatif karena dianggap menyerang kerajaan yang sakral. Kesenjangan ini bisa terlihat dari bentroknya pemikiran progresif-konservatif yang mewarnai gerakan ini. Salah satu contohnya adalah rusaknya hubungan anak dan orang tua akibat kesenjangan ini. Selain itu, warna monokrom dalam episode ini juga bisa diartikan adanya semacam keterjebakan dalam suatu sistem yang mengekang.
Selain itu, gerakan yang muncul juga menunjukkan adanya hierarki sosial yang juga tergambar dari serial ini. Nanno sebagai seorang pelajar berada di posisi terendah dari hierarki sekolah yang didominasi guru dan kepala sekolah sekaligus adanya hierarki berbasis umur. Pada gerakan demokrasi, terlihat bagaimana mahasiswa dan pelajar berada di tingkat terendah dengan posisi teratas ditempati kerajaan kemudian disusul junta militer. Posisi kerajaan dan junta di sini memiliki fungsi membentuk pengaturan tatanan politik dengan landasan moral sama seperti peran guru dan kepala sekolah di serial ini.
ADVERTISEMENT
Episode ini juga menunjukkan Nanno dan Yuri yang mampu memobilisasi pelajar lainnya untuk memprotes guru dan kepala sekolah mereka setelah memahami dan membongkar kejahatan mereka. Kondisi ini juga terlihat di gerakan ini di mana para mahasiswa dan pelajar kemudian berani untuk melawan tidak sebatas lingkungan sekolahnya namun juga pemerintah dan kerajaan yang selama ini berlindung dibangun basis moralitas dan kedisiplinan yang mulai menemui kedaluwarsanya. Nampaknya hal ini bukanlah hal yang bisa dihindari seiring dengan perkembangan dan zaman
Referensi:
Winichakul, T., 2014. The Monarchy and Anti-Monarchy. In: P. Chachavalpongpun, ed., Good Coup Gone Bad. Singapore: ISEAS, pp.81-89.