news-card-video
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Korupsi Pertamina Ungkap Ekosistem Mafia BUMN, Pentingkah Reformasi Tata Kelola?

Muhammad Khalid
A young researcher and socio-political activist who aims to create a just and sustainable future. Graduated from International Relations at UGM, currently active as a Human Rights and Democracy Campaigner at INFID and Associated Policy Researcher.
2 Maret 2025 11:50 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Khalid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana salah satu SPBU di Yogyakarta, bensin Pertamax mendadak sepi peminat menyusul isu blending yang terungkap dalam pemeriksaan kasus korupsi. Foto: dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Suasana salah satu SPBU di Yogyakarta, bensin Pertamax mendadak sepi peminat menyusul isu blending yang terungkap dalam pemeriksaan kasus korupsi. Foto: dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
Kasus rasuah triliunan rupiah sontak membuat rakyat marah. Hukuman berat sepantasnya ditimpakan kepada mereka yang berulah. Tanpa banyak yang tahu bahwa di atas sana, masih ada kompolotan yang bebas meraup untung dan berpesta. Potret sama untuk kesekian kali, bukti bahwa bangsa ini masih belum bersih dari pencuri.
ADVERTISEMENT
Belum reda perbincangan soal aksi #IndonesiaGelap, kita kembali dibuat mengelus dada oleh dugaan megakorupsi anak perusahaan Pertamina. Angkanya tidak main – main, Kejaksaan Agung mencatat kerugian negara sebesar 193 triliun rupiah untuk tahun 2023, sementara totalnya bisa menyentuh hingga 5 kali lipatnya mengingat kasus ini berlangsung selama tahun 2018 – 2023. Kerugian berasal dari mark-up impor minyak, serta adanya dugaan blending kandungan BBM non-subsidi Pertamax yang semakin membuat masyarakat kecewa. Tujuh orang tersangka telah ditetapkan, tetapi penyelesaian akan kecurangan sebesar ini tidak bisa sampai di situ saja. Perlu ada penelusuran lebih jauh untuk menyelesaikan hingga akar persoalan, dan perbaikan tata kelola oleh seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun pengelola negara.
ADVERTISEMENT
Ini bukan pertama kalinya BUMN dilanda isu korupsi. Belum hilang dari ingatan kita, beberapa tahun lalu PT Asuransi Jiwasraya memanipulasi dana investasi dengan angka yang juga tidak sedikit, mencapai 16 triliun rupiah. Hal ini tidak hanya berimbas pada negara sebagai pemilik badan usaha, tetapi juga masyarakat sebagai pengguna jasa yang kehilangan uang asuransinya. Publik dibuat kecewa dan meragukan kapasitas negara dalam mengelola hajat hidup strategis. Sudah sepatutnya apa yang terjadi pada BUMN menjadi perhatian publik, mengingat rakyat berperan besar dalam pembiayaan melalui APBN yang bersumber dari pajak. Idealnya biaya tersebut dihitung sebagai modal untuk menghasilkan keuntungan bagi negara dan digunakan untuk menunjang kesejahteraan umum. Namun faktanya, banyaknya BUMN yang merugi atau untung tapi tidak efisien, menandakan bahwa timbal balik kepada rakyat masih jauh dari kata optimal.
Sumber: Paparan 'BUMN: Profit, Publik. atau Politik?' oleh Transparency International
Pada kasus Pertamina, jumlah kerugian yang terungkap sejauh ini belum dihitung dari sisi kerugian perekonomian atau biaya sosial korupsi meliputi berbagai indikator turunan seperti hilangnya pemasukan negara akibat public distrust terhadap Pertamina, dampak kerusakan mesin yang menghambat aktivitas ekonomi, juga berkaitan dengan ketidaktepatan subsidi yang dialokasikan. Metode penghitungan ini merupakan upaya progresif untuk mengungkap kasus dari sisi yang selama ini tidak terlihat secara langsung, yaitu imbas domino di level akar rumput. Sebagaimana diatur dalam UU Tipikor Pasal 2 dan 3 yang menyebutkan bahwa putusan tindak pidana dapat dikenakan apabila merugikan keuangan atau perekonomian negara. Bukti unsur kerugian perekonomian pernah diterapkan sebelumnya dalam kasus ekspor minyak kelapa sawit di tengah kelangkaan pada tahun 2021 silam.
ADVERTISEMENT

Penyakit Akut Itu Bernama Kultur Koruptif

Kita juga perlu melihat dari sudut pandang yang lebih luas, bahwa megakorupsi turut dipengaruhi oleh kultur koruptif yang menjadi penyakit akut perusahaan milik negara, maupun ekosistem bisnis-politik di Indonesia. Pekerjaan rumah berat ini tidak hanya menjangkiti pejabat politik, tetapi teknokrat bisnis yang digaji miliaran per bulannya untuk mengelola bisnis strategis secara profesional nyatanya terjerat juga. Fenomena ini menjadi alarm bahaya bagi pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk memperketat pengawasan sembari berefleksi, apa yang salah dengan tata kelola bisnis dan pelayanan publik di negara kita? Terlebih baru saja Presiden Prabowo mengumumkan peluncuran Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang proyeksinya akan menjadi pengelola investasi terbesar sekaligus induk seluruh BUMN. Total valuasinya tidak tanggung – tanggung, rencananya akan mengelola aset lebih dari 10.000 triliun rupiah dan menempatkannya sebagai salah satu pengelola investasi terbesar di dunia.
ADVERTISEMENT

Kembali ke Filosofi Ekonomi Kerakyatan yang Terlupakan

Secara mendasar, salah satu solusi kunci atas persoalan ini yaitu mengembalikan konsep BUMN sebagaimana filosofi awalnya, yaitu berbasis ekonomi kerakyatan. Konsep ini mungkin terkesan idealis, tetapi pada dasarnya merupakan asas berpikir yang seharusnya menjadi landasan bagi pelaksanaan sistem ekonomi-politik berbasis identitas Indonesia, Mengacu pada sila ke-4 dan ke-5, struktur ekonomi-politik kita sepatutnya dibangun atas prinsip kerakyatan dengan metode permusyawaratan perwakilan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Istilah lain yang juga kerap digunakan yaitu ekonomi pancasila dan demokratisasi ekonomi, yang menggambarkan spirit ekonomi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pada intinya, ekonomi kerakyatan menekankan pada keberlangsungan proses untuk menyosialisasikan kepemilikan alat – alat produksi kepada segenap anggota masyarakat melalui: (1) penyelenggaraan desentralisasi ekonomi dan (2) pengembangan badan – badan usaha kolektif sebagai pelaku utama perekonomian (Baswir, 2009).
ADVERTISEMENT
Operasionalisasi dari konsep ini tertuang pada Pasal 33 UUD 1945, melalui sistem kooperasi dalam tata kelola bisnis (Pasal 1) dan BUMN sebagai manifestasi Pasal ke-2 dan ke-3. Secara tegas, konstitusi mengamanatkan BUMN untuk mengelola cabang produksi penting demi menunjang kemakmuran rakyat. Artinya untuk mendukung visi ini, diperlukan tata kelola yang profesional, berintegritas, dan betul – betul melibatkan rakyat dalam pelaksanaannya. Ide ini pada praktiknya masih sangat jauh bahkan semakin melenceng seiring waktu. Misalnya dari segi pengangkatan dan pemberhentian Direktur atau Komisaris BUMN, seberapa jauhkah pelibatan masyarakat dalam prosesnya?
Sejauh ini hal tersebut merupakan kewenangan Menteri BUMN (melalui mekanisme RUPS) atas persetujuan Presiden, artinya ada sentralisasi keputusan vital yang berpotensi menimbulkan bias dan konflik kepentingan. Logikanya apabila kita memilih seorang Presiden dan Dewan Perwakilan untuk dititipkan hajat hidup kita, mungkinkan seorang Direktur Pertamina dan Bulog yang juga mengelola kebutuhan primer juga kita pilih secara langsung, atau setidaknya oleh serikat pekerjanya? Bayangan seperti di atas mungkin terkesan sangat jauh, tapi penting menjadi refleksi kita agar korporasi milik negara tidak justru menjadi bancakan elit oligarki sementara rakyat hanya menjadi konsumen yang ‘diperah’.
ADVERTISEMENT
Apabila BUMN berbasis ekonomi kerakyatan dapat terwujud, terdapat beberapa dampak baik yang akan terwujud. Pertama, keterlibatan publik akan mendorong inovasi dan pengembangan melalui feedback dan ide yang tersampaikan secara langsung. Misalnya dengan pemberian peran yang lebih besar kepada serikat buruh, komunitas konsumen, atau perwakilan masyarakat secara berkala dalam pertemuan dengan jajaran Direksi, sangat mungkin akan muncul masukan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya dalam skema bisnis. Apabila ditindaklanjuti dengan sigap, inovasi tersebut membuat BUMN memiliki daya saing dibandingkan dengan perusahaan lainnya di tengah disrupsi.
Kedua, pengawasan unsur masyarakat sangat penting untuk menjaga tata kelola perusahaan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Kultur manajemen yang bersih dan profesional akan menunjang profit yang optimal, sehingga mendorong pengembangan perusahaan serta kontribusi terhadap pemasukan negara. Transparansi juga berfungsi sebagai evaluasi bagi BUMN untuk terus melakukan perbaikan apabila terdapat kekurangan sehingga menciptakan siklus continuous improvement.
ADVERTISEMENT
Ketiga, apabila partisipasi publik berlangsung secara baik dan konsisten, hal ini selanjutnya membangun kepercayaan publik dan loyalitas atau rasa kepemilikan yang kuat sehingga berimbas pada peningkatan penjualan dan kepuasan konsumen. Unsur masyarakat yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan secara naluriah akan merasa memiliki andil terhadap kebijakan atau produk yang dihasilkan oleh BUMN, dengan begitu membangun dorongan untuk berkontribusi dalam mempromosikannya. Melalui interaksi dan komunikasi yang baik dengan customer, secara organik para konsumen akan menjadi promotor ke potensi pasar lainnya terlebih apabila didukung dengan kualitas yang unggul. Hal ini juga dapat linear dengan agenda ketahanan ekonomi negara yaitu pembelian produk dalam negeri sebagai bentuk kebanggaan dan agar tidak kalah saing dengan produk impor. Tentu masih banyak dampak lanjutan lainnya, baik secara instan maupun jangka panjang dari peran serta masyarakat, yang perlu menjadi prioritas sebagai wujud ekonomi kerakyatan dan upaya perbaikan tata kelola BUMN.
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi dan buruknya tata kelola merupakan persoalan sistemik, dan perlu diatasi dengan visi dan prioritas yang tepat. Filosofi dan konstitusi kita harus kembali menjadi rujukan bagi pemimpin negara, yang mungkin terlalu sibuk dengan ambisi politik dan kepentingan bisnisnya. Bagi orang muda, penyelewangan orientasi ekonomi ini perlu kembali diluruskan, meskipun tentu bukan pekerjaan jangka pendek. Banyak hal yang bisa didorong, mulai dari intervensi kebijakan hingga inisiasi gerakan ekonomi kerakyatan yang berorientasi pada perwujudan keadilan sosial seluas – luasnya.