Konten dari Pengguna

Aji Mumpung PTSL dan Urgensi Omnibus Law Agraria

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
21 Februari 2025 13:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sengketa sertifikasi lahan di Indonesia (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sengketa sertifikasi lahan di Indonesia (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang dicanangkan di era Presiden Joko Widodo pada kisaran 2015 hingga 2024, bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, program ini bertujuan mempercepat sertifikasi tanah untuk kepentingan masyarakat. Pada sisi lainnya, program ini membuka celah besar bagi mafia tanah dan memperburuk kesemrawutan tata agraria di Indonesia.
ADVERTISEMENT
PTSL merupakan program ambisius yang bertujuan menerbitkan hingga 8 juta sertifikat. Tujuan ini terdengar ideal dan populis karena memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk mendapatkan hak atas tanah secara gratis. Namun di balik itu, program ini membuka ruang bagi praktik aji mumpung, di mana para mafia tanah memanfaatkan percepatan ini untuk menguasai lahan secara tidak sah dengan dalih menyukseskan program pemerintah.
Mesti diakui bahwa salah satu kelemahan utama dalam PTSL adalah keterbatasan sumber daya manusia di Kementerian ATR/BPN. Seorang pegawai yang biasa menangani lima pengajuan permohonan misalnya, harus menangani hingga 50 pengajuan dengan jumlah tenaga yang tidak bertambah. Akibatnya, banyak proses verifikasi fisik dan keabsahan dokumen yang dilakukan kurang optimal atau bahkan mengarah pada asal-asalan. Celah ini dimanfaatkan mafia tanah untuk merekayasa dokumen, memanipulasi riwayat tanah, hingga menyulap lahan yang seharusnya tidak dapat disertifikatkan menjadi tanah yang sah secara administrasi.
ADVERTISEMENT
Kasus Pagar Laut dan Sengkarut Tata Agraria
Contoh nyata dari dampak buruk PTSL ini dapat dilihat dalam kasus pembangunan pagar laut di Tangerang, Bekasi, dan beberapa daerah lainnya. Mafia tanah dengan mudah memanfaatkan program ini untuk mempercepat legalisasi kepemilikan lahan di kawasan pesisir yang seharusnya berada dalam pengawasan lingkungan dan tata ruang. Tidak hanya merugikan lingkungan, praktik ini juga menimbulkan konflik agraria antara masyarakat pesisir, investor, dan pemerintah.
Masalah lainnya muncul dari konflik kepemilikan yang berbasis riwayat tanah. Indonesia memiliki sistem agraria yang bergantung pada sejarah tanah, yang seringkali dipenuhi dengan persoalan warisan, perpindahan hak, hibah, dan klaim adat. Tanpa pengujian keabsahan yang ketat, sertifikat tanah yang diterbitkan melalui PTSL kerap memicu sengketa baru, yang justru memperumit penyelesaian masalah agraria di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Selain itu, salah satu problem utama terletak pada ketidakjelasan status kepemilikan antara lahan yang masuk dalam kawasan hutan berdasarkan peta kehutanan dengan lahan yang telah memiliki sertifikat. Konflik seringkali muncul ketika ada perbedaan antara klaim kepemilikan masyarakat adat, lahan transmigrasi, dan kawasan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan lindung atau konservasi. Ketidaksesuaian data antara sertifikat tanah dengan peta kehutanan menyebabkan tumpang tindih kepemilikan yang sulit diselesaikan secara hukum. Dalam beberapa kasus, masyarakat yang telah lama mendiami suatu wilayah secara turun-temurun mendapati tanah mereka diklaim sebagai kawasan hutan negara, sehingga menimbulkan gesekan dengan pemerintah dan investor.
Harmonisasi Regulasi Agraria
Kesemrawutan yang terjadi dalam program PTSL menunjukkan betapa mendesaknya harmonisasi regulasi agraria. Saat ini, persoalan tanah di Indonesia masih diatur oleh berbagai undang-undang yang masih tumpang-tindih, seperti Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Kehutanan, serta aturan terkait tanah adat dan bekas milik orang asing. Kekacauan ini menegaskan perlunya suatu Undang-Undang Administrasi Pertanahan yang berfungsi sebagai omnibus law di bidang pertanahan, guna menciptakan sistem yang lebih terintegrasi dan minim celah penyalahgunaan.
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki sekitar 72 juta hektar tanah yang statusnya perlu sertifikat dari negara, dari total luas daratan di Indonesia sekitar 120 juta hektar. Ketidakpastian hukum atas tanah karena sengkarut lahan masyarakat, kehutanan, transmigrasi, dan masyarakat adat menjadi hambatan utama dalam investasi dan pembangunan, karena investor kerapkali menghadapi risiko sengketa lahan yang berkepanjangan.
PTSL yang semula diharapkan menjadi solusi bagi ketidakjelasan kepemilikan tanah, justru membuka jalan bagi berbagai modus mafia tanah. Kelemahan dalam pembuktian fisik, keterbatasan sumber daya manusia, dan ketidakharmonisan regulasi menjadi faktor utama yang membuat program ini rawan penyimpangan.
ADVERTISEMENT
Ketidakpastian agraria bukan sekadar soal tanah, tetapi soal keadilan dan masa depan. Jika hukum tak mampu menata hak dan sejarah tanah dengan bijak, maka sengketa akan terus berulang, mengubur harapan akan kepastian dan kesejahteraan. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap PTSL serta merancang kebijakan agraria yang lebih terstruktur, dengan fokus pada penegakan hukum dan harmonisasi regulasi bidang agraria.