Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.2
Konten dari Pengguna
Boomerang Ketidaknetralan Aparatur Desa dalam Demokrasi Lokal
25 Februari 2025 12:37 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengeluarkan putusan yang menggemparkan dalam perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Serang 2024. Dalam putusan Nomor 70/PHPU.BUP-XXIII/2025, MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menggelar Pemungutan Suara Ulang (PSU) di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) Kabupaten Serang. Keputusan ini diambil setelah terbukti adanya pelanggaran serius yang dilakukan oleh Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT), Yandri Susanto, yang mengarahkan kepala desa untuk memenangkan istrinya, Ratu Rachmatuzakiyah, yang merupakan calon bupati nomor urut 2.
ADVERTISEMENT
Kasus ini menjadi preseden buruk dalam demokrasi lokal. Ketidaknetralan aparatur desa yang secara langsung diarahkan oleh pejabat negara mencerminkan persoalan mendasar dalam sistem politik elektoral Indonesia. Aparatur desa, yang seharusnya bersikap netral dalam perhelatan demokrasi, justru menjadi alat mobilisasi politik. Kejadian ini menunjukkan bagaimana relasi kuasa antara pemerintah pusat dan desa dapat disalahgunakan untuk kepentingan elektoral.
Salah satu bukti nyata intervensi Mendes PDT dalam Pilkada Kabupaten Serang adalah kehadirannya dalam Rapat Kerja Cabang (Rakercab) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kabupaten Serang di Hotel Marbella Anyer pada 3 Oktober 2024. Dalam forum tersebut, kepala desa diarahkan untuk mendukung pasangan calon nomor urut 2. Praktik ini merupakan bentuk nyata politisasi birokrasi desa yang tidak hanya merusak demokrasi, tetapi juga mencederai prinsip netralitas pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Ketidaknetralan aparatur desa dalam pilkada merupakan fenomena yang terus berulang dalam politik elektoral Indonesia. Dengan adanya hubungan patron-klien antara kepala desa dan pemerintah pusat, tekanan politik seringkali terjadi, mengarahkan kepala desa untuk mendukung kandidat tertentu. Hal ini menciptakan distorsi dalam proses demokrasi karena kekuasaan digunakan untuk memengaruhi hasil pemilihan secara tidak sah.
Dampak dari ketidaknetralan aparatur desa dalam Pilkada Kabupaten Serang 2024 sangat signifikan. Dengan adanya instruksi langsung dari seorang menteri, kepala desa dan perangkatnya menjadi instrumen politik yang menguntungkan pasangan calon tertentu. Ini tidak hanya menyalahi prinsip demokrasi, tetapi juga menimbulkan ketidakadilan bagi calon lain yang bertarung dalam kompetisi politik.
Putusan MK untuk melakukan PSU di seluruh TPS Kabupaten Serang menunjukkan bahwa ada kondisi khusus yang mempengaruhi hasil pemilihan secara signifikan. MK secara implisit mengakui bahwa pengaruh aparatur desa dalam pemenangan pasangan calon tertentu telah menciptakan ketimpangan yang melanggar asas pemilu yang jujur dan adil. Hal ini menandai betapa seriusnya persoalan netralitas aparatur negara dalam kontestasi demokrasi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kasus ini menyoroti kelemahan sistem pengawasan pemilu, khususnya dalam mengendalikan intervensi politik oleh pejabat tinggi negara. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus lebih proaktif dalam mengawasi dan menindak tegas bentuk-bentuk ketidaknetralan aparatur negara agar tidak menjadi ancaman bagi demokrasi di masa depan.
Intervensi politik dalam pemilihan kepala daerah juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Jika pejabat negara dapat dengan mudah menggunakan kewenangannya untuk mengarahkan suara, maka integritas pemilu akan terus dipertanyakan. Oleh karena itu, tindakan tegas harus dilakukan untuk memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang di pilkada mendatang.
Sebagai upaya pembenahan, revisi terhadap regulasi yang mengatur netralitas aparatur desa dalam pemilu menjadi keharusan. Pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa kepala desa dan perangkatnya memiliki posisi yang independen dari tekanan politik elit nasional maupun daerah. Selain itu, sanksi yang lebih tegas harus diterapkan bagi pejabat negara yang terbukti melakukan intervensi politik dalam pemilu. Kinerja KPU maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) setidaknya hanya sekedar prosedural, sehingga belum menjamin kualitas demokrasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kasus Pilkada Kabupaten Serang harus menjadi pembelajaran bagi seluruh pemangku kepentingan demokrasi di Indonesia. Jika praktik ketidaknetralan aparatur desa terus dibiarkan, maka demokrasi elektoral kita akan semakin terdistorsi. Pemilu yang bersih, jujur, dan adil hanya dapat terwujud jika semua elemen birokrasi, terutama di tingkat desa, dapat menjalankan tugasnya tanpa intervensi politik.
Putusan MK dalam kasus ini memberikan harapan baru bagi perbaikan sistem pemilu di Indonesia. Dengan adanya PSU, masyarakat Kabupaten Serang memiliki kesempatan kedua untuk menentukan pemimpinnya tanpa adanya intervensi dari pejabat negara. Ini adalah momen penting untuk menegaskan kembali prinsip demokrasi dan memastikan bahwa pemilu berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Terakhir, ketegasan dalam menindak pelanggaran pemilu harus menjadi prioritas dalam membangun demokrasi yang sehat. Kasus ini bukan hanya tentang satu daerah, tetapi tentang bagaimana kita menjaga kualitas demokrasi di seluruh Indonesia. Ketidaknetralan aparatur desa yang menjadi boomerang dalam proses demokratisasi harus segera diatasi agar pemilu di masa depan benar-benar mencerminkan kehendak rakyat.
ADVERTISEMENT