Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Dari Diplomasi ke Daya Saing, 75 Tahun Kemitraan Indonesia dan China
23 April 2025 10:11 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peringatan 75 tahun hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok yang digelar di Beijing pada 21 April 2025 bukan sekadar seremoni protokoler antarnegara. Acara ini adalah panggung strategis yang menandai semakin kokohnya fondasi kerja sama dua kekuatan besar Asia dalam menghadapi dinamika global yang kian kompleks dan tak terduga.
ADVERTISEMENT
Hadirnya Menlu Sugiono dan Menhan Sjafrie Sjamsoeddin bersama Menlu Wang Yi dan Menhan Dong Jun mencerminkan bahwa relasi Jakarta-Beijing tak hanya bertumpu pada ekonomi, tetapi juga telah menjangkau aspek keamanan dan pertahanan kawasan. Hal ini sejalan dengan pendekatan comprehensive strategic partnership yang semakin matang dalam dua dekade terakhir.
Selama 12 tahun berturut-turut, China menjadi mitra dagang terbesar Indonesia. Lebih dari itu, arus investasi Tiongkok di Tanah Air terus tumbuh secara eksponensial, mulai dari sektor manufaktur, energi terbarukan, hingga infrastruktur digital. Fakta ini menunjukkan betapa ekonomi Indonesia dan China saling terkait dalam rantai pasok global dan regional.
Presiden Xi Jinping yang secara pribadi menghubungi Presiden Prabowo Subianto pada 13 April lalu menunjukkan kualitas hubungan personal dan trust antara pemimpin kedua negara. Komitmen Xi untuk memperkuat kemitraan strategis global adalah sinyal penting bahwa Indonesia dipandang sebagai mitra sejajar dan bukan sekadar objek investasi atau ekspansi pasar.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif teori pertahanan nasional, relasi ini memberi dampak positif. Ketika Indonesia memperkuat hubungan dengan China dalam kerangka dialog pertahanan, seperti yang ditunjukkan dalam forum 21 April kemarin, maka posisi strategis Indonesia di Asia Tenggara semakin kuat. Pertahanan nasional bukan hanya tentang senjata dan teknologi militer, tetapi juga soal membangun relasi dan aliansi yang dapat mencegah konflik dan meningkatkan daya tangkal negara.
Selain itu, sebagai dua anggota BRICS yang sedang mencari keseimbangan baru terhadap dominasi ekonomi Barat, Indonesia dan China bisa menyatukan visi menghadapi tantangan Perang Tarif yang dilancarkan oleh Amerika Serikat. AS kini mempertanyakan sistem pembayaran nasional Indonesia seperti QRIS dan GPN, yang dinilai mengancam dominasi sistem keuangan berbasis dolar. Dalam konteks ini, kerja sama RI-China bisa memperkuat agenda dedolarisasi global secara bertahap.
ADVERTISEMENT
Teori pertahanan kawasan juga relevan untuk melihat dimensi strategis hubungan ini. Kawasan Indo-Pasifik sedang berada dalam ketegangan multipolar, di mana klaim teritorial, perebutan pengaruh ekonomi, dan dominasi teknologi menjadi ajang tarik-menarik. Indonesia dan China memiliki kepentingan yang sama untuk menjaga stabilitas kawasan, terutama melalui ASEAN-China Defense Dialogue dan mekanisme multilateral lainnya.
China sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB dengan hak veto tentu memiliki leverage besar dalam menjaga perdamaian dunia. Dengan menjadikan China sebagai mitra aktif dalam isu-isu pertahanan kawasan, Indonesia tidak hanya menjaga kedaulatan, tetapi juga membentuk arsitektur keamanan baru yang lebih seimbang dan multipolar.
Namun, penting untuk dicatat bahwa kemitraan ini tetap perlu dijaga dalam kerangka bebas aktif yang menjadi prinsip diplomasi Indonesia sejak awal kemerdekaan. Kedekatan dengan China tidak berarti menjauh dari mitra tradisional seperti Jepang, Korea Selatan, atau bahkan Amerika Serikat. Inilah seni dalam diplomasi kawasan: membangun jembatan, bukan tembok.
ADVERTISEMENT
Dengan semangat 75 tahun hubungan diplomatik ini, Indonesia dapat memanfaatkan peran China untuk meningkatkan kapasitas pertahanan siber, keamanan maritim, dan kemandirian teknologi militer. Kerja sama ini bisa diarahkan pada proyek joint production, alih teknologi, hingga latihan militer bersama dalam konteks non-agresif seperti penanggulangan bencana atau operasi kemanusiaan.
Dari sisi perdagangan multinasional, investasi China di kawasan industri seperti Morowali dan Weda Bay menunjukkan potensi besar dalam penciptaan nilai tambah domestik. Namun, Indonesia harus mampu menegosiasikan kesepakatan yang berkeadilan dan ramah lingkungan, serta menjamin bahwa transfer teknologi benar-benar terjadi.
Sebagai mitra strategis, Indonesia juga dapat mendorong China untuk lebih aktif dalam menjaga ketertiban hukum internasional di Laut China Selatan. Ini menjadi ujian kredibilitas Beijing sebagai kekuatan global yang menjunjung multilateralisme, dan Indonesia dapat memainkan peran mediasi yang konstruktif dalam isu sensitif ini.
ADVERTISEMENT
Ke depan, diplomasi ekonomi dan pertahanan Indonesia harus dirancang secara holistik, dengan mengintegrasikan visi jangka panjang dalam kebijakan luar negeri. Peringatan 75 tahun ini bisa menjadi momentum untuk meluncurkan grand strategy hubungan RI-China yang berpijak pada prinsip mutual respect dan mutual benefit.
Dunia sedang berada dalam pusaran disrupsi geopolitik dan ekonomi. Indonesia tidak bisa netral dalam ketegangan global, tetapi bisa aktif dalam membentuk norma baru. Bersama China, Indonesia memiliki peluang menjadi jangkar stabilitas dan motor pertumbuhan di kawasan.
Tujuh puluh lima tahun bukan waktu yang sebentar, dan kemitraan RI-China bukanlah relasi instan. Kini saatnya kedua negara menulis bab baru kerja sama yang lebih tangguh, setara, dan bermartabat dalam mengarungi abad Asia yang semakin nyata di depan mata.
ADVERTISEMENT