Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.104.0
Konten dari Pengguna
Diplomasi Islam Tanpa Kekerasan, Peran Parlemen OKI dalam Konflik Dunia
14 Mei 2025 15:24 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konferensi ke-19 Parliamentary Union of the OIC Member States (PUIC) yang digelar di Gedung DPR RI, Jakarta, pada 12–15 Mei 2025, menjadi panggung strategis yang tidak hanya mempertemukan para delegasi parlemen dari 37 negara anggota OKI, namun juga memunculkan harapan baru dalam diplomasi Islam global. Dengan mengangkat tema Good Governance and Strong Institutions as Pillars of Resilience, forum ini mencoba memadukan tata kelola yang baik dan ketahanan politik sebagai prasyarat utama menuju perdamaian berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Pertemuan ini memiliki nuansa geopolitik yang amat kompleks. Di satu sisi, ia menjadi arena konsolidasi politik internal dunia Islam, khususnya dalam mendukung perjuangan Palestina. Di sisi lain, forum ini juga mengambil langkah progresif dengan mendorong jalan perdamaian antara India dan Pakistan, serta Rusia dan Ukraina. Isu-isu tersebut membuka ruang penguatan mekanisme penyelesaian konflik secara damai berbasis peace resolution theory dalam lingkup negara-negara Islam.
Sebagai forum antarparlemen negara-negara mayoritas Muslim, PUIC menempati posisi unik dalam mempertemukan aktor-aktor legislatif dari berbagai sistem politik dan blok kekuasaan. Kehadiran parlemen Al-Quds dari Palestina memberikan legitimasi moral terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina, sekaligus menegaskan bahwa isu tersebut tetap menjadi inti perjuangan dunia Islam sejak berdirinya OKI pada 1969 pasca tragedi pembakaran Masjid Al-Aqsha oleh Israel.
ADVERTISEMENT
Ironi besar hadir ketika forum ini harus menyuarakan kecaman terhadap Israel, sementara sebagian anggota OKI justru masih menjalin hubungan diplomatik dengannya. Mesir, Yordania, Turki, Uni Emirat Arab, dan Bahrain merupakan contoh negara-negara yang menormalisasi hubungan, baik karena kepentingan keamanan, ekonomi, atau tekanan internasional. Di sinilah terjadi diskrepansi antara solidaritas retoris dan diplomasi praktis.
Dalam kerangka teori resolusi konflik, forum seperti PUIC dapat memainkan peran sebagai fasilitator mediasi yang melampaui konflik klasik antarnegara, dan memasuki wilayah multi-track diplomacy, di mana parlemen memainkan peran penting dalam menyuarakan aspirasi rakyat dan mengawasi jalannya kebijakan luar negeri pemerintah masing-masing. Parlemen menjadi kanal penting untuk membangun diplomasi yang akuntabel dan partisipatif.
Namun dalam kerangka teori perjanjian internasional, kelemahan PUIC dan bahkan OKI sendiri terletak pada absennya kewajiban mengikat (binding commitment) antar anggotanya. Resolusi-resolusi yang lahir dari forum-forum seperti PUIC tidak bersifat mengikat secara hukum internasional, melainkan sekadar memiliki bobot moral dan politik. Hal ini menjelaskan mengapa banyak resolusi keras terhadap Israel, seperti 31 resolusi KTT OKI pada November 2024, tidak pernah bertransformasi menjadi tekanan konkret yang efektif.
ADVERTISEMENT
PUIC dan OKI telah berulang kali menyuarakan kemerdekaan Palestina, mengecam penjajahan Israel, dan mendesak Dewan Keamanan PBB maupun Mahkamah Internasional mengambil langkah hukum. Namun hingga kini, semua langkah itu belum cukup menghasilkan perubahan substantif dalam realitas penderitaan rakyat Palestina, khususnya di Jalur Gaza yang terus diluluhlantakkan oleh agresi militer Israel.
Keterbatasan ini menunjukkan pentingnya transformasi kelembagaan di tubuh OKI itu sendiri. Jika tema PUIC tahun ini menekankan strong institutions, maka seyogianya OKI didorong membentuk badan pelaksana permanen dengan mandat hukum yang lebih kuat, sehingga resolusi yang dihasilkan bukan semata simbol politik, tetapi dapat menjadi dasar tindakan kolektif yang nyata, termasuk sanksi dan embargo.
Konferensi PUIC ke-19 ini juga menjadi cermin politik dua muka negara-negara anggota OKI. Di satu sisi, mereka mengecam Israel. Di sisi lain, hubungan diplomatik dan kerja sama pertahanan tetap berjalan dengan negara yang mereka kecam. Ini adalah manifestasi dari realisme politik yang justru melemahkan semangat solidaritas Islam dalam membela keadilan global.
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai tuan rumah memiliki posisi strategis dan moral untuk mendorong rekonsolidasi politik luar negeri kolektif OKI. Indonesia bukan hanya negara Muslim terbesar di dunia, tetapi juga telah lama menjadi simbol demokrasi dan jalan tengah dalam isu-isu global, termasuk dalam membangun jalan damai yang adil dan bermartabat bagi Palestina, Kashmir, maupun Ukraina.
Kehadiran PUIC juga menjadi kesempatan emas untuk mengembangkan mekanisme preventive diplomacy di lingkup negara-negara Islam. Ketegangan India–Pakistan yang berakar pada isu Kashmir dan pertikaian Rusia–Ukraina dapat menjadi medan uji bagi dunia Islam. Hal itu dilakukan dengan mengedepankan pendekatan mediasi yang netral, berorientasi pada dialog, dan menjauhi polarisasi blok global.
Peran parlemen dalam diplomasi perdamaian ini sejatinya membuka babak baru dalam people-to-people diplomacy antarnegara Muslim. Diplomasi tidak semata berada di tangan eksekutif atau menteri luar negeri, tetapi juga harus diperluas melalui kanal legislatif yang menyuarakan aspirasi konstituennya untuk dunia yang damai dan adil.
ADVERTISEMENT
Jika PUIC ingin tetap relevan, maka forum ini harus keluar dari bayang-bayang simbolisme dan mengarah pada aksi kolektif yang terukur. Kecaman terhadap Israel tanpa diikuti pemutusan hubungan diplomatik atau sanksi ekonomi hanyalah gema kosong. Dunia Islam harus bersatu membangun tata kelola yang tegas, terukur, dan berbasis prinsip keadilan internasional.
Sebagaimana ditegaskan oleh teori perjanjian internasional, komitmen bersama hanya akan kuat bila ditopang oleh institusi yang mampu menegakkan sanksi dan pengawasan. OKI dan PUIC membutuhkan semacam compliance mechanism, sehingga setiap resolusi tidak hanya berhenti sebagai dokumen, tetapi menjadi kontrak politik yang memiliki konsekuensi bagi pelanggarnya.
Penting pula untuk membangun track two diplomacy berbasis masyarakat sipil dan akademisi di dunia Islam yang dapat mendampingi kerja parlemen dalam merancang inisiatif perdamaian yang inovatif dan berkelanjutan. Perdamaian yang tahan lama tidak hanya dibangun dari ruang konferensi, tetapi juga dari jejaring masyarakat yang sadar akan pentingnya keadilan dan solidaritas antarbangsa.
ADVERTISEMENT
Kita juga perlu mengingat kembali akar berdirinya OKI pada 1969, sebagai reaksi atas serangan brutal terhadap tempat suci umat Islam. Maka, jika kini setelah lebih dari 50 tahun OKI belum juga mampu menghadirkan Palestina sebagai negara berdaulat, ini adalah tanda bahwa dunia Islam harus melakukan refleksi dan reformasi mendalam.
Konferensi PUIC ke-19 di Jakarta telah membuka ruang untuk perbaikan. Namun ruang itu harus segera diisi oleh tindakan nyata. Dunia Islam harus memutus sikap ambigu, dan memilih antara menjadi kekuatan pembela keadilan atau sekadar forum retoris tanpa daya.
Jika PUIC ingin menjadi katalisator perdamaian global, maka ia harus melampaui pendekatan simbolik menuju tata kelola global yang inklusif, kuat, dan berbasis pada keadilan internasional. Perdamaian bukan sekadar cita-cita, melainkan hasil dari keberanian untuk bertindak benar meski tidak populer.
ADVERTISEMENT