Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Donald Trump dan Ambisi Gaza, Perang Baru atau Perdamaian Semu
5 Februari 2025 13:37 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan yang mengejutkan dunia, Donald Trump kembali menegaskan pengaruhnya dalam politik Timur Tengah setelah bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Washington pada 5 Februari 2025. Salah satu gagasan kontroversial yang muncul dari pertemuan ini adalah ambisi Trump untuk mengambil alih Gaza dengan dalih membongkar bom di wilayah tersebut serta menciptakan lapangan pekerjaan. Namun, di balik retorika manis tersebut, ambisi ini lebih menyerupai aneksasi terselubung yang berisiko memicu ketegangan baru di kawasan.
ADVERTISEMENT
Sejak 2007, Gaza telah berada di bawah kontrol Hamas, dengan sayap militernya, Brigade Izz al-Din al-Qassam, yang memainkan peran utama dalam pertahanan wilayah tersebut. Selain itu, Brigade Al Quds, yang memiliki kedekatan dengan Hizbullah dan Ikhwanul Muslimin, juga menjadi kekuatan signifikan dalam perlawanan terhadap Israel. Setelah 460 hari konflik intensif, Hamas berhasil mencapai kesepakatan gencatan senjata dalam tiga tahap dengan Israel, yang di antaranya mencakup pembebasan sandera. Sebanyak 94 orang yang diklaim ditahan oleh Hamas, sementara Israel setuju untuk membebaskan 1.000 tahanan Palestina.
Gencatan senjata ini menunjukkan kemenangan strategis Hamas dalam mempertahankan posisi tawarnya terhadap Israel. Namun, rencana Trump untuk menguasai Gaza justru berpotensi menggagalkan stabilitas yang tengah diupayakan oleh berbagai pihak, seperti Qatar dan Mesir. Tahap pertama gencatan senjata baru berjalan pada 19 Januari 2025, dan masih menyisakan dua tahap kelanjutan negosiasi yang tentu sangat dipengaruhi sejumlah faktor nantinya.
ADVERTISEMENT
Trump dan Agenda Aneksasi Baru?
Trump dikenal dengan kebijakan luar negerinya yang sangat pro-Israel. Pada masa kepemimpinannya, ia telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel serta mendorong normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab melalui Abraham Accords. Kini, dengan rencana penguasaan Gaza, tampaknya ia ingin mengulang pola intervensinya, yang kali ini berpotensi membahayakan kesepakatan gencatan senjata yang telah dicapai.
Ambisi Trump ini pun bertolak belakang dengan dinamika politik di Gaza. Hamas telah mendapatkan dukungan signifikan dari Rusia, Turki, dan Uni Eropa, yang menunjukkan bahwa aktor-aktor global mulai mengakui peran Hamas dalam lanskap politik Palestina. Dengan demikian, upaya Trump dan Israel untuk mengintervensi Gaza tidak hanya akan memancing perlawanan dari kelompok bersenjata di wilayah tersebut, tetapi juga meningkatkan ketegangan geopolitik dengan kekuatan-kekuatan besar lainnya.
ADVERTISEMENT
Jika rencana Trump benar-benar dijalankan, ada dua kemungkinan skenario yang dapat terjadi. Pertama, Gaza akan mengalami resistensi besar-besaran dari kelompok-kelompok yang selama ini berjuang mempertahankan kedaulatan mereka. Sebanyak tujuh brigade perlawanan di Palestina sangat mungkin akan bersatu guna menjaga Tepi Barat maupun Gaza itu sendiri. Brigade Al-Qassam, Brigade Al-Quds, Brigade Al-Nasser, Brigade Martir Al-Aqsha, Brigade Abu Ali Mustafa, Brigade Perlawanan Nasional, dan Brigade Al-Mujahidin sudah memiliki wilayah teritori serta persenjataan masing-masing untuk menjaga kedaulatan Palestina.
Skenario kedua dari aneksasi Israel dan Amerika, akan memicu perlawanan internasional yang lebih luas, terutama dari negara-negara yang telah lama mendukung perjuangan Palestina. Rusia, Korea Utara, dan Iran yang sudah berpengalaman menghadapi sanksi ekonomi, telah membangun aliansi nuklir yang jelas sangat berbahaya jika diarahkan untuk membela Palestina.
ADVERTISEMENT
Dalam kacamata hubungan internasional, pendekatan Trump terhadap Gaza ini adalah contoh klasik dari realisme politik, di mana kepentingan strategis dan ekonomi lebih diutamakan ketimbang prinsip-prinsip keadilan dan kedaulatan suatu bangsa. Upaya pembenaran melalui dalih membongkar bom dan membuka lapangan pekerjaan adalah narasi usang yang sering kali digunakan untuk melegitimasi intervensi geopolitik. Gaza telah membuktikan kemampuannya dalam mempertahankan diri, dan upaya aneksasi ini hanya akan menambah daftar panjang konflik yang belum terselesaikan di Timur Tengah.
Dunia internasional harus waspada terhadap langkah Trump ini dan memastikan bahwa stabilitas di Gaza tidak tergadaikan oleh kepentingan politik individu atau negara tertentu. Ambisi Donald Trump untuk menguasai Gaza adalah ancaman nyata terhadap proses perdamaian yang telah diupayakan berbagai pihak. Jika dunia membiarkan rencana ini berjalan, maka bukan hanya gencatan senjata yang terancam, tetapi juga stabilitas regional dan harapan rakyat Palestina untuk masa depan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Kini, lebih dari sebelumnya, solidaritas global diperlukan untuk menegakkan keadilan dan mencegah konflik baru di Timur Tengah. Perdamaian bukanlah sekadar janji di meja perundingan, tetapi keberanian untuk menolak ambisi yang mengancam kedaulatan dan keadilan. Gaza telah bertahan, dan dunia harus berdiri bersama kebenaran, bukan kepentingan sesaat.