Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Forum Adat PBB Dijadikan Ajang Separatis, Alarm Bahaya Diplomasi Indonesia
25 April 2025 14:50 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam pembukaan sidang ke-24 United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) di Markas Besar PBB, New York, dunia internasional dikejutkan oleh penampilan sekelompok peserta yang mengenakan pakaian adat Papua, Aceh, dan Maluku. Mereka duduk di ruang sidang utama sebelum acara dimulai dan mengangkat simbol-simbol protes yang mengklaim sebagai representasi "bangsa-bangsa terjajah". Aksi ini mendapat teguran langsung dari petugas keamanan PBB, namun sorotan media telanjur menyebarkan pesan simboliknya ke jagat maya dan ruang diplomatik global.
ADVERTISEMENT
Forum UNPFII sejatinya merupakan wadah mulia yang menghimpun suara masyarakat adat dari berbagai belahan dunia, bukan arena untuk memprovokasi perpecahan. Aksi simbolik tersebut, kendati menggunakan simbol budaya, secara implisit menabrak batas etika diplomasi dan mengaburkan pemahaman tentang posisi Indonesia dalam sistem hukum internasional dan Piagam PBB.
Sebagai negara anggota tetap dan aktif dalam berbagai forum PBB, Indonesia memiliki posisi diplomatik yang dihormati, termasuk dalam komitmennya terhadap UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP). Dalam konteks ini, penyampaian aspirasi harus tunduk pada prinsip-prinsip kedaulatan negara dan protokol internasional yang telah disepakati.
Jika ditilik dari perspektif teori diplomasi luar negeri, aksi tersebut mencerminkan bentuk paradiplomacy atau diplomasi aktor non-negara yang mencoba memasuki ruang internasional tanpa mandat resmi negara. Meskipun sah secara aspirasi, tindakan ini riskan secara hukum dan dapat menimbulkan ketegangan bilateral dan multilateral jika tidak dikelola secara cermat.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, pertahanan kedaulatan bukan hanya tentang menjaga batas teritorial, tetapi juga menjaga citra dan posisi negara dalam sistem internasional. Tindakan yang mengesankan adanya negara dalam negara, apalagi di forum global seperti PBB, dapat memberi celah pada agenda politik asing yang berseberangan dengan kepentingan nasional Indonesia.
Pada dasarnya dapat dipahami bahwa ada ruang untuk menyuarakan identitas dan aspirasi komunitas adat. Namun penting diingat, PBB bukan arena teatrikal simbolik. Diplomasi adalah seni berbicara dalam aturan, bukan berteriak dalam ruang yang tidak didesain untuk kampanye separatis.
UNPFII adalah ruang diskusi berbasis konsensus dan kemitraan. Negara-negara anggota, termasuk Indonesia, punya komitmen bersama untuk menghormati masyarakat adat tanpa mengorbankan kedaulatan. Itulah keseimbangan rumit antara pengakuan identitas dan keutuhan negara yang dijaga dalam tatanan diplomatik global.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, penting untuk mengurai bahwa Papua, Aceh, dan Maluku telah mendapatkan ruang ekspresi identitas kultural dalam sistem otonomi khusus yang dijamin oleh konstitusi. Aspirasi mereka tidak bisa langsung disetarakan dengan narasi penjajahan seperti yang kerap dikampanyekan kelompok tertentu di luar negeri.
Aksi duduk diam dengan busana adat dalam ruang sidang PBB memang penuh simbol. Tapi simbol bisa menyesatkan jika tidak dibarengi dengan narasi yang sahih dan legal. Terlebih, bila dilakukan menjelang pembukaan forum resmi, tindakan ini bisa dikategorikan sebagai unauthorized occupation ruang diplomatik yang berpotensi dianggap provokatif. Terlebih, sengaja membawa kertas bertulis Free Aceh, Free Maluku, dan Free Papua.
Etika diplomasi mengharuskan setiap suara disampaikan lewat saluran resmi. Dalam hal ini, delegasi resmi Indonesia adalah satu-satunya entitas yang punya legitimasi untuk menyuarakan posisi nasional. PBB tidak akan menanggapi tuntutan yang tidak diajukan melalui jalur resmi negara anggota.
ADVERTISEMENT
Kita tentu tak menutup mata bahwa ada kompleksitas sejarah dan politik di Papua, Aceh, maupun Maluku. Namun, langkah progresif sudah ditempuh oleh pemerintah lewat pendekatan pembangunan, dialog, serta penguatan kapasitas lokal. Menggunakan forum internasional tanpa basis legal hanya akan memperkeruh pemahaman dunia luar dan membuka ruang bagi intervensi asing.
Dari kacamata pertahanan nasional, setiap upaya internasionalisasi isu dalam negeri tanpa seizin negara bisa dibaca sebagai upaya delegitimasi kedaulatan. Ini menjadi peringatan penting bagi diplomasi pertahanan Indonesia untuk memperkuat narasi kontra-separatis secara elegan namun tegas di berbagai forum internasional.
Patut dicatat, Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi protes semacam ini. Banyak negara dengan masyarakat adat mengalami dinamika serupa. Namun, mereka menangani dengan menegakkan prinsip national integrity dan diplomatic decorum yang tegas, bukan dengan membiarkan panggung internasional dimanfaatkan sebagai arena agitasi.
ADVERTISEMENT
Indonesia mesti mengembangkan Diplomatic Early Warning System untuk memetakan dan merespons narasi separatis di forum internasional. Ini bukan sekadar isu kultural, tapi juga menyangkut kedaulatan informasi dan pertahanan simbolik negara. Pakaian adat memang mencerminkan identitas budaya yang luhur. Namun, ketika digunakan dalam konteks politisasi identitas untuk memecah belah keutuhan bangsa, ia berubah menjadi alat provokasi yang menodai makna luhur budaya itu sendiri.
Dalam forum sekelas UNPFII, yang menjunjung prinsip kemitraan dan kedaulatan, penting bagi semua pihak untuk menahan diri dan tidak menggunakan cara-cara teatrikal demi mengangkat isu domestik ke panggung internasional. Cara demikian justru mengaburkan substansi dan merugikan komunitas adat yang sesungguhnya.
Ke depan, Indonesia perlu memperkuat kapasitas diplomatik komunitas adat resmi yang sah secara hukum untuk ikut menyuarakan pengalaman dan capaian mereka dalam pembangunan. Inilah bentuk diplomasi akar rumput yang lebih bermartabat dan strategis, ketimbang aksi sepihak yang berpotensi kontraproduktif.
ADVERTISEMENT
Diplomasi, pada akhirnya, adalah tentang merawat dialog, menjaga martabat, dan membela kedaulatan dengan elegan. Aksi simbolik Papua-Aceh-Maluku di sidang UNPFII mungkin menarik perhatian sesaat, tetapi tak akan mengubah prinsip bahwa Indonesia adalah satu kesatuan yang sah dan berdaulat di mata hukum internasional.