Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Hakim Menjual Hukum, Wajah Buram Reformasi Peradilan Indonesia
14 April 2025 17:42 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tiga hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom, baru saja mencoreng sejarah peradilan kita dengan tinta yang paling kelam. Mereka bukan hanya melukai kepercayaan publik, tapi juga memperjualbelikan sesuatu yang seharusnya sakral, yaitu keadilan. Vonis lepas mereka terhadap perkara mega korupsi persetujuan ekspor Crude Palm Oil (CPO), pada 19 Maret 2025, menjadi puncak gunung es dari bobroknya moralitas penegak hukum.
ADVERTISEMENT
Kejaksaan Agung bergerak cepat. Dalam hitungan minggu, empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka, dari Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanto, dua pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto, serta panitera muda Wahyu Gunawan. Kini, giliran tiga hakim yang “membebaskan” tiga raksasa korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group dalam skandal yang seharusnya mengguncang republik ini.
Mari kita lihat angka-angka yang menohok. Jaksa sebelumnya menuntut uang pengganti senilai Rp 937 miliar kepada Permata Hijau Group, Rp 11,8 triliun kepada Wilmar Group, dan Rp 4,8 triliun kepada Musim Mas Group. Tapi ketiganya justru divonis lepas. Seolah-olah tidak pernah ada kejahatan, tidak pernah ada kerugian negara, dan tidak pernah ada kesengsaraan rakyat akibat permainan minyak goreng di pasar.
ADVERTISEMENT
Lalu datanglah kabar dari Kejagung bahwa ada dugaan suap Rp 60 miliar yang mengalir melalui Wahyu Gunawan kepada Ketua PN Jaksel. Praktik jual beli perkara pun terbongkar. Ini bukan hanya memalukan, tapi menunjukkan bahwa reformasi peradilan kita—yang sudah didigitalisasi, yang diawasi Komisi Yudisial, dan yang katanya bebas dari intervensi, ternyata hanya kulit luar yang retak.
Kasus ini harus menjadi lonceng kematian bagi sistem pengawasan peradilan yang lemah dan tumpul. Komisi Yudisial, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas hakim, seolah kehilangan taring di hadapan dominasi Mahkamah Agung. Ketika pembinaan dan pengawasan disatukan dalam satu atap, maka jangan heran kalau penyakit kronis korupsi tetap hidup subur.
Kita sedang menyaksikan ironi besar dalam hukum. Di satu sisi, hukum dikatakan sebagai alat untuk mencapai keadilan. Tapi di sisi lain, hukum justru berubah menjadi alat represi dan transaksi. Seorang hakim, yang seharusnya menjadi wakil Tuhan di dunia, malah menjelma menjadi pedagang vonis. Bahkan dalam praktiknya, mereka lebih licik dari makhluk yang disebut setan.
ADVERTISEMENT
Skandal ini menunjukkan bahwa persoalan utama peradilan bukan pada teknologinya, tapi pada integritas manusianya. Digitalisasi sistem peradilan tidak akan berguna jika mental para pelaksananya masih busuk. Sehebat apapun sistem, kalau yang menjalankan masih bisa disogok, maka keadilan tetap akan kalah oleh uang.
Vonis bebas Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabaya dalam kasus kematian tragis Dini Sera Oktavia adalah titik nadir integritas hukum Indonesia. Hakim Erintuah Damanik dan dua rekannya, Mangapul dan Heru Hanindyo, seakan mengukuhkan sinisme publik bahwa di negeri ini, keadilan hanya berpihak pada mereka yang memiliki akses, bukan yang memiliki kebenaran. Bukti dan logika hukum dipinggirkan, sementara posisi sosial dan kekuasaan dijadikan tameng. Masyarakat tak hanya kehilangan kepercayaan pada peradilan, tapi juga pada nurani hukum itu sendiri. Peradilan bukan lagi forum mencari keadilan, melainkan pasar gelap vonis yang penuh siasat transaksional.
ADVERTISEMENT
Terbongkarnya praktik makelar kasus oleh Zarof Ricar, dengan uang tunai hampir satu triliun rupiah dan emas batangan di rumahnya, adalah puncak gunung es bobroknya sistem hukum. Di balik toga dan palu, ternyata tersimpan jaringan yang rapi: antara panitera, hakim, pengacara, hingga pejabat lembaga pengawas sendiri. Kasus ini membuka “kotak pandora” jual beli perkara yang tak hanya menampar wajah reformasi peradilan, tapi juga membongkar kegagalan total Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam membersihkan tubuhnya sendiri. Jika hukum terus dibiarkan menjadi alat transaksi, maka bukan hanya keadilan yang hancur, tetapi juga moralitas negara yang runtuh.
Reformasi hukum di Indonesia, yang dimulai sejak era pasca-reformasi 1998, nyatanya masih menyisakan pekerjaan rumah besar dalam hal moralitas dan etika penegak hukum. Kita membangun gedung megah, memperkenalkan sistem e-court dan e-litigation, tetapi lupa membangun akhlak penegaknya.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif hukum pidana modern, korupsi yudisial seperti ini masuk dalam kategori judicial corruption yang paling berbahaya. Sebab kerusakannya bukan hanya menyasar materi negara, tapi merusak sistem kepercayaan masyarakat terhadap negara. Dan jika kepercayaan itu runtuh, maka negara hukum akan berubah menjadi negara abu-abu tanpa norma.
Ketika kejahatan dilakukan oleh mereka yang diberi amanah untuk menegakkan hukum, maka sesungguhnya kita telah kehilangan benteng terakhir peradaban. Sebab hanya di ruang peradilanlah, seorang miskin bisa berhadapan dengan yang kaya dan tetap punya harapan akan keadilan. Tapi bila ruang itu sudah dibeli, maka di mana lagi rakyat harus mengadu?
Kasus vonis lepas ini menunjukkan bahwa hukum telah dikendalikan oleh kekuatan uang dan kepentingan. Korporasi-korporasi besar tidak hanya bermain di sektor bisnis, tapi juga mulai membeli kedaulatan hukum. Inilah wajah baru dari state capture corruption, di mana pelaku bisnis mampu mengatur putusan pengadilan demi melanggengkan keuntungannya.
ADVERTISEMENT
Praktik jual beli perkara sudah berlangsung lama, hanya saja sekarang mulai terbongkar karena ada keberanian dari penegak hukum seperti Kejaksaan Agung untuk mengusut ke dalam tubuh peradilan itu sendiri. Ini harus diapresiasi dan didorong lebih jauh.
Kita butuh pendekatan ganda untuk membasmi praktik ini: pertama, pendekatan penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu, dan kedua, pendekatan moralitas universal yang mengakar pada kesadaran profesi sebagai pelayan keadilan. Tanpa keduanya, reformasi hanya jadi kosmetik.
Kita juga perlu mengevaluasi sistem karier hakim yang saat ini terlalu tertutup dan elitis. Seleksi harus dibuka untuk publik, pengawasan harus transparan, dan laporan kekayaan hakim harus dapat diakses siapa pun. Keadilan tidak bisa tumbuh di ruang gelap.
ADVERTISEMENT
Lebih penting dari semua itu, pendidikan moral dan etika profesi harus ditanamkan sejak dini dalam seluruh jenjang karier hakim. Menjadi hakim bukan hanya soal pengetahuan hukum, tapi soal keberanian menegakkan kebenaran dan keadilan, bahkan ketika itu harus melawan kekuasaan.
Di titik ini, rakyat berhak marah. Sebab keadilan adalah hak setiap warga negara, bukan hak istimewa bagi yang punya uang dan kuasa. Saat hukum dikendalikan uang, maka kita tidak sedang hidup dalam negara hukum, tapi negara yang dijajah oleh moralitas yang hancur. Dan bila hakim bukan lagi penjaga keadilan, maka siapa yang bisa kita percaya? Jangan biarkan keadilan jadi barang dagangan. Jangan biarkan hukum kehilangan wajahnya.