Konten dari Pengguna

Kebebasan Hakim dan Modifikasi Pidana dalam KUHP 2023

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
17 Februari 2025 10:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga timah Harvey Moeis (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga timah Harvey Moeis (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Putusan tingkat banding atas perkara korupsi pengusaha Harvey Moeis di Pengadilan Tinggi Jakarta, lebih berat daripada putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Harvey Moeis dan Mochtar Riza Pahlevi divonis 20 tahun penjara dengan uang pengganti 400-an miliar dari yang sebelumnya masing-masing divonis 6,5 tahun dan 8 tahun. Perdebatan publik mencuat bahwa putusan banding dianggap tidak mempertimbangkan ratio legis atau asas hukum, dan justru mengedepankan ratio populis atau selera masyarakat.
ADVERTISEMENT
Realitas putusan yang berbeda dalam jenjang pengadilan sudah hal yang wajar. Sesungguhnya kebebasan hakim dalam pemidanaan diberikan ruang untuk memutuskan, meski tetap dibatasi. Hal inilah yang secara formal menjadi salah satu pembaharuan KUHP 2023 yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kurang setahun pemberlakuan pada 2 Januari 2026, persepsi masyarakat tentang paradigma baru pemidanaan perlu disatupadukan.
Salah satu reformasi yang paling signifikan adalah pedoman pemidanaan dalam Buku Kesatu KUHP 2023. KUHP ini menegaskan bahwa pidana penjara tetap menjadi sanksi pokok, tetapi hakim wajib mempertimbangkan sanksi yang lebih ringan seperti kerja sosial, pengawasan, atau denda. Paradigma baru ini mencerminkan visi KUHP modern yang tidak lagi berorientasi pada penghukuman semata, tetapi lebih pada pemulihan, keadilan restoratif, dan pencegahan residivisme. Dengan pendekatan ini, KUHP 2023 menciptakan modifikasi sanksi pidana, di mana ancaman hukuman di bawah tiga tahun dapat diganti dengan kerja sosial atau hukuman lainnya yang lebih produktif bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kebebasan Hakim dalam Pemidanaan
Dalam sistem hukum pidana sebelumnya, hakim seringkali terikat oleh aturan yang kaku dalam menjatuhkan sanksi. KUHP 2023 mengubah pendekatan ini dengan memberikan kebebasan yang lebih luas kepada hakim dalam memilih jenis sanksi yang paling sesuai dengan asas keadilan dan kemanfaatan hukum. Namun, kebebasan ini tetap memiliki batasan yang jelas. Hakim tidak bisa sembarangan menjatuhkan pidana penjara jika terdapat alternatif sanksi yang lebih ringan dan sesuai dengan kondisi terdakwa. Dalam Buku Kesatu KUHP, prinsip ini ditegaskan sebagai bagian dari hierarki pemidanaan, yang menempatkan pidana penjara sebagai opsi terakhir jika sanksi lain dianggap tidak efektif.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, jika seseorang dihukum kurang dari tiga tahun penjara, maka hakim wajib mempertimbangkan hukuman pengganti seperti kerja sosial. Bentuk kerja sosial itu sebagaimana terdakwa diberi kewajiban melakukan pekerjaan tertentu yang bermanfaat bagi masyarakat. Bentuk lainnya adalah pidana pengawasan, dengan menempatkan terdakwa tetap menjalani hukuman tetapi dalam bentuk pembinaan dan pengawasan, tanpa harus masuk penjara. Termasuk bentuk sanksi adalah pidana denda, dengan mengenakan sanksi kepada terdakwa untuk membayar secara finansial yang lebih proporsional dibandingkan hukuman penjara.
Modifikasi sanksi pidana dalam KUHP 2023 mencerminkan upaya untuk menciptakan pemidanaan yang lebih humanis dan produktif. Pendekatan ini berangkat dari kenyataan bahwa penjara bukan satu-satunya solusi, terutama bagi pelaku tindak pidana ringan atau kejahatan yang tidak memiliki dampak luas bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Adanya alternatif hukuman, KUHP 2023 berusaha mengatasi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, mengurangi dampak negatif pidana penjara terhadap pelaku, serta memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki diri tanpa harus menjalani kehidupan di balik jeruji besi. Pendekatan ini juga sejalan dengan prinsip pemidanaan berbasis rehabilitasi dan koreksi sosial, yang tidak hanya menghukum tetapi juga membantu individu untuk kembali ke masyarakat dengan lebih baik.
Sebagai contoh, seseorang yang dihukum karena tindak pidana ringan seperti pencemaran nama baik atau pencurian kecil-kecilan, tidak harus langsung dijebloskan ke penjara. Alternatif sanksi yang diberikan dapat berupa hukuman kerja sosial atau pengawasan, yang lebih berorientasi pada pemulihan sosial dibandingkan sekadar pembalasan.
ADVERTISEMENT
Prinsip pemidanaan dalam KUHP 2023 setidaknya dapat difahami dalam beberapa hal. Pertama, meminimalkan penggunaan pidana penjara untuk kejahatan ringan, kecuali jika benar-benar diperlukan. Kedua, mendorong keadilan restoratif, di mana hukum tidak hanya menghukum tetapi juga membantu pemulihan sosial pelaku dan korban. Ketiga, menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan fleksibilitas dalam menjatuhkan sanksi, sehingga pemidanaan dapat dilakukan secara lebih proporsional. Keempat, mengurangi dampak negatif pemidanaan yang terlalu represif, terutama bagi pelaku yang masih memiliki potensi untuk berubah.
Dengan prinsip-prinsip ini, KUHP 2023 tidak hanya mereformasi hukum pidana secara normatif, tetapi juga berusaha menciptakan budaya hukum yang lebih adaptif dan berorientasi pada manfaat bagi masyarakat. KUHP 2023 membawa angin segar dalam sistem pemidanaan di Indonesia dengan menegaskan bahwa pidana penjara bukan satu-satunya solusi. Hakim diberi kebebasan dalam menjatuhkan sanksi, tetapi tetap dalam batasan yang ketat untuk memastikan bahwa hukuman yang diberikan berorientasi pada kemanfaatan dan keadilan. Dengan adanya modifikasi sanksi seperti pidana kerja sosial, pengawasan, dan denda, KUHP 2023 diharapkan mampu menciptakan sistem hukum pidana yang lebih humanis, efektif, dan berkeadilan.
ADVERTISEMENT
Namun, tantangan terbesar ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa implementasi aturan ini benar-benar berjalan sesuai dengan semangat reformasi hukum, tanpa disalahgunakan oleh aparat penegak hukum atau mengurangi efek pencegahan terhadap kejahatan. Terlebih, paradigma balas dendam yang masih berkembang di tengah masyarakat perlu dilakukan advokasi pembaharuan agar mengarah pada korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Oleh karena itu, pengawasan ketat dan sosialisasi yang masif sangat diperlukan agar perubahan ini benar-benar memberikan dampak positif bagi sistem hukum pidana di Indonesia.