news-card-video
13 Ramadhan 1446 HKamis, 13 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Ketimpangan Keadilan Internasional antara Duterte dan Netanyahu

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
13 Maret 2025 11:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wakil Presiden Filipina Sara Duterte menyapa ayahnya, mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, saat sidang House Quad Committee di Quezon City, Metro Manila (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Presiden Filipina Sara Duterte menyapa ayahnya, mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, saat sidang House Quad Committee di Quezon City, Metro Manila (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Ketimpangan dalam sistem keadilan internasional kembali menjadi sorotan setelah mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, diadili. Setiba di Bandara Manila pada 11 Maret 2025, Duterte ditangkap oleh polisi Filipina dan diserahkan ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang bertanggung jawab atas serangan brutal terhadap warga sipil di Gaza, Palestina, tetap berada dalam perlindungan sekutu-sekutu strategisnya. Fenomena ini memperlihatkan bahwa hukum internasional tidak selalu berdiri sebagai mekanisme netral, melainkan lebih sering menjadi alat politik yang digunakan oleh kekuatan global untuk mempertahankan kepentingannya.
Duterte dituduh melakukan kebijakan perang terhadap narkoba dengan tangan besi yang mengakibatkan eksekusi ribuan pelaku tanpa proses peradilan yang adil. Kejahatan ini dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma yang mendasari yurisdiksi ICC. Namun, Duterte bukan pemimpin yang masih memiliki kekuatan politik yang signifikan secara global, sehingga lebih mudah bagi komunitas internasional untuk menjeratnya dibandingkan Netanyahu yang tetap mendapat perlindungan kuat dari sekutu-sekutu Barat.
ADVERTISEMENT
Netanyahu terlibat dalam agresi militer yang berulang kali menewaskan warga sipil Palestina, termasuk anak-anak dan perempuan. Berdasarkan Konvensi Jenewa dan hukum humaniter internasional, serangan terhadap warga sipil merupakan pelanggaran serius yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. Namun sampai saat ini, upaya untuk membawa Netanyahu ke pengadilan internasional selalu terbentur oleh politik kekuasaan global yang memberikan perlindungan kepadanya.
Salah satu faktor utama dalam ketimpangan ini adalah posisi geopolitik kedua pemimpin tersebut. Duterte sudah tidak lagi berkuasa dan perannya dalam politik global tidak terlalu strategis. Sebaliknya, Netanyahu masih menjadi pemimpin yang aktif dan memainkan peran penting dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah. Oleh karena itu, AS dan sekutu-sekutunya tidak akan membiarkan Netanyahu menghadapi pengadilan internasional karena itu akan merugikan kepentingan geopolitik mereka.
ADVERTISEMENT
Hukum internasional pada prinsipnya bertujuan untuk menegakkan keadilan universal tanpa diskriminasi. Namun dalam praktiknya, hukum ini seringkali tunduk pada dinamika politik internasional. Duterte ditangkap ketika mendarat dari luar negeri dalam kampanye untuk putrinya, Sara Duterte, yang juga merupakan figur politik penting di Filipina. Peristiwa ini menunjukkan bahwa dalam sistem global, kepemimpinan domestik yang kuat tidak cukup tanpa adanya perlindungan internasional.
Kasus Duterte dan Netanyahu juga mencerminkan bagaimana hukum dapat digunakan sebagai alat selektif dalam menegakkan keadilan. Jika prinsip hukum benar-benar diterapkan secara adil, Netanyahu juga seharusnya berada di Den Haag bersama Duterte untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Namun kenyataannya, kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan saat ini bukan lagi sekadar perkara hukum, melainkan bergantung pada siapa yang memiliki kuasa untuk menjerat siapa.
Suasana Mahkamah Pidana Internasional (ICC), tempat Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte akan menjalani persidangan di Den Haag, Belanda, Rabu (12/3/2025). Foto: Wolfgang Rattay/REUTERS
Kondisi ini menegaskan bahwa dalam hukum internasional, terdapat aktor-aktor yang berada di atas hukum. Negara-negara kuat yang memiliki pengaruh geopolitik mampu membentengi pemimpin mereka dari tuntutan hukum internasional. Pada sisi lain, negara-negara yang lebih lemah tidak akan memiliki daya tawar yang sama. Hal ini yang sudah lama mengurangi kredibilitas ICC sebagai institusi yang seharusnya independen dalam menegakkan keadilan.
ADVERTISEMENT
Pola demikian bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah keadilan internasional. Kasus-kasus sebelumnya, seperti pengadilan terhadap pemimpin negara-negara Afrika, menunjukkan bahwa ICC yang beranggotakan 125 negara di dunia seolah lebih sering digunakan untuk mengadili pemimpin dari negara-negara berkembang dibandingkan dengan pemimpin dari negara-negara kuat.
Beberapa pemimpin negara berkembang yang pernah diadili sebagaimana mantan Presiden Yugoslavia, Slobodan Milosevic; mantan Presiden Liberia, Charles Taylor; mantan Presiden Pantai Gading, Laurent Gbagbo; mantan Kepala Negara Kamboja, Khieu Samphan; dan mantan Presiden Chad, Hissene Habre. Sementara itu, negara-negara besar seperti Amerika Serikat bahkan tidak mengakui yurisdiksi ICC atas warganya sendiri.
Duterte mungkin dapat dijadikan contoh bahwa tidak ada pemimpin yang benar-benar kebal hukum, tetapi pada saat yang sama, Netanyahu menjadi bukti bahwa ada pemimpin yang tetap tidak tersentuh oleh hukum internasional. Hal ini menegaskan bahwa keadilan global masih bersifat elitis dan selektif, tergantung pada kepentingan geopolitik negara-negara adidaya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ketimpangan kasus Duterte dan Netanyahu juga memperlihatkan bahwa kebijakan luar negeri dan hubungan diplomatik suatu negara sangat menentukan apakah pemimpinnya akan diadili atau tidak. Negara yang memiliki perlindungan dari kekuatan besar seperti AS dapat dengan mudah menghindari tanggung jawab hukum, sementara negara yang tidak memiliki perlindungan semacam itu lebih rentan menjadi target pengadilan internasional.
Ke depan, jika ICC ingin mempertahankan kredibilitasnya maka lembaga ini harus berani menghadapi tekanan politik dan menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Jika Netanyahu dibiarkan tanpa konsekuensi hukum sementara Duterte harus menghadapi pengadilan, maka ICC hanya akan semakin kehilangan legitimasi di mata dunia.
ADVERTISEMENT
Masyarakat internasional juga harus lebih kritis terhadap bagaimana hukum digunakan sebagai alat politik. Keadilan internasional seharusnya tidak hanya berlaku bagi mereka yang tidak memiliki perlindungan politik, tetapi juga harus mampu menjangkau mereka yang memiliki kekuatan besar dan melakukan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter.
Untuk itu, perlu ada reformasi dalam sistem hukum internasional agar tidak mudah dimanipulasi oleh kepentingan politik global. Independensi lembaga-lembaga seperti ICC harus diperkuat agar dapat menegakkan keadilan yang sejati, bukan hanya menargetkan individu-individu yang tidak lagi memiliki kekuatan politik.
Kasus Duterte dan Netanyahu harus menjadi pelajaran bagi dunia bahwa keadilan internasional masih jauh dari kata adil. Selama hukum masih digunakan sebagai alat politik, maka penegakan hukum internasional hanya akan menjadi permainan catur di mana pihak yang lemah selalu menjadi korban, sementara yang kuat tetap kebal dari pertanggungjawaban hukum.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, hukum internasional akan kehilangan maknanya jika hanya diterapkan secara selektif. Dunia membutuhkan sistem keadilan yang benar-benar netral dan tidak tunduk pada kepentingan geopolitik, agar tidak ada lagi pemimpin yang kebal hukum hanya karena memiliki perlindungan dari kekuatan besar.