Konten dari Pengguna

Membaca Ulang Keadilan, Buyback Hambali dan Tantangan Rekonsiliasi Hukum

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
2 Februari 2025 10:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Monumen Bom Bali di Jalan Legian Kuta, Kabupaten Badung Bali (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Monumen Bom Bali di Jalan Legian Kuta, Kabupaten Badung Bali (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Upaya pemerintah Indonesia untuk memulangkan Encep Nurjaman alias Hambali, dalang Bom Bali 2002, dari penjara Guantanamo Bay menuai pro dan kontra. Sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang ditahan tanpa proses peradilan yang sah, Hambali secara hukum berhak mendapatkan perlakuan yang adil, sebagaimana WNI lain yang menghadapi kasus hukum di luar negeri. Namun, persoalan kompleks muncul ketika aspek kadaluwarsa pidana dan rekonsiliasi dengan kelompok radikal yang telah bubar turut menjadi pertimbangan.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem hukum Indonesia, tindak pidana yang diancam hukuman mati atau pidana seumur hidup memiliki masa kadaluwarsa 18 tahun. Dengan serangan Bom Bali terjadi pada tahun 2002, maka perhitungan hukum Indonesia menyatakan kasus ini telah melewati batas penuntutan. Sebagai gambaran, seandainya pria asal Cianjur yang lahir pada 4 April 1964 dipulangkan dan diadili di Indonesia, secara teknis ia tak bisa lagi dijerat hukum.
Meski demikian, pemulangan Hambali bisa menjadi preseden bagi kebijakan negara dalam membela hak-hak WNI yang menghadapi persoalan hukum di luar negeri. Sebelumnya, pemerintah juga memperjuangkan nasib para WNI yang dijatuhi hukuman mati di Malaysia dan Arab Saudi. Langkah ini menegaskan bahwa negara tidak tebang pilih dalam memberikan perlindungan hukum kepada semua warganya, termasuk mereka yang tersangkut kasus terorisme.
ADVERTISEMENT
Preseden Umar Patek dan Jalan Deradikalisasi
Kasus Umar Patek dapat dijadikan refleksi dalam menangani pemulangan Hambali. Umar Patek yang sempat tertangkap di Pakistan pada 2011 dan kemudian menjalani hukuman di Indonesia, kini berbalik mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keberhasilan proses deradikalisasi Umar Patek menjadi bukti bahwa negara dapat memainkan peran dalam mengubah pola pikir mantan pelaku teror melalui pendekatan persuasif dan edukatif.
Rekonsiliasi dengan Jamaah Islamiyah (JI), yang kini telah membubarkan diri dan menyatakan kesetiaan pada NKRI, juga menunjukkan bahwa pendekatan inklusif negara terhadap kelompok-kelompok lama dapat menciptakan stabilitas yang lebih baik. Langkah ini tak hanya strategis dari sisi keamanan nasional, tetapi juga bentuk keadilan restoratif bagi kelompok yang telah berubah haluan.
ADVERTISEMENT
Sebagian masyarakat tentu khawatir bahwa pemulangan Hambali akan memunculkan kembali bibit-bibit terorisme. Kekhawatiran ini wajar, mengingat trauma kolektif yang ditimbulkan oleh aksi-aksi terorisme di masa lalu. Namun, prinsip negara hukum mengharuskan pemerintah untuk tetap memberikan perlakuan yang sama bagi semua WNI, termasuk mereka yang berkonflik dengan hukum.
Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap langkah yang diambil dalam pemulangan Hambali dilakukan dengan pengawasan ketat serta skema deradikalisasi yang jelas. Hambali yang belum pernah menjalani persidangan layak untuk mendapatkan proses hukum yang lebih transparan, setidaknya dalam konteks rehabilitasi nasional.
Dalam konteks global, Indonesia telah membuktikan kemampuannya dalam menangani mantan pelaku terorisme melalui jalur rekonsiliasi dan pendekatan lunak. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan HAM yang menjadi dasar hukum nasional dan internasional. Oleh karena itu, buyback Hambali bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga langkah strategis dalam memperkuat komitmen negara terhadap prinsip-prinsip keadilan, rekonsiliasi, dan perdamaian nasional.
ADVERTISEMENT
Jika dilakukan dengan perencanaan yang matang, pemulangan Hambali bisa menjadi bagian dari strategi besar deradikalisasi dan rehabilitasi. Ini bukan tentang menghidupkan kembali ancaman lama, tetapi tentang memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan haknya di bawah naungan hukum yang adil. Pada akhirnya, negara harus berani mengambil keputusan yang sulit, bukan untuk menghadirkan masalah baru, tetapi untuk menegakkan keadilan bagi semua.
Secara sosiologi hukum, kebijakan buyback Hambali menyoroti dilema keadilan negara dalam memperlakukan WNI yang menghadapi kasus hukum di luar negeri. Hal ini menjadi kontras dengan kebijakan terdahulu yang melarang kembalinya mahasiswa ikatan dinas yang dituduh berpaham komunisme. Jika negara ingin menunjukkan konsistensi dalam menegakkan keadilan, maka pendekatan yang digunakan harus adil bagi seluruh WNI, baik mereka yang terkait terorisme maupun yang dituduh berpaham politik tertentu, sebagaimana Kelompok Kekerasan Bersenjata (KKB) Papua .
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah Indonesia, kebijakan diskriminatif terhadap individu berdasarkan afiliasi ideologi telah menimbulkan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum negara. Jika negara bisa berkompromi dengan kelompok radikal yang telah membubarkan diri, seperti Jamaah Islamiyah, mengapa tidak dengan individu yang dicap memiliki ideologi tertentu tanpa proses hukum yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan hukum harus bersandar pada prinsip keadilan substantif, bukan hanya sekadar kepentingan politik dan keamanan sesaat.
Pada akhirnya, pemulangan Hambali bukan hanya persoalan hukum atau keamanan nasional, tetapi juga mencerminkan bagaimana negara memperlakukan warganya dalam kerangka kebijakan hukum yang lebih luas. Jika negara benar-benar berpegang pada prinsip hak asasi dan supremasi hukum, maka keadilan harus ditegakkan secara menyeluruh, tanpa terkecuali. Keadilan sejati bukan tentang siapa yang dibiarkan kembali dan siapa yang ditolak, tetapi tentang bagaimana negara memperlakukan setiap warganya dengan prinsip kesetaraan, kemanusiaan, dan supremasi hukum yang tak tergoyahkan.
ADVERTISEMENT