Konten dari Pengguna

Memosisikan Koruptor Sebagai Pelanggar HAM

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
2 Januari 2025 8:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penyadaran Korupsi sebagai Pelanggaran HAM dalam Pelatihan Aparatur Negara (Sumber: Dok. Khamdan)
zoom-in-whitePerbesar
Penyadaran Korupsi sebagai Pelanggaran HAM dalam Pelatihan Aparatur Negara (Sumber: Dok. Khamdan)
ADVERTISEMENT
Dalam konteks HAM humaniter, tindakan korupsi seringkali menimbulkan dampak yang meluas terhadap akses masyarakat kepada hak-hak dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan kehidupan yang layak. Perspektif hukum dan kriminologi sosial memberikan landasan analitis untuk memahami bagaimana korupsi patut disebut sebagai pelanggar HAM, sebagaimana disampaikan Menteri HAM, Natalius Pigai pada akhir Desember kemarin.
ADVERTISEMENT
Korupsi memengaruhi HAM secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kajian hukum internasional, korupsi yang mengakibatkan kemiskinan, ketimpangan sosial, atau ketidakadilan struktural dianggap melanggar kewajiban negara untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi HAM. Hal itu sebagaimana alokasi anggaran kesehatan yang dikorupsi, akan berdampak langsung pada kemampuan masyarakat miskin untuk mengakses layanan kesehatan, yang merupakan hak fundamental. Korupsi Alat Pelindung Diri (APD) atau korupsi dana bantuan sosial saat pandemi Covid-19 menjadi bukti.
Di Indonesia, korupsi telah merampas hak-hak rakyat secara sistemik. Data menunjukkan bahwa triliunan rupiah hilang setiap tahun akibat praktik korup, yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur pendidikan, pengadaan fasilitas kesehatan, dan bantuan sosial. Dalam hal ini, koruptor tidak hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip dasar keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif kriminologi sosial, korupsi adalah produk dari budaya permisif terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Sistem patronase, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya transparansi menciptakan lingkungan di mana korupsi dianggap sebagai norma. Koruptor, dalam konteks ini, adalah aktor yang memanfaatkan celah dalam sistem hukum dan sosial untuk keuntungan pribadi.
Lebih jauh, dampak korupsi merusak kohesi sosial. Ketidakpercayaan terhadap institusi pemerintah tumbuh seiring meningkatnya ketimpangan ekonomi. Dalam jangka panjang, ini menciptakan lingkaran setan di mana masyarakat yang terpinggirkan semakin kehilangan akses ke hak-hak dasar mereka, sementara koruptor terus menikmati impunitas. Mengatasi korupsi sebagai pelanggaran HAM membutuhkan pendekatan holistik yang mencakup aspek hukum, sosial, dan budaya.
Upaya menempatkan pelaku tindak korup sebagai pelanggar HAM mesti diiringi dengan meningkatkan penegakan hukum yang berperspektif HAM. Penegakan hukum semacam in hars melihat bahwa tindakan seorang koruptor harus dilihatpada dampak sosial secara sistematis dari tindakannya. Pemerintah melalui aparat penegak hukumnya perlu memastikan bahwa setiap kebijakan anti-korupsi tidak hanya berfokus pada pemidanaan, tetapi juga pada pemulihan hak-hak masyarakat yang dirugikan.
ADVERTISEMENT
Setiap tindakan hukum terhadap pelaku korupsi harus dilihat dari dua aspek, yaitu pemulihan hak-hak korban dan pencegahan terjadinya pelanggaran serupa. Negara wajib menyediakan mekanisme yang dapat mengembalikan kerugian yang ditimbulkan akibat korupsi. Ini termasuk tindakan pemulihan terhadap hak-hak masyarakat yang terkena dampak, seperti melalui restitusi atau reparasi. Dalam sistem hukum pidana yang berperspektif HAM, keadilan tidak hanya diukur dari hukuman yang diberikan kepada pelaku, tetapi juga sejauhmana negara mampu memperbaiki kerugian yang telah terjadi.
Perlu dilakukan reformasi budaya institusi membangun budaya nol toleransi terhadap korupsi, baik di lembaga pemerintah maupun swasta. Dalam sistem hukum yang berperspektif HAM, peran negara tidak hanya sebatas mengadili pelaku kejahatan, tetapi juga menjamin bahwa setiap warga negara memiliki akses terhadap hak-hak dasar yang dilanggar akibat korupsi. Tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik atau individu yang memiliki kuasa, merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak orang banyak. Tindakan semacam ini tidak hanya merusak fondasi kepercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga menciptakan ketimpangan, serta merusak kesejahteraan ekonomi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Korupsi harus dipandang sebagai pelanggaran serius terhadap HAM karena dampaknya massif dan sistematis terhadap hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Dengan demikian, negara harus mengambil langkah tegas untuk memberantas korupsi, tidak hanya dengan memberikan hukuman yang pantas bagi pelaku, tetapi juga dengan memastikan bahwa pelaksanaan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat sebagai pemegang hak atas kehidupan yang layak dan terjamin. Salah satu terobosan adalah pemiskinan koruptor.
Salah satu bentuk praktik pemiskinan koruptor yang paling dikenal di Indonesia adalah melalui penyitaan aset. Penyitaan dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang telah diselewengkan oleh pelaku korupsi. Hal ini mengacu pada ketentuan dalam Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999, yang mengatur bahwa dalam proses pengadilan tindak pidana korupsi, hakim dapat memutuskan untuk menyita harta benda pelaku korupsi yang terkait dengan tindak pidana tersebut. Proses penyitaan ini tidak hanya berfokus pada harta kekayaan yang diperoleh secara langsung dari hasil korupsi, tetapi juga mencakup harta yang diperoleh melalui tindak pidana lain yang berhubungan.
ADVERTISEMENT
Penyitaan harta kekayaan yang diperoleh secara korup, dapat diukur sebagai pemulihan atas hilangnya kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati hak-hak dasar mereka. Dalam perspektif HAM, hak setiap individu untuk dilindungi dari tindak pidana adalah prinsip fundamental. Korupsi, dengan segala dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, merupakan pelanggaran terhadap hak ini. Oleh karena itu, pemiskinan koruptor bukan hanya sekadar tindakan hukuman, tetapi juga bagian dari upaya negara untuk mewujudkan keadilan yang holistik bagi seluruh rakyat, termasuk korban yang terimbas oleh tindakan korupsi.